jiplak alias copi paste
A.      PENDAHULUAN
1.        LATAR BELAKANG
         
 Karya sastra puisi adalah satu dari sekian banyak karya satra yang 
cukup menarik untuk di pelajari. Untuk itu perlu di ketahui mengenai 
struktur dan unsur pembentuk lainnya di antaranya yakni surealitas dalam
 sajak, seperti adanya representasi (mengubah pikiran menjadi bayangan 
visual kedalam bahasa) tidaklah cukup hanya dengan menemukan meaning 
unsur-unsurnya, tetapi harus sampai tataran semiotik, dengan membongkar 
kode sastra secara struktural atas dasar significance-nya. Misalnya, adanya penyimpangan dari kode bahasa dan makna yang biasa disebut ungramaticalities, yang secara mimetik mendapatkan significance
 secara semiotik dengan latar belakang karya satra yang di simpanginya 
(dalam bagian 3 ini pada estestikanya saja) (Teeuw, 1983:65).
         
 Di samping itu, prinsip intertekstualitas juga digunakan untuk 
mengetahui hubungan dan pertentangan dengan karya sastra lain, 
sehubungan dengan aktivitas bahasa yang mendukung eststika surealistis 
sajak A. Mustofa Bisri (Gus Mus). Dalam memahami sajak digunakan metode 
pembacaan heuristik, yakni dengan mengartikan satuan linguistik yang 
digunakan sesuai dengan konvensi bahasa yang berlaku. Kemudian, untuk 
menjelaskan kedudukan sebuah frasa ataupun kalimat, apakah sebagai 
lanskap biasa ataukah citra-simbolik, maka harus diketahui makna frasa 
ataupun kalimat itu. Karenanya, diperlukan pembacaan hermeneutik, yakni 
dengan menyebut makna yang terkandung di dalam teks, yang hal itu sangat
 ditentukan oleh kompetensi linguistik (Riffaterre, 1978:4-6).
         
 Yang perlu diperhatikan dalam pembahasan subbagian dalam karya puisi 
harus dilakukan dengan cara mengupas kecenderungan sajak sehubungan 
dengan masalah pokok yang sedang dibahas, antara lain tentang apa, 
mengapa, bagaimana, relevansinaya, klasifikasinya, penilaiaannya, gagal 
atau berhasilnya.
         
 Untuk itu akan dianalisis didalam makalah ini tentang struktur  
kepuitisan dalam puisi “ Kau ini bagaimana” dan “Bila kutitipkan” karya 
A. Mustofa Bisri (Gus Mus) teori yang digunakan dalam menganalisis puisi
 ini yakni dengan menggunakan analisis stuktural semiotik yang akan bisa
 menjelaskan struktur yang ada didalam puisi karya A. Mustofa Bisri (Gus
 Mus).
2.        RUMUSAN MASALAH
         
 Untuk memecahkan atau membongkar struktur kepuitisan, penulis 
menganalisis dengan menggunakan teori struktural semoiotik dengan 
membongkar diksi, gaya bahasa, citraan, dan sarana retorika. Dalam hal 
ini penulis mengambil puisi karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang akan 
dianalisis adalah puisi berjudul   “Kau ini bagaimana” dan “Bila 
kutitipkan” untuk dikaji dan dianalisis.
3.  TUJUAN
         
 Penjelasan yang lebih detail akan menjadikan pembaca lebih mudah 
memahami karya sastra puisi yang ditulis oleh penulis A. Mustofa Bisri 
(Gus Mus) Tujuan dalam analisis ini adalah untuk memahami dan mengetahui
 struktur kepuitisan dalam puisi “Kau Ini Bagaimana” dan “Bila 
Kutitipkan” karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
 yang berkaitan dengan diksi, gaya bahasa, citraan, dan saran retorika. 
Hal ini dilakukan untuk menarik dan memberi pengetahuan apa maksud yang 
ingin disampaikan oleh sang penulis.
B.     TEORI DAN METODE ANALISIS
I.            Teori dan Struktural Semiotik
         
 Surialisme mempunyai arti unggul yang melampui tuntutan logika dan 
kegunaan. Surealisme disebabkan oleh permainan imajinasi yang 
ditimbulkan oleh bawah sadar (Hartoko dan Rahmanto, 1986:40) Panerapan 
pada citraan, misalnya dengan teknik metaforik, yaitu membaurkan antara 
empiris dan realitas imajiner.  
         
