Kondisi Politik
Secara global-teritorial, Arab
merupakan negeri yang terletak di semenanjung Arab yang dikelilingi tiga
lautan, yaitu Laut Merah di Barat, Samudera Hindia di Selatan, dan Teluk Persia
di sebelah Timur. Letak geopolitik ini berdampak signifikan pada kondisi sosial
bangsa Arab. Negeri Yaman misalnya, diperintah oleh bermacam-macam suku dan
pemerintahan yang terbesar adalah masa pemerintahan Tababi’ah dari kabilah
Himyar.
Di bagian Timur Jazirah Arab, dari
kawasan Hirah hingga Iraq, yang ada hanya daerah-daerah kecil yang tunduk
kepada kekuasaan Persia hingga datangnya Islam. Raja-raja Munadzirah sama
sekali tidak berdiri sendiri dan tidak merdeka, tetapi tunduk secara politis di
bawah kekuasaan raja-raja Persia. Bagian Utara Jazirah Arab sama dengan bagian
Timur, karena di daerah itu juga tidak ada pemerintahan bangsa Arab yang murni
dan merdeka. Semua raja di sini tunduk di bawah kekuasaan Romawi. Raja-raja
Ghasasanah semuanya serupa dengan raja-raja Munadzirah.
Sementara itu, di Tengah Jazirah
Arab, di mana terdapat tanah suci Mekkah dan sekitarnya, kaum Adnaniyyin
menjadi penguasa yang independen, tidak dikuasai oleh Romawi, Persia, maupun
Habasyah. Allah telah menjaga kehormatan tanah dan penduduk disana. Bahkan
sejak masa imperialisme Barat yang menjajah dunia Islam, tak ada yang bisa
menguasai negeri suci ini karena Allah telah menjaga kesuciannya.[1]
Kondisi Ekonomi
Perekonomian bangsa Arab secara umum
tidak bermakna apa-apa, kecuali negeri-negeri yang ada di daerah Yaman. Yaman
adalah negeri yang subur, khususnya di sekitar bendungan Ma’rib, di mana
pertanian maju secara pesat dan menakjubkan. Di masa itu juga telah berkembang
industri, seperti industri kain katun dan persenjataan berupa pedang, tombak,
dan baju besi. Akan tetapi, mereka tidak bersyukur dan justru berpaling dari
ketaatan kepada Allah. Karena kekufuran itu, Allah pun menghancurkan bendungan
Ma’rib itu.
Sementara itu, mayoritas kabilah
Adnan tinggal di tengah gurun pasir dengan rumput yang sedikit untuk mengembala
domba. Mereka hidup dari susu dan dagingnya. Sedangkan kaum Quraisy yang
tinggal di tanah suci mengandalkan perekonomiannya dari berdagang. Pada musim
dingin, mereka berduyun-duyun ke Yaman untuk berdagang. Dan ketika musim panas,
mereka memilih Syam sebagai tujuan perdagangannya. Orang-orang Quraisy ini
hidup dalam kemakmuran, berbeda dengan kabilah-kabilah lainnya yang rata-rata
hidup susah dan menderita.[2]
Kondisi Sosial
Fase kehidupan bangsa Arab tanpa
bimbingan wahyu Ilahi dan hidayah sangatlah panjang. Oleh sebab itu, di antara
mereka banyak ditemukan tradisi yang sangat buruk. Berikut ini adalah contoh
beberapa tradisi buruk masyarakat Arab Jahiliyah.
- Perjudian atau maisir. Ini merupakan kebiasaan penduduk di daerah perkotaan di Jazirah Arab, seperti Mekkah, Thaif, Shan’a, Hijr, Yatsrib, dan Dumat al Jandal.
- Minum arak (khamr) dan berfoya-foya. Meminum arak ini menjadi tradisi di kalangan saudagar, orang-orang kaya, para pembesar, penyair, dan sastrawan di daerah perkotaan.
- Nikah Istibdha’, yaitu jika istri telah suci dari haidnya, sang suami mencarikan untuknya lelaki dari kalangan terkemuka, keturunan baik, dan berkedudukan tinggi untuk menggaulinya.
- Mengubur anak perempuan hidup-hidup jika seorang suami mengetahui bahwa anak yang lahir adalah perempuan. Karena mereka takut terkena aib karena memiliki anak perempuan.
- Membunuh anak-anak, jika kemiskinan dan kelaparan mendera mereka, atau bahkan sekedar prasangka bahwa kemiskinan akan mereka alami.
- Ber-tabarruj (bersolek). Para wanita terbiasa bersolek dan keluar rumah sambil menampakkan kecantikannya, lalu berjalan di tengah kaum lelaki dengan berlengak-lenggok, agar orang-orang memujinya.
- Lelaki yang mengambil wanita sebagai gundik, atau sebaliknya, lalu melakukan hubungan seksual secara terselubung.
- Prostitusi. Memasang tanda atau bendera merah di pintu rumah seorang wanita menandakan bahwa wanita itu adalah pelacur.
- Fanatisme kabilah atau kaum.
