LANDASAN TEORI SEMIOTIKA
2.1 Semiotika
Semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Kata ‘semiotik” sendiri
berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti
“penafsir” tanda. Contohnya, asap yang membumbung tinggi menandai adanya
api. Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara
sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses
signifikasi yang menyertainya (Alex Sobur, 2004: 16).
Pengertian tanda memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam
tulisan-tulisan Yunani Kuno (Masinambow, 2002: iii). Dengan demikian, tanda
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda
inilah yang kemudian dikenal dengan semotik dan semiologi.
2.2 Sejarah Semiotika
Semiotika sebenarnya sudah tumbuh sejak tahun 330-264 SM, yaitu
melalui kajian Zeno, tokoh aliran stoa yang berasal dari Kition di pulau cyprus. Ia
mengadakan penelitian lewat tanda-tanda tangis dan tertawa. Bermula dari kajian
Zeno tentang semiotika tangis dan tawa itulah ilmu semiotika mulai
dikembangkan. Seorang uskup Roma yang hidup sekitar abad kelima Masehi,
Saint agustinus, sesudah mengalami perubahan batin secara radikal dan ia bertobat
kepada Tuhan untuk menjadi manusia yang saleh dan alim (Puji Santosa, 1993: 7)
11
Aliran semiotik sistematis dipelopori oleh dua tokoh terakhir, yaitu
Ferdinand de Sausure) dan Charles Sanders Pierce. Dalam pandangan semiotik,
Saussure memandang bahasa sebagai suatu sistem tanda. Sebagai suatu tanda,
bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Pengertian tanda
memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan Yunani Kuno
(Masinambow, 2002: iii). Dengan demikian, tanda adalah sesuatu yang mewakili
sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian dikenal
dengan semotik dan semiologi.
Adapun semotik berkembang dengan masing-masing tokoh yang
dimilikinya. Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah pengembang bidang ini di
Eropa, dia memperkenalkannya dengan istilah semiologi sedangkan Charles
Sanders Peirce (1839-1914) mengembangkannya di Amerika dengan
menggunakan istilah semiotik. Kedua tokoh inilah yang membawa pengaruh besar
dalam memahami dan menganalisis sebuah disiplin dengan menggunakan
pendekatan semiotik.
Peirce (T.Christommy, 2001:119), mengatakan bahwa tanda “is
something which stands to somebody for something in some respect or capacity.”
Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Pierce disebut Ground.
Konsekuensinya, tanda (sign atau representament) selalu terdapat dalam
hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini,
Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legysign. Qualisign adalah kualitas
yang ada pada tanda, misalnya kata-kata lemah, lembut, merdu, kasar, dan keras.
12
Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda;
misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang
menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Berdasarkan objeknya, Pierce
membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol).
Saussure mengembangkan bahasa sebagai suatu sistem tanda. Bahasa
adalah alat komunikasi yang terdiri atas sejumlah ujaran yang masing-masing
dilihat sebagai tanda, yakni satuan yang terdiri atas dua muka yaitu significant
(citra bunyi, signifier atau penanda) yang harus disertai oleh signifie (makna,
konsep, signified atau petanda). Suatu ujaran hanya berlaku sebagai tanda jika
terdiri atas penanda dan petanda (Widjojo, 2004: 45).
Sementara itu, Peirce melihat tanda sebagai suatu proses kognitif yang
berasal dari apa yang ditangkap oleh pancaindra. Fungsi esensial sebuah tanda
menurutnya adalah membuat sesuatu efisien, baik dalam komunikasi kita dengan
orang lain, maupun dalam pemikiran dan pemahaman kita tentang dunia.
Dalam teorinya, “sesuatu” yang pertama –yang “konkret”- adalah suatu
perwakilan yang disebut representamen (atau ground), sedangkan “sesuatu” yang
ada di dalam kognisi disebut object. Proses hubungan dari representamen ke
object disebut semiosis (semeion, Yun. ‘tanda’). Dalam pemaknaan suatu tanda,
proses semiosis ini belum lengkap karena kemudian ada satu proses lagi yang
merupakan lanjutan yang disebut interpretant (proses penafsiran) (Hoed, 2005: 2).
13
2.3 Semiotika Charles Sanders Pierce
Pierce terkenal karena teori tandanya. Dalam lingkup semiotika, Pierce
sebagaimana dipaparkan Letche (dalam Hoed 2004: 40), Letche memaparkan
bahwa secara umum tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu bagi seseorang.
Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan,
yang mengacu pada objeknya yang disebutnya kekeduaan, dan penafsiran—unsur
pengantara—adalah contoh dari keketigaan. Keketigaan yang juga lebih kita kenal
dengan istilah triadik ini yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga
membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang
membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu
makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya.