 Didalam karya sastra puisi mempunyai bentuk pengungkapan didalam sajak.
 Bentuk pengungkapan ini membawa gaya ungkap yang khas, yang membedakan 
sajak masing-masing penyair ketidaksamaan dalam menampilkan bahasa 
didalam sajak disebabkan oleh subjektivitas pemahaman atau pemikiran 
tatkala memaknai objek. Subjektivitas juga yang menyebabkan ide seorang 
penyair berbeda dengan penyair lainnya meskipun objeknya sama. 
Subjektivitas juga menyebabkan sikap, ekspresi, emosi serta keputusan 
spontan seorang penyair terhadap pengalaman, alam, dan kehidupan menjadi
 mempribadi dan berkembang. Tentu saja perkembangan tersebut juga 
dipengaruhi oleh perkembangan situasi sosial, psikologi, dan pengalaman 
rohani. 
         
 Sajak  adalah semacam penggunaan bahasa (Teeuw, 1983:1). Didalamnya 
terkandung unsur kepuitisan dan makna. Pada saat tertentu, aspek 
kepuitisan ini menjadi menentu, aspek kepuitisan ini menjadi menentukan 
dan memberi gambaran tentang sejauh mana penyair mempunyai daya cipta 
yang orisinal, serta akan memberi pengertian pembaca (Pradopo dkk., 
1978:35).
         
 Aspek kepuitisan dan makna, baik bagian maupun keseluruhannya berada di
 dalam pengucapan bahasa sebab karya satra bermediakan bahasa. Sementara
 itu bahasa itu sebelum menjadi sajak telah mempunyai arti sebagai 
sistem semiotik tingkat pertama, sedangkan selanjutnya ketika menjadi 
sajak, bahasa ditingkatkan sistemnya menjadi makna (significance) sebagai semiotik tingkat kedua (Pradopo, KR, 17 Januari 1988).
         
 Dengan begitu sajak menjadi suatu struktur yang kompleks, antara aspek 
kepuitisan dan aspek makna saling berkaitan (Pradopo,1987:120). 
Pandangan demikian berangkat dari prinsip strukturalisme, yang memahami 
dunia sebagai bentuk dari hubungan antarbenda (Hawkes,1978:17). Setiap 
unsur dari suatu hal tidak memiliki makna sendiri-sendiri, tetapi 
eksistensinya lebih ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur yang 
terlibat didalam situasi tersebut ( Hawkws, 1978:17)
Dalam memberi makna sebuah karya sastra harus dimulai dengan menemukan meaning unsur-unsurnya,
 yaitu kata-katanya, menurut kemampuan bahasanya yang berdasarkan 
fungsinya bahasa sebagai alat komunikasi tentang gejala didunia luar: 
mimetic function, tetapi kemudian dia harus meningkat ke tatataran 
semiotik, di mana kode karya itu harus dibongkar (dekoding) secara 
struktural, atas dasar significance-nya; penyimpangan dari kode bahasa, 
dari makna biasa yang disebut Riffaterre ungrammaticalities secara 
mimetik mendapatkan significance secara semiotik, dengan latar belakang 
keseluruhan karya sastra yang disimpanginya (Teeuw, 1983:65).         
II.            Metode Struktural Semiotik
         
 Dengan menggunakan teori Struktural semiotik  maka akan dianalisis 
sebuah karya puisi dengan memakai metode analisis dengan pemaknaan atau 
arti sebagai berikut.
a)        Sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya dengan memperhatikan saling hubungan antar unsur-unsurnya dengan keseluruhanya.
b)        Tiap unsur sajak itu dan keseluruhannya diberi makna sesuai dengan konvensi puisi.
c)        Setelah sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya dilakukan pemaknaannya, sajak dikembalikan kepada makna totalitasnya dalam kerangka semiotik.
d)       Untuk pemaknaan itu diperlukan pembacaan semiotik, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (Riffarterre, 1978:5-6)
         
