Selasa, 18 September 2012

Emille Durkheim



Nama lengkapnya David Émile Durkheim (15 April 1858 – 15 November 1917) dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada tahun 1895, dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial, L’Année Sociologique pada 1896. Durkheim dilahirkan di Épinal, Perancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh, ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya. Banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih berhubungan darah dengannya.
Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Prancis. Di ENS Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem akademik Perancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrégation – syarat untuk posisi mengajar dalam pengajaran umum – dalam ilmu filsafat pada 1882.
Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Perancis dalam Perang Perancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Perancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Perancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Perancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Perancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.
Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L’Année Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Prancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar. Kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis, ia mengusahakan bentuk kehidupan Perancis yang sekular dan rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negaranya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Perancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Perancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang, sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada 1917.
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap “fakta-fakta sosial“, istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern[1]. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer dan Ferdinand Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas ‘organik’. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang ‘organik’, para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: Pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif : ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam “Bunuh Diri”, yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah mempengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat ‘primitif’ (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama” (1912) dan esainya “Klasifikasi Primitif” yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat ‘mekanis’ (meminjam ungkapan Durkheim).

Herbert Spencer



Spencer lahir di Derby, Inggris pada tanggal 27 April 1820. Ia tak belajar seni dan humaniora, tetapi di bidang teknik dan bidang- bidang utilitarian. Tahun 1837 ia mulai bekerja sebagai insinyur sipil jalan kereta api, jabatan yang dipegangnya hingga tahun 1846. Selama periode ini Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri dan mulai menerbitkan karya ilmiah dan politik. Tahun 1848 Spencer ditunjuk sebagai redaktur The Economist dan gagasan intelektualnya mulai mantap. Tahun 1850 ia menyelesaikan karya besar pertamanya, Social Statics. Selama menulis karya ini Spencer untuk pertama kali mulai mengalami insomnia (tak bisa tidur) dan dalam beberapa tahun berikutnya masalah mental dan fisiknya ini terus meningkat. Ia menderita gangguan saraf sepanjang sisa hidupnya.
Tahun 1853 Spencer menerima harta warisan yang memungkinkannya berhenti bekerja dan menjalani sisa hidupnya sebagai seorang sarjana bebas. Ia tak pernah memperoleh gelar kesarjanaan universitas atau memangku jabatan akademis. Karena ia makin menutup diri, dan penyakit fisik dan mentalnya makin parah, produktivitasnya makin menurun. Akhirnya Spencer mulai mencapai kemasyhuran tak hanya di Inggris tetapi juga reputasi internasional. Richard Hofstadter mengatakan, “Selama tiga dekade sesudah perang saudara, orang tak mungkin aktif berkarya di bidang intelektual apapun tanpa menguasai (perkiraan) Spencer.” (1959:33).