Pierce menyebut semiotika dengan sebutan semiosis sedangkan Roland
Barthes yang menyebutnya dengan sebutan semiologi. Bagi Pierce, seperti yang
dikutip dari Nöth (Hoed, 2001: 143) “nothing is a sign unless it is interpreted as a
sign”. Dengan demikian, sebuah tanda melibatkan sebuah proses kognitif di dalam
kepala seseorang dan proses itu dapat terjadi kalau ada representamen, acuan, dan
interpretan. Pierce mengatakan sebagai berikut, “by ‘semiosis’ on the contrary (to
diadic relation), an action, or influence, which is or involves, a coorperation of
three subject such as a sign, its object, and its interpretan, this tri-relative
influence not being in any way resolvable into action between pairs”. Dengan
kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling terkait:
Representamen (R), sesuatu yang dapat dipersepsi (perceptible), Objek (O)
14
sesuatu yang mengacu kepada hal lain (referetial), dan (I) sesuatu yang dapat
diinterpretasi (interpretable).
Hubungan itu dapat didasari oleh keterkaitan (indeks), keserupaan (ikon),
atau konvensi (lambang), atau gabungan ketiganya. Jadi, asap (R) mewakili
kebakaran (O). Proses ini belum selesai karena, berdasarkan hubungan R-O (asapkebakaran),
penerima tanda akan melakukan penafsiran (I). Jadi, dengan melihat
asap (R), seseorang menghubungkannya dengan kebakaran (O), dan dapat
menafsirkan bahwa yang terbakar adalah gedung pertokoan (I). Proses inilah yang
disebut semiosis.
Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut
representamen. Konsekuensinya, tanda (sign/representamen) selalu terdapat
dalam hubungan triadik, yakni representamen, objek, dan interpretan. Hubungan
triadik itu oleh Pierce digambarkan dalam tiga dimensi tanda seperti berikut ini :
Objek
Representamen Interpretan
Gambar Diagram segitiga tanda Pierce
(T. Christommy, 2004: 127)
15
2.3.1 Tiga Dimensi Tanda
2.3.1.1 Representamen
Representamen adalah bentuk atau “wajah luar” suatu tanda yang pertama
kali diindrai oleh manusia. Representamen juga merupakan ‘bentuk fisik sebuah
tanda’ (Marcel Danessi dalam T. Christomy, 2004: 123).
Kemampuan atau kadar representasi (kegiatan dalam kognisi manusia
untuk mengaitkan representamen dengan pengetahuan dan pengalamannya) tidak
sama. Pada tahap awal, tanda baru hanya dilihat sifatnya saja – yakni bahwa suatu
fenomena adalah tanda – dan disebut qualisign. Kita tahu bahwa apa yang kita
hadapi adalah tanda, tetapi kita belum mengetahui maknanya. Kemudian pada
tahap yang lebih lanjut, representasi tanda sudah berlaku untuk tempat dan waktu
tertentu, misalnya, menunjuk dengan jari, di sini, di sana) yang disebut sin(gular)
sign. Sebuah representamen kita kenali maknanya pada tempat dan waktu tertentu.
Akhirnya, sejumlah tanda berfungsi berdasarkan konvensi dalam suatu
masyarakat yang disebut legisign (Hoed, 2005: 14).
2.3.1.2 Objek
Objek merupakan sesuatu yang hadir atau ada di dalam diri (kognisi)
seseorang atau sekelompok orang. Representamen mengacu pada objeknya dan
Pierce membaginya atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon
adalah tanda yang hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat
kemiripan; misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukan
adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau
16
hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan.
Contoh yang paling jelas adalah asap sebagai tandanya api.
Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti
itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi simbol adalah tanda
yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan
diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi
(perjanjian masyarakat).
2.3.1.3 Interpretan
Interpretan merupakan tafsiran dari seseorang berdasarkan objek yang
dilihatnya sesuai dengan kenyataan yang menghubungkan antara representamen
dengan objek.
Oleh Pierce interpretan juga dibagi atas rheme, dicentsign, dan argument.
Rheme adalah tanda yang memungkinkan seseorang menafsirkan berdasarkan
pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa
orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki
insekta, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent sign atau dicisign adalah tanda
sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan raya sering terjadi kecelakaan,
maka di tepi jalan dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa disitu
sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan
alasan tentang sesuatu.
17
2.4 Tanda dan Semiosis
Pierce (dalam Hoed, 2001: 143 )mengemukakan bahwa semiosis
merupakan “tripple conection of sign, signified, cognition produced in the mind”.