- Berperang dan saling bermusuhan untuk merampas dan menjarah harta benda dari kaum lainnya. Kabilah yang kuat akan menguasai kabilah yang lemah untuk merampas harta benda mereka.
- Orang-orang yang merdeka lebih memilih berdagang, menunggang kuda, berperang, bersyair, dan saling menyombongkan keturunan dan harta. Sedang budak-budak mereka diperintah untuk bekerja yang lebih keras dan sulit.
Kondisi Agama
Menurut Thaib Thahir Abdul Mu’in,
hakikat ibadah pendudukan Arab Jahiliyah adalah hasil dari salah satu dua
perasaan, yaitu:
- Perasaan manusia yang merasa bahwa ada kekuatan tersembunyi, yang tidak dapat dikenal dan diketahui oleh manusia. Kekuatan itu yang menyebabkan bergerak dan berlakunya alam semesta ini dengan teratur dan harmonis. Perasaan ini tertanam dalam jiwa manusia.
- Perasaan yang salah terhadap sesuatu, karena hanya berdasarkan kepada pancaindera saja, seperti perasaan terhadap salah satu kekuatan yang ada di alam ini. Misalnya, perasaan orang Mesir kuno yang menganggap keistimewaan itu pada sapi, matahari, sungai Nil, dan sebagainya. Perasaan inilah yang mendorong manusia ke arah kepercayaan yang salah. Tetapi meskipun salah, perasaan itu sangat membekas di dalam kehidupan masyarakat ketika itu. Bahkan bekas-bekas itu hingga kini masih terlihat di kalangan umat yang terbelakang.[3]
Bangsa Arab umumnya mempunyai kedua
perasaan tersebut. Perasaan yang pertamalah yang mendorong bangsa Arab mengabdi
kepada Allah dan mengakui jualah yang menjadikan langit dan bumi, memberikan
rezeki, dan sebagainya. Sedangkan perasaan kedua yang mendorong mereka
menyembah berhala, karena awalnya mereka mengganggap bahwa berhala adalah alat
penghubung menyembah dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun pada akhirnya
mereka meyakini bahwa dalam berhala-berhala itu memiliki kekuatan sendiri.[4]
Kemusyrikan di tengah bangsa Arab musya’ribah,
bermula ketika mereka keluar mencari rezeki.[5] Jika di antara penduduk di sekitar Makkah ada
yang hendak bepergian ke daerah lain, mereka membawa beberapa batu yang ada di
dekat Ka’bah, dengan tujuan sebagai kenang-kenangan bagi tanah airnya dan
sebagai pengganti Ka’bah yang tidak dapat dibawa. Semenjak itulah orang
Jahiliyah menghormati dan mengangungkan batu. Keadaan ini berlangsung beberapa
abad lamanya dan turun temurun. Sehingga anak cucunya yang kemudian, tidak
mengenal lagi asal muasal penghormatan dan penyembahan batu-batu itu.
Sebagian bangsa Arab ada yang pindah
dari menyembah batu-batu kepada menyembah berhala atau arca, ada yang tetap
menyembah batu, dan ada pula yang tetap berpegang kepada agama Nabi Ibrahim.
Dengan demikian, iman orang Arab Jahiliyah terhadap batu-batu dan berhala itu
tidak begitu kuat. Karena dasar kepercayaannya kurang kuat. Mereka akan
membinasakan arca-arca itu, apabila harapan-harapan mereka tidak terkabul. Dan
apabila terkabul, mereka akan membayar dengan pengorbanan berupa hewan ternak.[6]
Berhala yang dipuja dan disembah
oleh bangsa Arab Jahiliyah sangat banyak jumlahnya. Dari sekian banyak
berhala-berhala tersebut, yang terbesar dan termasyhur ada lima berhala, antara
lain:
- Berhala Wad atau Waddan, menjadi sesembahan kabilah Kalb,
- Berhala Sua’ atau Sua’an, menjadi sesembahan kabilah Huzdail,
- Berhala Yaghuts, menjadi sesembahan kabilah Bani Khuthaif,
- Berhala Nasr, menjadi sesembahan kabilah Himyar.
Nama-nama ini dahulu adalah nama
orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh. Setelah orang-orang shaleh itu meninggal
dunia, umatnya mengadakan peringatan-peringatan untuk mereka dengan cara
mendewakannya. Setelah generasi itu mati, mereka menjadi disembah. Selain dari
lima berhala tersebut, ada beberapa berhala pula yang utama, yaitu Latta, Uzza,
dan Manat.[7]
Kaum Quraisy dan Arab Jahiliyah di
Mekkah, tidaklah menghormati dan membesar-besarkan kelima berhala di atas.