Namun, nasib Spencer ternyata tak seperti itu. Salah satu watak Spencer paling menarik yang menjadi penyebab kerusakan intelektualnya adalah keengganannya membaca buku orang lain. Dalam hal ini ia sama dengan tokoh sosiologi awal Auguste Comte yang juga mengalami gangguan otak. Mengenai keengganannya membaca buku orang lain itu, Spencer berkata : “Aku telah menjadi pemikir sepanjang hidupku, bukan menjadi pembaca, aku sependapat dengan yang dikatakan Hobbes bahwa jika aku membaca sebanyak yang dibaca orang lain, aku hanya akan mengetahui sedikit yang mereka ketahui itu” (Wiltshire, 1978:67). Temannya pernah meminta pendapatnya buku, dan “jawabannya adalah bila membaca buku ia melihat asumsi fundamental buku itu keliru dan karena itulah ia tak mau membaca buku” (Wiltshire, 1978:67). Seorang pengarang menulis tentang “cara Spencer dalam menyerap pengetahuan melalui kekuatan kulitnya…ia rupanya tak pernah membaca buku” (Wiltshire, 1978:67)
Bila tak pernah membaca karya sarjana lain, lalu darimana gagasan dan pemahaman Spencer berasal. Menurut Spencer, ide-idenya muncul tanpa sengaja dan secara intiutif dari pikirannya. Ia mengatakan bahwa gagasannya muncul “sedikit demi sedikit, secara rendah hati tanpa disengaja atau tanpa upaya yang keras” (Wiltshire, 1978:66). Institusi seperti itu dianggap Spencer jauh lebih efektif ketimbang upaya berpikir dan belajar tekun : “Pemecahan yang dicapai melalui cara yang dilukiskan itu mungkin lebih benar ketimbang yang dicapai pemikiran” (Wiltshire, 1978:66).
Spencer menderita karena enggan membaca secara serius karya orang lain. Sebenarnya, jika ia membaca karya orang lain, itu dilakukannya hanya sekedar untuk menemukan pembenaran pendapatnya sendiri. Ia mengabaikan gagasan orang lain yang tak mengakui gagasannya. Demikianlah, Charles Darwin, pakar sezamannya, berkata tentang Spencer, “Jika ia mati melatih dirinya untuk mengamati lebih banyak, dengan risiko kehilangan sebagian dari kekuatan berpikirnya sekalipun, tentulah ia telah menjadi seorang manusia yang sangat hebat” (Wiltshire, 1978:70) pengabaian Spencer terhadap aturan ilmu pengetahuan menyebabkan ia membuat serentetan gagasan kasar dan pernyataan yang belum dibuktikan  kebenarannya mengenai evolusi kehidupan manusia. Karena itulah sosiolog abad 20 menolak gagasan Spencer dan riset empiris yang tekun. Spencer meninggal 8 Desember 1903.
Tokoh yang satu ini mamang hampir saja membingungkan kita, antara mana teori Herbert Spencer dan mana teori Auguste Comte karena keduanya memiliki kesamaan yang sulit dibedakan. Salah satu pandangannya adalah mengenai hubungan negara dengan persoalan individual, menurutnya negara tidak perlu ikut campur dalam persoalan individu kecuali dalam fungsi pasif untuk melindungi rakyatnya. Bahkan ia tidak tertarik terhadap bentuk reformasi sosial, ia menginginkan kehidupan sosial berkembang bebas dari kontrol eksternal.
Spencer pantas dibilang sebagai “Darwinis Sosial” mengacu pada pandangan-pandangan teori evolusinya. Ia mempercayai akan kehidupan maasyarakat yang akan tumbuh progresif menuju keadaan yang lebih baik, untuk itu masyarakat harus dibiarkan bekembang sendiri. masyarakat harus dilepas dari campur tangan eksternal yang diyakini justru memperburuk keadaan.
Spencer menyetujui akan adanya evolusi darwin dalam konteks sosial, yaitu apabila dibiarkan dengan sendirinya teori itu akan berlaku dimana individu yang layak bertahan hidup akan berkembang, sedangkan individu yang yang tidak layak maka ia akan tersingkir.
Letak perbedaan Spencer dengan Comte adalah, Spencer memusatkan perhatiannya pada individu, sedangkan Comte pada unit yang lebih luas, misalnya keluarga. Namun dibalik itu lebih banyak kesamaan diantara keduanya, keduanya memiliki orientasi dan interprestasi yang sama   dalam sosiologi. Disamping keduanya sama-sama memandang masyarakat sebagai sebuah organisme. Teori keduanya terinspirasi ilmu biologi mengenai sistem organisme yang saling berhubungan.
Perbedaan keduanya nampak jelas saat Spencer menolak gagasan Comte tentang tiga tingkatan cara berfikir karena comte dinilainya menjelaskan evolusi dalam dunia gagasan bukan dari kehidupan nyata.