 Disini penulis akan menganalisis karya sastra puisi karya A. Mustofa 
Bisri (Gus Mus) yang berjudul  “Kau ini bagamana” dan  “Bila Kutitipkan”
 yang menggunakan metode analisis. Metode yang pertama digunakan yaitu 
menggunakan  metode analisis sajak ke dalam unsur-unsur yang berkaitan, 
dengan memperhatikan dan menghubungkan antara unsur-unsur yang saling 
berkaitan dengan keseluruhan kata. Disini juga Penulis hanya 
 menganalisis struktur kepuitisan  yang berupa diksi, gaya bahasa, 
citraan, dan sarana retorika.  
 i.          Sajak yang di analisis
“Bila kutitipkan”
Bila kutitipkan dukaku pada langit
Pastilah langit memanggil mendung
Bila kutitipkan resahku pada angin
Pastilah angin menyeru badai
Bila kutitipkan geramku pada laut
Pastilah laut menggiring gelombang
Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api. Tapi
Akan kusimpan sendiri mendung dukaku
Dalam langit dadaku
Ku simpan sendiri badai resahku
Dalam angin desahku
Ku simpan sendiri gelombang geramku
Dalam laut pahamku
Ku simpan sendiri api dendamku dalam gunung resamku
Ku simpan sendiri 
       A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
      “Kau ini bagaimana”
Kau ini bagaimana? Atau aku harus bagaimana?
kau ini bagaimana? Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir
Aku harus bagaimana?
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimbung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau mencontohkan yang lain
Kau ini bagaimana?
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara tiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah
Aku harus bagaimana?
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggungjawab, kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bissawab
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu
Kau ini bagaimana?
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis
Aku harus bagaimana?
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif  kau bilang jangan mendikte saja
Kau ini bagaimana?
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku
Kau ini bagaimana?
Atau aku harus bagaimana?
Karya: A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
ii.          Diksi (Pilihan kata)
         
 Untuk menilai gaya surealistik sajak A. Mustofa Bisri (Gus Mus), 
terlebih dahulu harus dianalisis struktur kepuitisannya sebagai bagian 
dari keseluruhannya (via Pradopo, 1987:120). Gaya surealistis A. M 
ustofa Bisri (Gus Mus) dianalisis dan dinilai dengan diksi, bahasa 
kiasan,  citraan, sarana retorik, dan gaya sajak. Kata ditempatkan 
sebagai hal yang vital dalam sajak sebab melalui kata penyair mampu 
menyampaikan pikiran-pikiran dan perasaan atau momen puitiknya meskipun 
dengan ketaklangsungan ekspresi dan bersifat arbitrer. Subagio 
Sastrowardoyo barangkali merupakan contoh yang baik. Sebagai penyair, ia
 dengan sadar menempatkan kata begitu penting dalam kehidupan dan 
puisi-puisinya (Abdul Wahid B.S, 2010:67).
         
 M.H. Abrams berpandangan bahwa pilihan kata dalam sajak diartikan 
sebagai pilihan kata atau frase dalam karya sastra (1981:13)
         
 “kau ini bagaimana,” Pada kalimat tersebut sang penulis mencoba 
mempertanyakan dan mengulang-ulang  kalimat “kau ini bagaimana” dalam 
sajaknya puisi tersebut terkesan mengkritik dari semua lapisan 
masyarakat, tokoh masyarakat dan para pejabat. sebagai contoh kebiasaan 
di masyarakat ternyata masih kurang dari semua aspek dijelaskan pada 
sajak  “kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya” pada 
sajak “aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya”
 penulis mencoba menggambarkan fakta di masyarakat bahwa para 
penegak-penegak hukum itu melanggar hukum yang harusnya di tegakkan oleh
 penegak hukum itu sendiri. Sajak “ aku kau suru berdisiplin, kau 
mencontohkan yang lain” penulis mengkritik para tokoh atau pejabat 
tentang peraturan atau sebuah tata tertip tersebut harus di patuhi, 
namun pejabat itu sendiri tidak mencontohkan apa yang diomongkan atau 
yang telah di sampaikan oleh para tokoh atau pejabat itu sendiri. Dan 
pada sajak “kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami 
rumah-rumah” pemerintah dalam sajak ini sangat jelas dikritik ketika 
pemerintah menggalakkan ingin menjadikan negara ini pengekspor beras, 
tetapi disisilain pemerintah dengan secara tidak langsung mengijinkan 
bangunan-bangunan gedung tinggi yang aslinya menjadi persawahan milik 
petani disulap menjadi gedung-gedung tinggi. Itulah sebagian contoh 
sajak dari A. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang sangat menekankan untuk 
mengintropeksi diri supaya lebih baik untuk kemajuan bersama. 
iii.          Bahasa Kiasan
         
 Dalam pembicaraan sajak, bahasa sering dihubungkan dengan seberapa jauh
 penyair menggunakan bahasa kiasan sebagai alat untuk mencapai 
kepuitisan. Sekalipun ada sajak  yang tidak dominan menampilkan kiasan 
kiasan, dalam banyak hal kiasan untuk sajak itu penting peranannya 
sebagai upaya penyair menggandakan makna dalam sajaknya.
         