Pada halaman yang sama Nöth mengutip lagi Pierce, ‘nothing is a sign unless it is
interpreted as a sign”. Kata sign memang berarti tanda, tetapi yang dimaksud
adalah representamen. Namun, sebenarnya yang menjadi fokus dalam kajian
semiotik adalah semiosis itulah dan bukan sekadar tanda. Pierce menyebut proses
semiosis seperti di atas sebagai proses “triadik” karena mencakup tiga unsur
secara bersama, yakni representamen (disingkat R), hal yang diwakilinya, kita
sebut objek (disingkat O), dan penafsiran yang terjadi pada pikiran seseorang pada
waktu menangkap R dan O kita sebut interpretan (disingkat I). Sebenarnya,
seluruh proses semiosis adalah proses kognisi karena semiosis terjadi hanya jika
ada proses kognisi itu.
Proses semiosis sebenarnya tidak ada hentinya. Demikian pula proses
kognisi, yaitu interpretasi, pada dasarnya dapat berjalan terus selama sebuah tanda
ditangkap dan diperhatikan. Secara teoretis hal itu digambarkan sebagai hubungan
antara representamen, objek, dan interpretan (I), yang I dapat berubah menjadi R
baru yang dikaitkan dengan O baru sehingga menghasilkan I baru, dan pada
gilirannya menjadi R baru dan seterusnya. Dengan demikian, proses triadik itu
berjalan terus menjadi suatu proses berlanjut atau proses gethok tular seperti pada
gambar di bawah ini.
18
Proses Semiosis Berlanjut
R1>O1>{I1>R2}>O2>{I2>R3}>O3>{O3>R4}...
O1 O2 O3 O4
R1 I1 / R2 I2 / R3 I3 / R4 I4 / R5...
Gambar Proses Semiosis atau Sistem Gethok Tular
(T. Christommy, 2004: 130)
Pada gambar di atas, {I1/R2}, {I2/R3}, dan {I3/R4} merupakan proses
kognisi, yaitu suatu hasil interpretasi beralih menjadi tanda baru yang mengacu
pada objek baru dan interpretan baru, dan begitu seterusnya. Namun, menurut Eco
(dalam Hoed:2001) proses semiosis tersebut mempunyai batasan. Proses semiosis
berlanjut pada akhirnya akan dibatasi oleh apa yang disebutnya sebagai
“consesual judement” (pendapat bersama). Ia mengemukakan bahwa meskipun
pada diri kita ada yang disebut sebagai “hermeneutik semiosis and drift”, yakni
suatu proses kognitif yang digambarkannya sebagai “everything can recall
everything else”, suatu tanda tidak berada dalam suatu kekosongan. Suatu tanda
berada dalam lingkungan budaya tertentu yang membatasi proses semiosis
berlanjut itu karena adanya kristalisasi yang membentuk penafsiran yang tetap
(interpretan yang tetap).
19
2.4.1 Relevansi Teori Semiotik Pierce dengan Objek Kajian
Dalam kehidupannya, manusia membutuhkan informasi. Pemenuhan
kebutuhan tersebut salah satu di antaranya didapat dari iklan. Setelah melihat dan
mendengar iklan, dalam diri manusia itu tentunya akan terjadi sebuah proses yang
dinamakan proses persepsi. Proses ini dapat dimaknai sebagai proses penerimaan
inderawi dan penafsirannya.
Pesan yang terdapat dalam iklan di televisi terdiri atas tanda verbal dan
nonverbal. Kemampuan kita dalam membaca bahasa tersebut (tanda verbal dan
nonverbal) merupakan sebuah proses berpikir berdasarkan pengetahuan yang
dimilikinya. Karakter utama bahasa iklan adalah melalui kekuatannya membentuk
pengalaman di dalam kognisi manusia. Oleh karena gempuran iklan yang terus
menerus maka proses pencerapan, penafsiran, dan pemahaman pun berjalan
sampai tak terbatas sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya.
Jadi, proses komunikasi yang terjadi dalam periklanan pasti melibatkan
suatu proses persepsi yang mengakibatkan terjadinya penafsiran yang berulang
sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya. Supaya penafsiran dalam iklan
itu terkendali maka dipilihlah sebuah metodologi yang secara runut dapat melihat
proses penafsiran tersebut, yaitu semiotik Pierce (dasar dari teori semiotik ini
adalah proses kognitif yang dinamakan dengan proses semiosis).