August Comte


August Comte atau juga Auguste Comte (nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte), lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798 dan meninggal di kota Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Dia  adalah seorang ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai “bapak sosiologi”. Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.
Comte lahir di Montpellier, sebuah kota kecil di bagian barat daya dari negara Perancis. Setelah bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya di Politeknik École di Paris. Politeknik École saat itu terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun 1818, politeknik tersebut ditutup untuk re-organisasi. Comte pun meninggalkan École dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier.
Tak lama kemudian, ia melihat sebuah perbedaan yang mencolok antara agama Katolik yang ia anut dengan pemikiran keluarga monarki yang berkuasa sehingga ia terpaksa meninggalkan Paris. Kemudian pada bulan Agustus 1817 dia menjadi murid sekaligus sekertaris dari Claude Henri de Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian membawa Comte masuk ke dalam lingkungan intelek. Pada tahun 1824, Comte meninggalkan Saint-Simon karena lagi-lagi ia merasa ada ketidakcocokan dalam hubungannya.
Saat itu, Comte mengetahui apa yang ia harus lakukan selanjutnya: meneliti tentang filosofi positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama Plan de travaux scientifiques nécessaires pour réorganiser la société (1822) (Indonesia: Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi akademis sehingga menghambat penelitiannya. Kehidupan dan penelitiannya kemudian mulai bergantung pada sponsor dan bantuan finansial dari beberapa temannya.
Ia kemudian menikahi seorang wanita bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum sembuh. Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, ia bercerai dengan Massin pada tahun 1842 karena alasan yang belum diketahui. Saat-saat diantara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Le Cours de Philosophie Positivistic.
Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clotilde de Vaux, dalam hubungan yang tetap platonis. Setelah Clotilde wafat, kisah cinta ini menjadi quasi-religius. Tak lama setelahnya, Comte, yang merasa dirinya adalah seorang penemu sekaligus seorang nabi dari “agama kemanusiaan” (religion of humanity), menerbitkan bukunya yang berjudul Système de politique positive (1851 – 1854).
Dia wafat di Paris pada tanggal 5 September 1857 dan dimakamkan di Cimetière du Père Lachaise.
Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai ‘hukum tiga fase’. Melalui hukumnya ia mulai dikenal di seluruh wilayah berbahasa Inggris (English-speaking world); menurutnya, masyarakat berkembang melalui tiga fase: Teologi, Metafisika, dan tahap positif (atau sering juga disebut “tahap ilmiah”).
Fase Teologi dilihat dari prespektif abad ke-19 sebagai permulaan abad pencerahan, dimana kedudukan seorang manusia dalam masyarakat dan pembatasan norma dan nilai manusia didapatkan didasari pada perintah Tuhan. Meskipun memiliki sebutan yang sama, fase Metafisika Comte sangat berbeda dengan teori Metafisika yang dikemukakan oleh Aristoteles atau ilmuwan Yunani kuno lainnya; pemikiran Comte berakar pada permasalahan masyarakat Perancis pasca revolusi Perancis. Fase Metafisika ini merupakan justifikasi dari “hak universal” sebagai hal yang pada [atas] suatu wahana [yang] lebih tinggi dibanding otoritas tentang segala [penguasa/penggaris] manusia untuk membatalkan perintah lalu, walaupun berkata [hak/ kebenaran] tidaklah disesuaikan kepada yang suci di luar semata-mata kiasan. Apa yang ia umumkan