 Adapun bagi sajak-sajak A. Mustofa Bisri analisis bahasa kiasan 
merupakan bagian penting dalam upaya memahami dan menilai sejauh mana 
surialitas yang terkandung, sebab surialitas merupakan bagian dari gaya 
ungkap, atau sebagai sarana kepuitisan. Dan salah satu dari bahasa 
kepuitisan itu adalah bahasa kiasan.
         
 Michael Riffaterre mengatakan bahwa puisi itu menyatakan sesuatu secara
 tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu yang berarti yang lain 
(1978:1). Sejalan dengan itu  A.S. Hornby mengatakan bahwa bahasa kiasan
 meliputi segala jenis ungkapan yang melibatkan penggunaan kata atau 
frasa dengan arti lain, selain arti harfiahnya (via pradopo, 1978:41)
         
 Bahasa kiasan memang merupakan bagian dari ketaklangsungan pengucapan 
sajak, yaitu dengan memindahkan dan atau pengertian arti yang disebabkan
 oleh penggunaan bahasa kiasan, seperti metafora dan metonimi. Pengunaan
 bahasa  kiasan akan lebih menarik perhatian dan mempunyai unsur 
kepuitisan lainnya. Diantara bahasa kiasan itu yakni metafora, 
personifikasin dll. Sebagai contoh analisis Bahasa kiasan dipakai oleh 
karya sastra yang berjudul “kau ini bagaimana” dan “bila kutitipkan” 
karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus). Sebagai contoh judul puisi  A.   
Mustofa Bisri yang mengandung bahasa kiasan pada puisi yang berjudul 
“kau ini bagaimana” pada sajaknya terdapat kalimat “kau bilang Tuhan 
sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara 
setiap saat” bahasa kiasan diungkapkan secara tidak jelas. Dan pada 
sajak “kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai” 
kalimat perlawanan digunakan dalam pengungkapan pesan yang ingin 
disampaikan oleh penulis puisi.
    
1)      Personifikasi
         
 Jan van Luxemburg melihat bentuk kiasan personifikasi ini sebagai 
“Aspek arti dari suatu yang hidup dialihkan kepada suatu yang tidak 
bernyawa” (Luxemburg, hal. 140). Begitu pula pengertian yang diberikan 
oleh Gorys Keraf bahwa “personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam 
bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang 
yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan” (Keraf, hal.
 140). Bahkan L. Perrine menyebut personifikasi sebagai anak jenis 
metafora karena adanya perbandingan yang tersembunyi, istilah kiasan 
perbandingannya selalu berupa manusia (Perrine via Pradopo, 1978:47).
         
 Bila di amati puisi karya A. Mustofa bisri (Gus Mus) pada puisinya yang
 berjudul “bila ku titipkan” terdapat sajak “bila ku titipkan resahku 
pada angin pastilah angin menyeru badai” penggunaan majas personifikasi 
diletakkan pada sajaknya membuat hidup alam yang sesungguhnya tak 
bernyawa dan tak mempunyai pikiran, perasaan untuk menilai pada dasarnya
 kata titipkan adalah kata yang mempuyai arti memberi atau mempasrahkan 
sesuatu kepada seseorang tetapi kata menitipkan digabungkan menjadi 
maksud atau penggabungan dengan kata angin. Pada sajak ini “bila ku 
titipkan geramku pada laut, pastilah laut menggiring gelombang” geram 
adalah sebuah perasaan yang lanzimnya terdapat pada perasaan manusia 
yang kecewa tetapi disini penulis mencoba mengungkapkan kegeraman 
digabungkan dengan gelombang (alam). Dan sajak “bila ku titipkan 
dendamku pada gunung, pastilah gunung meluapkan api”  inilah pemakaian 
personifikasi terdapat kata dendam dengan api penulis menjadikan kata 
yang berbeda tetapi mempunyai maksud satu tujuan.
2)      Metafora
         
 A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam karya puisinya yang berjudul “bila 
kutitipkan” sang penulis mengambarkan kekecewaan terberatnya. 
Menggambarkan kedukaannya begitu berat sampai dihubungkan dengan bencana
 alam yang ada disekitarnya,   “pastilah langit memanggil mendung” 
“pastilah angin menyeru badai” pastilah lsaut menggirimg gelombang” 
“pastilah gunung meluapkan api”. Penulis menggambarkan begitu berat 
cobaan yang menimpa pada dirinya. Disini sajak yang dipakai unsur 
kepuitisan yang kental terasa dalam mengambarkan sebuah kalimat yang tak
 nyata atau dapat dilihat dengan gambaran visual tetapi penulis berusaha
 mengabungkan antara pikiran dengan alam.
         