Iklan sebagai sebuah objek semiotika, mempunyai perbedaan mendasar
dengan desain yang bersifat tiga deminsional, khususnya desain produk. Iklan,
seperti media komunikasi massa pada umumnya, mempunyai fungsi “komunikasi
20
langsung”, sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi yang
tidak langsung. Oleh sebab itu, di dalam iklan aspek-aspek komunikasi seperti
“pesan” (messege) merupakan unsur utama iklan yang di dalam sebuah desain
produk hanya merupakan salah satu aspek saja dari berbagai aspek utama lainnya
(fungsi, manusia, produksi). Metode analisis semiotika iklan secara khusus telah
dikembangkan oleh para ahli periklanan, misalnya oleh Gillian Dyer, Torben
Vestergaard, dan Judith Williamson (Christomy, 2004: 96).
Dari pandangan ahli-ahli semiotika periklanan di atas, dapat dilihat bahwa
ada dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara
semiotis dari objek-objek desain lainnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu
berisikan unsur-unsur tanda berupa objek (object) yang diiklankan; konteks
(context) berupa lingkungan, orang, atau mahkluk lainnya yang memberikan
makna pada objek; serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna
(anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan.
Eco (dalam Hoed, 2001: 143) mengemukakan bahwa suatu teks
merupakan suatu : Karya terbuka (opera aperta), yang terbuka pada berbagai
interpretasi memlalui proses semiosis. Namun, Nöth (1987b, dan 1990)
berpendapat bahwa teks iklan adalah sebuah “teks tertutup” karena apa yang
berada di balik teks tersebut sudah dapat dipahami oleh penerima iklan. Jadi,
meskipun teks berbunyi belilah A. Namun, selanjutnya proses semiosis akan
membawa kita pada pengertian bahwa iklan adalah sebuah “teks yang terbuka”.
Hal yang sama dapat terjadi pada unsur nonverbal, misalnya ikon. Dengan
demikian, iklan akan didekati dan diterangkan dengan ancangan semiotik yang
21
prinsip-prinsipnya dikemukakan diatas, yakni sebagai gabungan pemakaian tanda
dengan representamen yang verbal dan nonverbal.
2.4.2 Teori Persuasi
Teori persuasi adalah bagian dari teori komunikasi. Iklan dapat dikaji dari
segi persuasi. Secara teoritis, persuasi didefinisikan sebagai upaya seseorang atau
sekelompok orang untuk mempengaruhi atau mengubah pandangan atau pendapat
seseorang atau sekelompok orang lain. Akan tetapi sebenarnya definisi itu masih
perlu dilengkapi. Persuasi adalah upaya mempengaruhi atau mengubah pendapat
yang terjadi dalam proses kommunikasi itu sendiri dan berakibat kepada
reorganisasi kognitif pada diri seseorang. Dengan demikian, persuasi tidak hanya
terjadi sesaat tetapi merupakan suatu proses yang berlanjut. Sebenarnya, hal itu
dapat selanjutnya diterangkan dengan mengkaji proses signifikasi yang terjadi
dalam kognisi seorang sebagai bagian dari proses semiosis.
2.4.3 Iklan dalam Tinjauan Semiotik
Iklan ditinjau dari semiotik sebagai suatu upaya menyampaikan pesan
dengan menggunakan seperangkat representamen dalam suatu sistem. Jika terjadi
hubungan antara representamen dengan yang diwakilinya maka representamen
yang sudah berkaitan dengan yang diwakilinya itu dapat disebut tanda. Dengan
demikian, semiotik memandang iklan sebagai tanda yang terdiri atas
representamen dan hal yang diwakili oleh iklan itu.
22
Tiga Jenis Representamen
Indeks (keterkaitan)
Ikon (kemiripan)
simbol (perjanjian)
Berdasarkan prinsip di atas, kita akan melihat iklan sebagai suatu
kesatuan representamen yang terdiri atas unsur verbal (unsur kebahasaan) dan
unsur nonverbal. Unsur verbal biasanya bersifat linear, sedangkan nonverbal
bersifat nonlinear. Unsur verbal mengambil waktu dan tidak mengikuti urutan
yang ketat dalam pemahamannya (Martinet dalam Hoed, 2001: 142).
Eco (dalam Hoed, 2001: 142) mengemukakan bahwa suatu teks
merupakan suatu karya terbuka (opera operta), yang terbuka pada berbagai
interpretasi melalui proses semiosis. Namun, Nöth (1995) berpendapat bahwa teks
iklan adalah sebuah teks tertutup karena apa yang berada di balik teks itu sudah
dipahami oleh penerima iklan. Jadi, meskipun teks berbunyi Nikmatilah A,
maknanya adalah Belilah A. Dengan demikian, iklan akan didekati dan
diterangkan dengan semiotik sebagai gabungan pemakaian tanda dengan
representamen yang verbal dan nonverbal.