dengan istilah  tahap yang ilmiah, yang menjadi nyata setelah kegagalan revolusi dan [tentang] Napoleon, orang-orang bisa temukan solusi ke permasalahan sosial dan membawa [mereka/nya] ke dalam kekuatan di samping proklamasi hak azasi manusia atau nubuatan kehendak Tuhan. Mengenai ini ia adalah serupa untuk Karl Marx dan Jeremy Bentham. Karena waktunya, ini gagasan untuk suatu Tahap ilmiah telah dipertimbangkan terbaru, walaupun dari suatu sudut pandang kemudiannya [itu] adalah [yang] terlalu derivative untuk ilmu fisika klasik dan sejarah akademis.
Hukum universal lain [yang] ia [memanggil/hubungi] ‘ hukum yang seperti ensiklopedi’. Dengan kombinasi hukum ini, Comte mengembang;kan suatu penggolongan [yang] hirarkis dan sistematis dari semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu fisika tidak tersusun teratur         ( ilmu perbintangan, ilmu pengetahuan bumi dan ilmu kimia) dan ilmu fisika organik              ( biologi dan untuk pertama kali, bentuk badan sociale, dinamai kembali kemudiannya sociologie).
Ini gagasan untuk suatu science—not khusus ras manusia, [yang] bukan metaphysics—for sosial adalah terkemuka abad yang ke 19 dan tidak unik ke Comte. Ambitious—Many akan kata[kan grandiose—way yang Comte membayangkan tentangnya, bagaimanapun, adalah unik.
Comte lihat ilmu pengetahuan baru ini, sosiologi, [seperti;sebagai;ketika] [yang] terbesar dan yang terakhir dari semua ilmu pengetahuan, apa yang  akan meliputi semua  ilmu pengetahuan, dan yang akan mengintegrasikan dan menghubungkan penemuan mereka ke dalam suatu [yang] utuh kompak.
Penjelasan filosofi Comte yang positif memperkenalkan hubungan yang penting antara teori, praktek dan pemahaman manusia dunia. Pada  halaman 27, buku terjemahan Filosofi Auguste Comte yang Positif, kita lihat pengamatannya bahwa, “ Jika adalah benar bahwa tiap-tiap teori harus didasarkan pengamatan fakta, itu sama benar dengan yang fakta tidak bisa diamati tanpa bimbingan beberapa teori. Tanpa seperti  bimbingan, fakta [kita/kami] akan bersifat tanpa buah dan tak teratur; kita tidak bisa mempertahankan [mereka/nya]: sebagian terbesar kita tidak bisa genap merasa [mereka/nya]. ( Comte, A. ( 1974 cetak ulang).
Ia coined kata “altruism” untuk mengacu pada apa yang ia percaya untuk menjadi kewajiban moral individu untuk melayani (orang) yang lain dan menempatkan minat mereka di atas diri sendiri. Ia menentangkan gagasan itu untuk [hak/ kebenaran] individu, pemeliharaan yang mereka tidaklah konsisten dengan etis diharapkan ini (Catechisme Positiviste).
Seperti yang telah disebutkan, Comte merumuskan hukum tiga langkah-langkah, salah satu dari teori yang pertama adalah evolutionism yang sosial: pengembangan manusia  ( kemajuan sosial) maju dari Theological Langkah, di mana alam[i] secara dongengan dan dipahami/dikandung dan orang [laki-laki] mencari penjelasan (dari,tentang) gejala alami dari mahluk hal-hal yang gaib, melalui/sampai Metaphysical Langkah di mana alam[i] telah membayangkan sebagai hasil mengaburkan kekuatan dan orang [laki-laki] mencari penjelasan (dari,tentang) gejala alami dari [mereka/nya] sampai yang akhir, Positive Langkah di mana semua abstrak dan mengaburkan kekuatan dibuang, dan gejala alami diterangkan oleh hubungan tetap mereka. Kemajuan ini dipaksa melalui/sampai pengembangan pikiran manusia, dan meningkat(kan) aplikasi pikiran, pemikiran dan logika kepada pemahaman dunia.
Di (dalam) seumur hidup Comte, pekerjaannya kadang-kadang dipandang secara skeptis sebab ia telah mengangkat Paham positifisme untuk agama dan yang telah menamai dirinya sendiri Sri Paus Paham Positifisme. Ia coined istilah “sosiologi” untuk menandakan ilmu pengetahuan masyarakat yang baru.