Mereka hanya memuja ketiga berhala itu, sebab itu yang paling utama dan lebih
tinggi derajatnya bagi mereka. Dari ketiga berhala itu, orang Quraisy memilih
yang terpenting dan istimewa, yaitu Uzza. Kabilah Bani Saqif lebih memuliakan
dan mengutamakan Latta. Sedangkan Bani Aus dan Khazraj di Madinah lebih
mengutamakan Manat.[8]
Ada pula sebagian bangsa Arab
Jahiliyah yang menyembah Ba’l atau Baal. Menurut mereka berhala Ba’l ini dapat
menyebabkan suburnya tanah dan menimbulkan hasil yang banyak. Golongan yang
banyak menyembah Ba’l ini adalah kaum tani. Dan ada pula golongan yang mutlak
tidak mengakui adanya Allah dan Tuhan lainnya. Golongan ini dinamakan Dahrenun
(Ateis). Menurut mereka segala yang ada di alam semesta ini adalah kejadian
alam yang terjadi dengan sendirinya, tanpa ada yang menjadikannya.[9]
Demikian pula peradaban dan
kemasyarakatan pada bangsa Arab Jahiliyah tersebut terus-menerus dalam percekcokan
antar kabilah-kabilah. Mereka saling rampas-merampas, selalu melanggar dan
menghianati janji-janji mereka, tidak peduli kepada orang lain maupun sanak
saudaranya, gelisah dan malu apabila memperoleh anak perempuan, membunuh dan
mengubur anak-anak perempuan, takut miskin, dan sebagainya.[10] Dengan kata lain, hukum yang berlaku di
bangsa Arab Jaliyah adalah hukum ‘rimba’, yaitu siapa yang kuat, maka itu yang
menang. Dan siapa yang lemah, maka ia akan tertindas.
Dari beberapa keterangan di atas,
maka dapat dipahami bahwa bangsa Arab Jahiliyah, mempunyai kepercayaan dan
Tuhan yang bermacam-macam. Akan tetapi, walaupun tampak banyak ragamnya, namun
pada umumnya orang Arab, khususnya suku Quraisy, tetap memuliakan dan beribadah
di Ka’bah. Mereka menghormati Ka’bah dan menjalankan kegiatan ibadah di tempat
itu.
Walaupun masyarakat Arab, khususnya
suku Quraisy, memuliakan dan menghormati Ka’bah, tetapi mereka membuat
bid’ah-bid’ah agama yang melampaui batas, antara lain:
- Mempersembahkan bahirah, sa’ibah, washilah, dan ham. Bahirah adalah unta betina yang dibelah telinganya, kemudian dilepaskan, tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diambil air susunya. Sa’ibah adalah unta yang dibiarkan pergi ke mana saja atau diserahkan kepada Tuhan karena suatu nadzar. Washilah adalah seekor domba betina yang melahirkan sepuluh anak betina kembar. Domba ini disebut washilah (penyambung), karena ia menyambung kesepuluh anak-anaknya, dan khusus dimakan oleh lelaki. Sedangkan, ham adalah unta jantan yang tidak boleh ditunggangi atau dibebani, karena telah membuntingi unta betina sejumlah yang telah ditentukan.
- Bid’ah wukuf di Muzdalifah pada saat haji, dan tidak perlu wukuf di Arafah.
- Bid’ah tidak boleh berthawaf dengan pakaian yang mengandung unsur maksiat kepada Allah, tidak boleh berthawaf mengenakan pakaian lama. Jika tidak menemukan pakaian khusus untuk berthawaf, mereka harus berthawaf dengan telanjang, sekalipun wanita.
- Bid’ah mengundi nasib dengan panah.
- Bid’ah An Nasi’, yaitu menangguhkan kesucian bulan Muharram ke bulan Shafar, agar mereka diperolehkan melakukan peperangan pada bulan haram itu.
Setelah mengetahui bagaimana
kondisi-kondisi pada zaman jahiliyah tersebut, marilah kita renungkan. Pada era
globalisasi sekarang ini, nilai-nilai dan sistem sekuler dapat masuk dengan
mudah dan menyingkirkan nilai-nilai islami sebagaimana Rasulullah ajarkan.
Akibatnya, banyak orang di sebagian belahan dunia yang pola hidupnya serupa
atau telah kembali kepada masa Jahiliyah. Banyak orang yang cerdas dan jenius
dengan ilmu pengetahuannya yang malah menjauh dari agamanya, membuat
bid’ah-bid’ah yang serupa dengan Jahiliyah, menghalalkan hal-hal yang haram
demi keuntungan pribadi, saling bermusuhan dan penindasan terhadap yang lebih
lemah, tidak bersyukur atas nikmat Tuhan, banyak perjudian, mabuk-mabukan,
pornografi, memamerkan kecantikan atau ketampanan, mempermainkan dan meremehkan
pernikahan, aborsi, prostitusi, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, era
sekarang ini bisa disebut dengan zaman ‘Jahiliyah ke-2’ atau yang ke
sekian.
[1] Abu Bakar Jabir Al Jazairi. Muhammad, My
Beloved Prophet. 2007. 24-27
[2] Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet.
28-29
[3] M. Thaib Thahir Abdul Mu’in. Ilmu Kalam.
1997. 157
[4] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 178
[5] Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet.
38
[6] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 59
[7] Abdul Mu’in. 61
[8] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 63
[9] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 67
[10] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 70