2.5 Iklan
Iklan didefinisikan dalam KBBI sebagai (1) berita pesanan (untuk
mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang
ditawarkan; (2) pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang dan
jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar dan majalah
23
(KBBI, 2003: 322). Jadi, berbeda dengan sebuah informasi tentang sesuatu benda
atau jasa, iklan mempunyai sifat “mendorong” dan “membujuk” agar kita
menyukai, memilih, dan kemudian membeli produk yang ditawarkan iklan
tersebut.
Iklan adalah suatu kegiatan menyampaikan berita, tetapi berita itu
disampaikan atas pesanan pihak yang ingin agar produk atau jasa yang dijualnya
disukai, dipilih, dan dibeli. Iklan ditujukan kepada khalayak ramai. Dengan
demikian, iklan bukan merupakan komunikasi interpersonal, melainkan
nonpersonal. Komunikasi semcam ini digolongkan dalam komunikasi massa.
Namun, pada bagian ini kita akan melihat bahwa iklan biasanya tidak ditujukan
kepada seluruh khalayak ramai, tetapi pada bagian tertentu dari padanya.
Sudjana (1986: 1) memberikan batasan iklan sebagai “salah satu bentuk
komunikasi yang terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang
ditujukan kepada khalayak secara serempak agar memeroleh sambutan baik. Iklan
berusaha untuk memberikan informasi, membujuk, dan meyakinkan”.
Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas tanda verbal dan
nonverbal. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam radio, televisi,
dan film.
1) Indeks, Ikon, dan Simbol sebagai Representamen
Tanda yang digunakan dalam iklan ada dua jenis, yaitu yang verbal dan
nonverbal. Tanda verbal adalah bahasa yang kita kenal, tanda yang nonverbal
adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang secara tidak khusus
meniru rupa dan warna yang serupa atas bentuk realitas.
24
2) Objek
Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Dalam produk atau jasa, produk
atau jasa itulah objeknya. Di sini harus dicatat bahwa tanda verbal dan nonverbal
termasuk yang ikonis diciptakan agar dalam kognisi khalayak dihubungkan
dengan objek tersebut. Jadi, iklan berfungsi konatif, yakni menyampaikan pesan
dari pengirim (P1, pengiklan) kepada penerima (P2, kelompok sasaran) dengan
tujuan memengaruhi P2 agar menghubungkan representamen dengan objek
tertentu. Jadi, representamen dan objeknya ditentukan lebih dulu oleh P1. Selain
berfungsi sebagai konatif, iklan juga berfungsi fatik. Fungsi ini bermaksud
menarik perhatian khalayak untuk dibaca atau dilihat untuk dipahami isinya
(Hoed, 2001: 148).
2) Penafsiran Semiosis dalam Iklan
Yang penting dalam penciptaan iklan adalah penafsiran P2 dalam proses
interpretan. Jadi, sebuah kata seperti 3 (three) meskipun dasarnya mengacu pada
provider 3 (three), tetapi selanjutnya provider ini ditafsirkan sebagai ‘provider
semua kalangan’, ‘provider yang menyediakan sebuah keceriaan dan kemudahan
bagi para penggunanya, dan seterusnya. Penafsiran yang bertahap-tahap itu
merupakan segi penting dalam iklan. Proses ini disebut sebagai semiosis.
2.5.1 Positioning
Positioning adalah suatu proses atau upaya untuk menempatkan suatu
produk, merek, perusahaan, individu, atau apa saja dalam alam pikiran mereka
yang dianggap sebagai sasaran atau konsumennya. Upaya ini dianggap perlu
karena situasi masyarakat atau pasar konsumen sudah over communicated (Kasali,
25
1995: 12). Supaya lebih dapat dipahami dalam konteks semiotika, positioning
diartikan sebagai penempatan suatu produk dalam citra khalayak sasaran iklan.
Konsep positioning dapat digunakan sebagai strategi dalam kampanye
periklanan. Menurut Aecker (dalam Kasali, 1995: 12) terdapat beberapa cara
untuk melakukan strategi positioning. Strategi ini dapat diterapkan melalui
berbagai hal berikut:
1) penonjolan karakteristik produk,
2) penonjolan harga dan mutu,
3) penonjolan penggunaannya,
4) positioning menurut pemakaiannya,
5) positioning menurut kelas produk,
6) positioning dengan menggunakan simbol-simbol budaya, dan
7) positioning langsung terhadap pesaing.
2.6.2 Tipografi
Tipografi adalah seni memilih jenis huruf, dari ratusan jumlah rancangan
atau desain huruf yang tersedia; menggabungkannya dengan jenis huruf yang
berbeda; menggabungkan sejumlah kata yang sesuai dengan ruang yang tersedia;
menandai naskah untuk proses typesetting, menggunakan ketebalan dan ukuran
huruf yang berbeda (Jefkins, 1996: 36).
Tipografi yang baik mengarahkan pada keterbacaan, kemenarikan, dan
desain huruf tertentu dapat menciptakan gaya (style) dan karakter atau menjadi
karakteristik subjek yang diiklankan. Menurut James Craig (dalam Kasali, 1995:
14) terdapat lima jenis huruf yang mencitrakan hal yang berbeda, yaitu:
26
1) Roman
Ciri dari huruf ini adalah memiliki sirip/kaki/serif yang berbentuk lancip
pada ujungnya. Kesan yang ditimbulkan adalah klasik, anggun, lemah gemulai
dan feminin.
2) Egyptian
Ciri dari huruf ini adalah memiliki sirip/kaki/serif yang berbentuk persegi
seperti papan. Jenis huruf ini mencitrakan kokoh, kuat, kekar, dan stabil.
3) San Serif
Pengertian san serif adalah tanpa sirip/kaki. Jenis huruf ini mencitrakan modern,
kontemporer, dan efisien.
4) Script
Huruf ini menyerupai goresan tangan yang dikerjakan dengan pena, kuas
atau pensil tajam dan biasanya miring ke kanan. Jenis huruf ini mencitrakan sifat
pribadi dan akrab.
5) Miscellaneous
Huruf jenis ini merupakan pengembangan dari bentuk-bentuk yang sudah
ada. Ditambah hiasan dan ornamen, atau garis-garis dekoratif. Jenis huruf ini
mencitrakan dekoratif dan ornamental.
2.6.3 Warna
Warna memegang peranan penting dalam sebuah iklan, yakni untuk
mempertegas dan memperkuat kesan atau tujuan dari iklan tersebut. Warna juga
mempunyai fungsi untuk memperkuat aspek identitas.
27
Menurut pakar Psikologi, J. Linschoten dan Mansyur (dalam Kasali,
1995: 87) warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya dapat diamati saja, warna
itu memengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam penilaian estetis
dan turut menentukan suka tidaknya kita terhadap berbagai benda.
Di bawah ini dipaparkan potensi karakter warna yang mampu
memberikan kesan pada seseorang, antara lain sebagai berikut.
1) Hitam, sebagai warna tertua dengan sendirinya menjadi lambang
kegelapan (hal emosi), berkabung, misterius, konservatif, berwibawa, dan
berbobot.
2) Putih, sebagai warna paling terang, melambangkan cahaya, suci,
elegan, bersih, segar-murni, dan sportif.
3) Abu-abu, merupakan warna yang paling netral dengan tidak adanya
sifat atau kehidupan spesifik, maskulin, serius, netral, dan daya tarik.
4) Merah, bersifat menaklukkan, semangat, ekspansif (meluas),
dominan (berkuasa), aktif , dinamis,dan vital.
5) Kuning, dengan sinarnya yang bersifat kurang dalam, merupakan
wakil dari hal atau benda yang bersifat cahaya, momentum, dan mengesankan
sesuatu. Di samping itu, kuning juga melambangkan kesan hangat, kegembiraan,
keceriaan, kemeriahan, dan pencerahan.
6) Biru, melambangkan kesan tenang, sendu dan ilmu pengetahuan.
Warna ini juga menimbulkan kesan dalamnya sesuatu (dediepte), sifat yang tak
terhingga dan transenden. Di samping itu, warna ini juga memiliki sifat tantangan.
28
7) Hijau, mempunyai sifat keseimbangan dan selaras, membangkitkan
ketenangan dan tempat mengumpulkan daya-daya baru.
8) Oranye melambangkan kesan kekuatan, kehangatan, aktivitas,
keramah-tamahan, dan kegembiraan.
2.6.4 Garis
Garis merupakan benda dua dimensi tipis memanjang. Garis memiliki
kemampuan untuk mengungkapkan suasana. Suasana yang tercipta dari sebuah
garis terjadi karena proses stimulasi dari bentuk-bentuk sederhana yang sering kita
lihat di sekitar kita, yang terwakili dari bentuk garis tersebut.
Menurut James Craig (dalam Kasali, 1995: 56) garis mempunyai makna
beserta asosiasi yang ditimbulkannya.
1) Horizon : memberi sugesti ketenangan atau hal yang tak
bergerak.
2) Vertikal : stabilitas, kekuatan atau kemegahan.
3) Diagonal : tidak stabil, sesuatu yang bergerak atau dinamika.
4) Lengkung S : grace, keanggunan.
5) Zig-zag : bergairah, semangat, dinamika atau gerak cepat.
6) Pyramid : stabil, megah, dan kuat.
7) Spiral : kelahiran atau generative forces.
8) Rounded Arch : lengkung bulat mengesankan kekokohan.
29
2.7 Pengaruh Komunikasi Periklanan
Dampak komunikasi periklanan adalah dampak pada reorganisasi kognisi
yang terjadi dalam proses semiosis, yaitu komponen interpretan yang membentuk
opini seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu produk atau jasa yang
diiklankan. Menurut Hoed (2001: 142), apabila pembentukan opini ini terjadi
tentang suatu jenis produk atau jasa dan kekerapannya cukup tinggi maka dapat
dikatakan mulai terjadi suatu proses transformasi budaya. Dampak komunikasi
periklanan bermacam-macam, tetapi di antara beberapa yang penting adalah
totemisme, individualisme semu, penerjemahan budaya, dan transformasi budaya.
2.7.1 Totemisme
Totemisme adalah suatu konsep dalam antropologi yang mengemukakan
bahwa sekelompok orang dalam suatu masyarakat mengidentifikasikan diri
mereka dengan suatu benda (totem) yang dengan demikian merasa mempunyai
satu rujukan bersama.
Lebih lanjut Hoed (2001: 154) menjelaskan bahwa totem adalah unsur
budaya yang ada dalam masyarakat primitif, biasanya berbentuk patung tanaman
atau hewan yang terbuat dari kayu yang diukir. Fungsi totem adalah sebagai
tanda bagi suatu keluarga atau suku yang biasanya menjadi peringatan akan asal
usul suku atau nenek moyang keluarga atau suku itu. Jadi, totem adalah tanda
jenis simbol karena merujuk pada makna tertentu (misalnya,’keperkasaan’) yang
membentuk ikatan pada sekelompok masyarakat secara konvensional. Totemisme
adalah sistem konvensional yang hidup dan berkembang berdasarkan kepercayaan
pada totem sebagai rujukan suatu ikatan kekerabatan.
30
Iklan mempunyai fungsi memperkenalkan barang atau jasa yang ditawarkan
kepada masyarakat, baik untuk dibeli ataupun untuk dipakai tanpa dibeli. Iklan
mewakili suatu makna tertentu yang oleh pembuatnya ingin disampaikan kepada
khalayak sasaran, yakni kelompok tertentu dalam masyarakat.
Totemisme yang dimaksud di sini tidak sama dengan pengertian seperti
yang ada pada zaman primitif. Namun, pada prinsipnya terdapat keserupaan
dalam hal sifatnya yang ‘mengikat’ kelompok masyarakat dengan suatu simbol.
Seperti telah dikemukakan, kita akan melihat produk yang diiklankan sebagai
tanda jenis simbol. Namun, konvensi mendasari simbol ini dibentuk melalui
sugesti yang ditimbulkan sehingga diharapkan menimbulkan kesepakatan yang
menjadi dasar bagi suatu konvensi untuk menerima suatu merek menjadi
semacam ‘totem’.
Ditinjau dari proses semiosis maka totem merupakan representamen yang
mengacu kepada objek dan interpretan tertentu. Konsep pembentukan totem gaya
baru adalah dengan mengaitkan simbol-simbol yang mengungkapkan simbol
komoditas A dengan makna ‘jadilah anggota kelompok pemakai komoditas A’.
Jadi, A adalah merek atau sifat-sifat khas komoditas tertentu yang akan dijadikan
pusat perhatian dan dijadikan ‘simbol ikatan’ calon konsumen dalam suatu
‘keluarga’ penggemar komoditas A itu. Jika upaya ini berhasil maka A akan
berfungsi sebagai totem bagi para penggemarnya.
2.7.2 Individualisme Semu
Sejumlah iklan seolah-olah menggiring kita pada individualisme. Apakah
sebenarnya individualisme itu? KBBI (halaman 329) mendefinisikan sebagai
31
“paham yang menganggap manusia secara pribadi perlu diperhatikan
(kesanggupan dan kebutuhannya tidak boleh disamaratakan)”.
Dalam memandang individualisme, Hoed (2001: 159) melihatnya dari
beberapa segi. Pertama, individualisme sebenarnya bukan suatu konsep yang
statis. Ia mengandung pengertian kemampuan untuk membentuk jati diri dan
kemampuan seseorang dalam berinteraksi di masyarakat. Jadi, inti individualisme
pada manusia mengandung makna kadar otonomi yang tinggi menghadapi
konsep-konsep supraindividual. Kedua, dalam masyarakat modern yang kapitalis,
individualisme bertentangan dengan sifat kapitalisme yang akhirnya cenderung
menyeragamkan masyarakat. Ditinjau dari segi ini, kapitalisme tampaknya tidak
berbeda dengan komunisme.
2.7.3 Penerjemahan Budaya
Penerjemahan budaya (cultural translation atau intercultural translation)
dikemukakan Finnegan dan Horton (Hoed, 2001: 161), yakni penafsiran suatu
konsep asing oleh suatu masyarakat dengan konsepnya sendiri. Ini terjadi pada
beberapa iklan yang kemudian terpaksa ditarik dari peredaran.