Tokoh- tokoh sosiologi sastra


1. Subagio Sastrowardoyo

Subagio Sastrowardoyo (Madiun, 1 Februari 1924 – 18 Juli 1995) adalah penyair, penulis cerita pendek dan esei, serta kritikus sastra Indonesia. Berpendidikan HIS di Bandung dan Jakarta, HBS, SMP, dan SMA di Yogyakarta, Fakultas Sastra UGM selesai tahun 1958, Universitas Yale tahun 1961-1966. Pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia Kursus B-I di Yogyakarta (1954-1958), dosen Kesustraan Indonesia di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (1658-1961), dosen UNPAD, dosen SESKOAD keduanya di Bandung, dosen bahasa dan Kesusastraan Indonesia di Universitas Flinders, Adelaide, dan terakhir bekerja di Penerbit Balai Pustaka. Esei-eseinya banyak yang mencoba menyelami latar persoalan manusia Indonesia sekarang secara jujur dan tajam.

2. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 69 tahun) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer. Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Selainitu, beliau adalah salah seorang kritikus yang membahas karya dari sisi sosiologis.

3. Umar Junus
Umar Junus (lahir di Silungkang, Sumatera Barat, Indonesia, 2 Mei 1934; umur 75 tahun) adalah seorang kritikus sastra Indonesia. Umar memperoleh ijazah sarjana sastra dari Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 1959 dan Ijazah Doktor Falsafah dari Universitas Malaya pada tahun 1983. Bersama HB Jassin, ia merupakan seorang kritikus sastra Indonesia yang sangat produktif. Dalam dunia penulisan esei dan kritik, Umar Junus banyak menulis dalam Bahasa Melayu dan pernah juga menulis karya ilmiah dalam Bahasa Inggeris bagi jurnal luar negeri. Ia mula berkecimpung dalam bidang ini sejak tahun 1953. Buku-bukunya termasuklah Perkembangan Puisi Melayu Moden; Sosiologi Sastera; Persoalan Teori dan Metode dan antologi eseinya dalam Catatan Si Malin Kundang.

4. Robert Escarpit
Escarpit, Robert (1918-2000). Novelis dan kritikus Perancis dikenal karena karyanya tentang sosiologi sastra. La Révolution du livre (1960) dan Le litteraire et le sosial (1970) menganalisis kondisi produksi buku dan literatur massa. Di kemudian hari kerja, termasuk L'écrit et la komunikasi (1972), meluas menjadi teori sastra komunikasi.

5. René Wellek
René Wellek (Agustus 22, 1903 - November 10, 1995) adalah seorang Ceko – Amerika. Wellek, bersama dengan Erich Auerbach, dikenang sebagai produk unggulan dari Eropa Tengah filologis tradisi. Dengan kritikus Austin Warren, Wellek menulis volume tengara Teori Sastra, salah satu karya yang sistematis teori sastra, bukan kritik mendekati yang lebih ad-hoc mode. Dimulai pada 1960-an, Wellek membela Kritik Baru terhadap penghukuman atas pekerjaan mereka dalam nama strukturalis yang dipengaruhi teori sastra. Untuk alasan ini, ia kadangkala memikirkan hari ini sebagai sarjana sastra yang konservatif.

6. Austin Warren
Austin Warren (Juli 4, 1899 - Agustus 20, 1986) adalah seorang Amerika kritikus sastra, penulis, dan profesor bahasa Inggris. Umumnya, Warren menggambarkan dirinya sebagai seorang "tua Kritik Baru" dan tidak setuju dengan kontemporer strukturalis kritikus, meskipun ia dengan rendah hati mengakui bahwa ia tidak selalu mengerti mereka. Meskipun deskripsi-diri ini, Warren independen dalam pandangan-pandangan kritis , sering menolak pendekatan literatur dari setiap satu set teoritis metodologi. Dia bukan kritikus agama, tapi dia sering mendekati bekerja dalam konteks spiritualitas dan kekristenan. Warren generalism, bagaimanapun, tidak sepenuhnya ragu-ragu. Dia mengungkapkan cita-cita sering dirujuk oleh Kritik Baru yang lain pada zamannya ketika ia mengatakan bahwa "kebutuhan untuk akhir kritikus, idealnya, ruang dan waktu untuk penarikan, untuk menjauhkan kritis; penyerapan, penarikan, sering diulang-ulang, terus-menerus prosedur kritik .