 Namun dalam sajaknya juga ditemuka pengabungan antara jiwa (psikologis)
 dengan alam. Seakan-akan jiwa perasaan bisa menyatu dengan alam 
(gunung,laut,mendung,langit) yang semuanya itu dihubungkan dengan 
perasaan. Disamping itu walaupun penulis menggambarkan kedukaannya yang 
sangat berat penulis mempunyai pesan atau maksud yang tersimpan dalam 
sajaknnya. “Tapi” akan ku simpan sendiri mendung dukaku dalam langit 
dadaku” yakni walau masalah sebanyak apapun/sekecewa apapun penulis 
tetap mengambarkan kesabaran, bebesaran hatinya yang menyimpan sendiri 
masalahnya tampa diketahui orang lain. Dimaksudkan agar tidak memberi 
beban pada orang lain dan dapat mengendalikan emosinya atas masalah 
kekecewaan yang penulis alami.    
iv.          Citraan
          Dalam sebuah sajak, yang terpinting ialah bagaimana seorang penyair berkemampuan menghidupkan (apa)
 dunia yang dibagunnya melalui kekuatan bahasa yang khas yang 
dimilikinya. Kata “menghidupkan” terhadap apa yang dibangunnya itu tentu
 saja menyangkut keutuhan antara bentuk dan isi sajak, sebagaimana 
pernah dikemukakan Goenawan Mohammad,”...puisi...pertama-tama hadir 
sebagai keutuhan”. 
         
 Keutuhan ini perlu sebab sajak sangat mengutamakan kata-kata sebagai 
pendukung imaji meski kata-kata itu juga berperan sebagai lambang. Hal 
demikian ini dapat dikatakan ada di setiap aliran sajak, baik itu 
simbolisme, surealisme, maupun imajisme. Sapardi Djoko Damono pernah 
mengatakan hal yang sama, “kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat
 yang menghubungkan pembaca dengan dunia intuisi penyair. Meskipun 
perannya sebagai penghubung itu tak bisa dilenyapkan, namun yang utama 
ialah sebagai objek pendukung imaji (Budaya Jaya, no. 20, th. III, 
Januari 1 970)
         
 Kata-kata sebagai pendukung imaji tersebut tidak lain merupakan 
citraan. Dalam sajak, citraan umumnya digunakna dalam dua pengertian, 
yakni sebagai pengalaman indra, dan bentuk bahasa yang dipergunakan 
untuk menyampaikan pengalaman indra itu.  Tentu saja, sebuah sajak yang 
baik senantiasa memperhitungkan adanya keutuhan antara bentuk dan isi, 
keutuhan penggambaran-penggambaran imajinya sehingga mampu memberi 
nuansa berimajinasi dan berpikir kepada pembaca. Di samping itu, menurut
 Rene Wellek, ”penggambaran” itu menunjukkan adanya pandangan hidup 
(weltanschauung) yang tersirat dalam karya sastra tersebut (Wellek, 
1987:246).
         
 Adanya beberapa istilah dan kegunaan sehubungan dengan citraan ini, 
yaitu image dan imagery, yang batasan pemakaiannya sebagaimana diuraikan
 berikut ini. Image adalah impresi yang terbentuk pada imajinasi melalui
 sebuah kata atau serangkaian kata; seringkali merupakan gambaran 
angan-angan (Monfries via Pradopo dkk., 1978:53)
         
 Gambaran dari pengalaman indrawi dalam puisi disebut imagery. Imagery 
tidak hanya terdiri dari ‘gambaran mental’, tetapi dapat menggugah 
indra-indra lain (Broks dan Werren via pradopo, 1978:53). Menurut H. 
Coombes, seorang pengarang yang baik menggunakan image yang segar dan 
hidup dengan tujuan memperjelas dan memperkaya. Image yang berhasil akan
 membantu menghayati atau subjek terhadap objek atau situasi yang 
digarap oleh pengarang secara cermat dan hidup (1966:43).
         