2.5.4 Transformasi Budaya
Istilah transformasi budaya menurut Hoed (2001: 162) mengandung arti
bahwa kehidupan dalam masyarakat kita telah dan/atau sedang mengalami
perubahan. Sepanjang sejarah, manusia dalam masyarakatnya menjalani
pengalaman, dalam pengalaman itu manusia merasakan realitas fisik dan
menerima pengetahuan.
32
Di dalam masyarakat, manusia berinteraksi satu sama lain dan interaksi itu
menambah pengalamannya. Akan tetapi, manusia tidak selalu mengalami realitas
fisik dan menerima pengetahuan itu secara langsung. Ia menerima pengalamannya
melalui suatu perantara (medium). Jadi, pengalaman itu diterimanya secara tidak
langsung melalui apa yang disebut medium (komunikasi) itu. Dengan adanya
kemajuan teknologi, khususnya komunikasi elektronik, yakni televisi maka
penyampaian realitas melalui medium itu menjadi lebih cepat dan, yang sangat
penting, semakin lebih mendekati pengalaman aslinya.
Lepas dari tingkat pendidikan seseorang, teralihnya pengalaman melalui
medium komunikasi itu membuat setiap orang menggunakan kemampuan
kognitifnya, yaitu kemampuan untuk menangkap pengalaman dengan otaknya
sehingga ia dikatakan mempunyai pengetahuan tentang realitas tertentu.
Pengetahuan itu, pada gilirannya, dapat menentukan corak prilakunya.
Transformasi budaya merupakan perubahan pola tingkah laku yang
disebabkan oleh adanya sejumlah pengalaman baru yang langsung atau tidak
langsung menjadi pengetahuan sekelompok orang yang menjadi anggota suatu
masyarakat. Jadi, pengetahuan baru itu telah mengakibatkan perubahan pada
tingkat kognisi yang dimiliki secara kolektif oleh suatu masyarakat budaya.
Sistem nilai juga erat hubungannya dengan totemisme. Iklan tidak jarang
mencoba mengubah sistem nilai sekelompok orang dalam masyarakat. Ini
merupakan persuasi iklan, yakni agar tercapai reorganisasi kognitif pada
kelompok sasaran iklan. Jika reorganisasi kognitif terjadi pada sekelompok
33
anggota masyarakat maka dapat dikatakan bahwa transformasi budaya telah
terjadi.
Iklan sebagai sebuah objek semiotika, mempunyai perbedaan mendasar
dengan desain yang bersifat tiga deminsional, khususnya desain produk. Iklan,
seperti media komunikasi massa pada umumnya, mempunyai fungsi “komunikasi
langsung”, sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi yang
tidak langsung. Oleh sebab itu, di dalam iklan aspek-aspek komunikasi seperti
“pesan” (messege) merupakan unsur utama iklan yang di dalam sebuah desain
produk hanya merupakan salah satu aspek saja dari berbagai aspek utama lainnya
(fungsi, manusia, produksi). Metode analisis semiotika iklan secara khusus telah
dikembangkan oleh para ahli periklanan, misalnya oleh Gillian Dyer, Torben
Vestergaard, dan judith Williamson (Christomy, 2004: 96).
Dari pandangan ahli-ahli semiotika periklanan di atas, dapat dilihat bahwa
ada dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara
semiotis dari objek-objek desain lainnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu
berisikan unsur-unsur tanda berupa objek (object) yang diiklankan; konteks
(context) berupa lingkungan, orang, atau mahkluk lainnya yang memberikan
makna pada objek; serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna
(anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan.
Eco (dalam Hoed, 2001: 143) mengemukakan bahwa suatu teks
merupakan suatu : Karya terbuka (opera aperta), yang terbuka pada berbagai
interpretasi memlalui proses semiosis. Namun, Nöth (1987b, dan 1990)
berpendapat bahwa teks iklan adalah sebuah “teks tertutup” karena apa yang
34
berada di balik teks tersebut sudah dapat dipahami oleh penerima iklan. Jadi,
meskipun teks berbunyi belilah A. Namun, selanjutnya proses semiosis akan
membawa kita pada pengertian bahwa iklan adalah sebuah “teks yang terbuka”.
Hal yang sama dapat terjadi pada unsur nonverbal, misalnya ikon. Dengan
demikian, iklan akan didekati dan diterangkan dengan ancangan semiotik yang
prinsip-prinsipnya dikemukakan diatas, yakni sebagai gabungan pemakaian tanda
dengan representamen yang verbal dan nonverbal.