7. Lucien Goldmann
Lucien Goldmann (Juli 20, 1913 di Bucharest, tetapi dibesarkan di Botosani, Rumania - Oktober 8, 1970 di Paris) adalah seorang Perancis filsuf dan sosiolog dari Yahudi-Rumania asal. Sebagai seorang profesor di EHESS di Paris, ia adalah seorang berpengaruh Marxis teoretikus.Ia berusaha mensintesis yang "epistemologi genetik" dari Piaget dengan Marxisme dari György Lukacs; ia adalah pendiri teori strukturalisme genetik yang dikembangkan pada tahun 1960-an.
8. György Lukacs
György Lukacs (April 13, 1885 - 4 Juni 1971) adalah seorang Hungaria Marxis filsuf dan kritikus sastra. Kebanyakan sarjana menganggap dirinya sebagai pendiri tradisi Marxisme Barat. Dia menyumbangkan ide-ide dari reifikasi dan kesadaran kelas untuk Marxis filsafat dan teori, dan kritik sastra berpengaruh dalam berpikir tentang realisme dan tentang novel sebagai genre sastra.



9. Georgi Plekhanov
Valentinovich Georgi Plekhanov (November 26, 1857-30 Mei 1918) adalah seorang Rusia dan seorang revolusioner Marxis teoretisi. Ia adalah seorang pendiri gerakan Sosial-Demokrat di Rusia dan Marxis Rusia yang pertama. Sebagai seorang penulis yang produktif ia berurusan dengan beberapa aspek dari pemikiran Marxis. Meskipun perbedaan-perbedaan, Plekhanov, diakui, bahkan dalam hidup sendiri, seperti yang telah membuat kontribusi luar biasa untuk filsafat dan sastra Marxis oleh Lenin. "Layanan yang diberikan di masa lalu," Lenin menulis tentang Plekhanov, "adalah besar.

10. Raymond Williams
Henry Raymond Williams (31 Agustus 1921 - 26 Januari 1988) adalah seorang Welsh akademis, novelis dan kritikus. Dia adalah seorang tokoh berpengaruh dalam Waktu Baru dan dalam budaya yang lebih luas. Tulisan-tulisannya tentang politik, budaya, media massa dan sastra adalah kontribusi yang signifikan terhadap Marxis kritik budaya dan seni. Beberapa dari 750.000 eksemplar buku-bukunya telah terjual di Inggris edisi sendirian dan ada banyak terjemahan tersedia. Karyanya meletakkan fondasi untuk bidang studi budaya dan materialis budaya pendekatan.

11. Franz Mehring
Franz Erdmann Mehring (lahir 27 Februari 1846 di Schlawe (Polandia: Slawno), Pomerania - meninggal 29 Januari 1919 di Berlin), adalah seorang jurnalis Jerman, politikus dan sejarawan. Franz Mehring menulis kritikan analisa Marxis terhadap tindakan kepahlawanan raja Swedia, Gustavus Adolphus yang mengklaim peperangan selama tiga puluh tahun sebagai pembela agama (penjelasan resmi) dan menurutnya semua itu hanya dilakukan untuk kepentingan yang berhubungan dengan ekonomi (melalui penjelasan analisa Marxis). Tahun 1918, setelah lama tertunda karena sensor (sesuai dengan yang disebutkan oleh Edward Fitzgerald, penterjemah dalam bahasa Inggris, Edisi Amerika Serikat 1935), Mehring berhasil menerbitkan biografi Karl Marx yang didedikasikan untuk sesama 'Spartakus' yaitu Clara Zetkin. Beliau adalah pelaksana kritik marxis pertama di jerman.

12. Andrei Zhdanov
Andrei Alexandrovich Zhdanov (Februari 26 1896, Mariupol - Agustus 31, 1948, Moskow) adalah seorang Soviet politikus. Akan tetapi, beliau juga merupakan seorang pemerhati sastra soviet. Pendapatnya yang aling diingat adalah ketika beliau menyatakan bahwa sastra soviet juga merupakan alat ideologi.




13. Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Pada tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Beliau adalah seorang pencipta jembatan penghubung antara marxisme dan strukturalisme.