 Dalam karya sastra puisi A. Mustofa Bisri “kau ini bagaimana” dan “bila
 kutipkan” penulis berani menggambarkan apa yang ia lihat (visual). 
Pengambaran dimasyarakat sebagai contoh “aku kau suruh menghormati 
hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya” “kau suruh aku mengikutimu, 
langkahmu tak jelas arahnya” “ aku kau suruh menabung, aku menabung kau 
menghabiskannya”
 dan “aku kau suruh bertanggungjawab, kau sendiri terus berucap Wallahu 
A’lam Bissawab” bangunan citraan puisi menggambarkan hal-hal yang umum 
dan kabur (tapi enak didengar). Citraan juga bersifat persepsi dan 
mewakili sesuatu yang tidak nampak.
v.          Sarana Retorik
         
 Sarana retorika dalam sajak sering kali dikaitkan dengan gaya ungkap 
pribadi seorang penyair. Ada kesamaan antara gaya retoris dengan bahasa 
kiasan, yakni sama-sama mengadakan penyimpangan dari struktur bahasa 
setandar. Disamping itu, ada juga perbedaannya, yaitu bahwa gaya bahasa 
retoris itu semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa 
untuk mencapai efek tertentu, sedangkan gaya bahasa kiasan merupakan 
penyimpangan lebih jauh, khususnya dalam bidang makna (Keraf,1990:2), 
Lynn Altenbernd pernah mengemukakan bahwa sarana retorika merupakan 
sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran ( 1969:2), yang efek 
pemakaiannya ialah menarik perhatian dan pemikiran pembaca sehingga 
sarana tertantang untuk mencari makna sajak yang dibaca
         
 Pada umumnya, sarana retorika itu selalu menimbulkan ketegasan puitis 
sebab pembaca harus memikirkan efek apa yang di timbulkan dan di 
maksudkan oleh citraan simbolik yang menyimpan gagasan penyair.
         
 Pada sajak puisi A. Mustofa Bisri (Gus Mus)  ialah mengabungkan antara 
citraan dan alam yang sebenarnya berjauhan sifat dan hakikatnya dalam 
keseruangan. Contohnya baris sajak berikut ini.
  
Bila ku titipkan geramku pada laut 
Pastilah laut menggiring gelombang 
Bila kutitipkan dendamku pada gunung 
Pastilah gunung meluapkan api
(Bila kutitipkan, Gus Mus)
         
 Pada ungkapan sajak tersebut ada kesan pengabungan antara pikiran 
dengan alam, seperti “bila kutitipkan geramku pada laut” itulah ciri 
ungkapan surialistis, yaitu penuh dengan hiperbola dan melebih-lebihkan 
sesuatu yang tidak mungkin terjadi antara perasaan dengan alam.
C.     KESIMPULAN
         
 Dalam kehidupan manusia tak lepas dari perjalanan yang indah, bahagia, 
cobaan, dan masalah. Puisi merupakan karya sastra yang bisa 
menggambarkan perasaan, masalah dimasyarakat bahkan masalah pada diri 
sendiri, mengungkapkan perasaan dalam hati dengan sebuah sajak yang 
dipilih dengan diksi-diksi yang baik sehingga dapat terbuat karya yang 
baik, mempunyai nilai seni yang tinggi merupakan sebuah karya yang baik 
dapat menyentuh perasaan penulis dan pembaca. Pembacapun dapat memahami 
karya puisi dengan  mudah
 dan tersentuh hatinya. Maka dari itu penulis membuat karyanya dengan 
pemilihan kata (diksi) yang dapat mewakili perasaan sang penulis dan 
diungkapkan dengan tulisan atau karya satra puisi.
         
 Puisi yang berjudul  “kau ini bagaimana” dan “ bila kutitipkan” dapat 
dianalisis bahwa terdapat bahasa kiasan, pemilihan kata (diksi) yang 
sangat indah jika digabungkan dengan diksi-diksi yang lain, citraan dan 
sebagainya ini dapat diambil kesimpulan bahwa penulis A. Mustofa Bisri 
(Gus Mus) membuat puisi sangat memperhitungkan arti, makna, dan diksi 
dalam pembentukan sajaknya. Sehingga dapat menjadi sebuah karya sastra 
yang baik dan mempunyai makna yang luasdan bermanfaat bagi banyak 
orang.  
`
DAFTAR PUSTAKA
Wachid, Abdul.2010.Analisis Struktural Semiotik.Yogyakarta: Cinta Buku
Asphani, Hasan.2007.Menapak ke Puncak Sajak.Depok: Koekoesan
Pradopo, Rachmat Djoko.2009.Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapanya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
_________.2008.Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama