Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia
masuk ke École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah satu yang
paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri
Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam kehidupan intelektual Prancis.
Di ENS Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges,
seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang
sama, ia membaca karya-karya Auguste
Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan
pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik
pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem akademik
Perancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial
pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan
tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam angkatannya
ketika ia menempuh ujian agrégation – syarat untuk posisi mengajar
dalam pengajaran umum – dalam ilmu filsafat pada 1882.
Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong
oleh politik.
Kekalahan Perancis dalam Perang Perancis-Prusia telah memberikan
pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak
orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan
satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Perancis yang memudar di
daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis,
berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya
secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat
sikapnya sebagai seorang aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak
mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu
setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke
Bordeaux
pada 1887, yang saat
itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Perancis. Di sana
ia mengajar pedagogi
dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Perancis).
Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Perancis
dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya
untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat
ia banyak dikritik.
Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian
Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan
Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan
bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di
Eropa di Universitas Bourdeaux.
Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L’Année Sociologique
untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian
bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk
kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada
1897, ia menerbitkan
“Bunuh Diri”, sebuah studi kasus
yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh
kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne.
Karena universitas-universitas
Prancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi
ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar. Kuliah-kuliahnya wajib
diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa
Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat
kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya
menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan
karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk
Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Perang
Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim.
Pandangan kiri
Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis, ia mengusahakan bentuk
kehidupan Perancis yang sekular dan rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda
nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk
mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negaranya dalam
perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana
(ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Perancis
yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah
dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas
ketika Perancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim
sendiri tewas dalam perang, sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi
oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah
bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan
meninggal pada 1917.
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana
masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern,
ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada
lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern,
Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap
fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang
pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat
dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan
dan keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih
daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan
sezamannya, Max
Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi
tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme
metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap “fakta-fakta
sosial“, istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada
dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia
berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih
besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk
masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya
daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi
ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”
(1893), Durkheim
meneliti bagaimana tatanan sosial
dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan
meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional
dan masyarakat modern[1]. Para
penulis sebelum dia seperti Herbert
Spencer dan Ferdinand Toennies
berpendapat bahwa masyarakat berevolusi
mirip dengan organisme
hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks
yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan
rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus
berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial,
dan darwinisme sosial. Ia
berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan
dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya
mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional,
kata Durkheim, kesadaran kolektif
sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku
sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya,
pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas
‘organik’. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan
sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena
mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam
masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat
yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang
sama. Dalam masyarakat modern yang ‘organik’, para pekerja memperoleh gaji dan
harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk
tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat
dari pembagian kerja yang
semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual
berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah
berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada
suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan
bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif:
Pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal
itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman
itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam
masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif :
ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal
dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena
semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang
norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial,
yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang
mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie.
Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol
adalah bunuh
diri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang
anomie dalam “Bunuh Diri”, yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya
ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan
Katolik, dan
menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik
menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang
mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka,
yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang
secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat
bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi
sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang
melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi
menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat.
Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal,
sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah
mempengaruhi para penganjur teori kontrol, dan
seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya
tentang masyarakat ‘primitif’ (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti
“Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama” (1912) dan esainya
“Klasifikasi Primitif” yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini
meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam
membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat
yang sangat ‘mekanis’ (meminjam ungkapan Durkheim).