14. Theodor W. Adorno
Ludwig Wiesengrund Theodor Adorno (11 September 1903 - 6 Agustus 1969) adalah seorang Jerman kelahiran internasional intelektual, sosiolog, filsuf, musikolog, dan komponis. Dia adalah seorang anggota Mazhab Frankfurt bersama dengan Max Horkheimer, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, Jürgen Habermas, dan lain-lain. Sudah sebagai seorang kritikus musik dan amatir sosiolog, Adorno terutama pemikir filosofis. Label filsuf sosial sosial kritis menekankan aspek pemikiran filsafat, yang dari tahun 1945 dan seterusnya mengambil posisi penting secara intelektual dalam teori kritis Mazhab Frankfurt. Sementara karya Adorno berfokus pada seni, sastra dan musik sebagai bidang utama sensual, kritik tidak langsung budaya yang mapan dan cara berpikir, ada juga sejumput utopianisme politik jelas terlihat dalam refleksi terutama pada sejarah.

15. Hippolyte Taine
Adolphe Hippolyte Taine (21 April 1828 di Vouziers - 5 Maret 1893 di Paris) adalah seorang Perancis kritikus dan sejarawan. Dia adalah kepala pengaruh teoritis perancis naturalisme, pendukung utama positivisme sosiologis, dan salah satu praktisi pertama historis kritik. Taine terutama dikenang karena bercabang tiga pendekatan terhadap studi kontekstual sebuah karya seni, yang didasarkan pada aspek-aspek dari apa yang ia sebut ras, lingkungan, dan saat.

16. Walter Benjamin
Bendix Schönflies Walter Benjamin (15 Juli 1892 - 27 September 1940) adalah seorang Jerman - Yahudi Marxis filsuf - sosiolog, kritikus sastra, penerjemah dan penulis esei. Ia berada di kali dikaitkan dengan Mazhab Frankfurt dari teori kritis. Marxisme-Nya lebih dipengaruhi oleh Bertolt Brecht, yang telah mengembangkan sendiri estetika kritis, yang meminta untuk jarak emosional dari penonton (Verfremdungseffekt). Benjamin salah satu yang paling penting abad kedua puluh pemikir tentang sastra dan tentang pengalaman estetika modern.



17. Max Horkheimer
Max Horkheimer (14 Februari 1895 - 7 Juli 1973) adalah seorang Jerman filsuf dan sosiolog. Ia terkenal untuk menjadi pemimpin dalam Mazhab Frankfurt, untuk karyanya dengan teori kritis dan karya-karya paling penting: The Eclipse of Reason (1947), The Dialectic of Enlightenment (1947) dan Critical Theory: Selected Essays (1972). Melalui Mazhab Frankfurt, Horkheimer juga direncanakan, mendukung dan membuat karya-karya lain mungkin. Juga penting untuk dicatat bahwa Horkheimer bekerja sama dengan Herbert Marcuse, Erich Fromm, Theodor Adorno dan Walter Benjamin

18. Herbert Marcuse
Herbert Marcuse (19 Juli 1898 - 29 Juli 1979) adalah seorang Jerman - Yahudi filsuf, ahli teori politik dan sosiolog, dan anggota Mazhab Frankfurt. Marcuse adalah seorang intelektual besar pengaruh terhadap Waktu Baru dan gerakan mahasiswa tahun 1960-an. Teorinya dianggap teori utama yang terkait dengan Mazhab Frankfurt, bersama dengan Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno.

19. Edmund Wilson
Edmund Wilson (8 Mei 1895 - 12 Juni 1972) adalah seorang penulis Amerika dan kritikus sastra. Wilson dianggap sebagai salah satu kritikus sastra Amerika terkemuka. Beliau mencerminkan permasalahan sosial dalam karyanya maupun kritk-kritiknya.

Review Novel Hati Suhita

KETEGUHAN HATI WANITA REVIEW NOVEL HATI SUHITA Judul: Hati Suhita Penulis: Khilma Anis Editor: Akhiriyati Sundari Penyunting:...