Pengertian
kasidah yang terdapat dalam khazanah kesusasteraan Indonesia mirip
dengan kasidah yang ada dalam sastra Arab. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) dikatakan bahwa kasidah merupakan “bentuk puisi,
berasal dari kesusateraan Arab, bersifat pujian (satire, keagamaan),
biasanya dinyanyikan (dilagukan)” (Tim Penyusun Kamus, 1988:493).
Meskipun demikian, istilah tersebut berbeda dengan istilah yang sama
yang terdapat dalam ungkapan “lagu kasidah” yang umumnya berbahasa
Indonesia.
Istilah kasidah menurut Ma’luf dan Cowan dalam Syihabuddin (1997:16)
berasal dari kata qasada yang salah satu bentuk infinitifnya ialah qasid
atau qasidah dan berarti ‘dimaksudkan’, ‘disengaja’, dan ‘ditujukan
kepada sesuatu’. Al-Hasyimi (t.t) dalam Syihabuddin (1997:16)
mengungkapkan bahwa qasidah ialah syair yang larik-larik baitnya
sempurna. Sebuah sya’ir disebut kasidah karena kesempurnaannya dan
kesahihan wazannya, karena pengungkapnya menjadikannya sebagia hiburan,
menghiasinya dengan kata-kata yang baik dan terpilih; karena kasidah itu
diungkapkan dari hatinya dan perasaannya, bukan dari penalarannya
semata.
Sementara itu Nicholson (1962:76-77) menegaskan bahwa pengertian kasidah
itu berpusat pada masalah bentuk struktur, persajakan akhir, dan jumlah
baitnya. Yang mirip dengan Nicholson di atas ialah pendapat Houtsma
(1927:952) yang mengatakan bahwa kasidah merupakan sebuah istilah yang
menunjukkan suatu jenis sya’ir yang sangat panjang. Kata kasidah itu
sendiri menunjukkan kepada fungsinya, yaitu ditujukkan untuk memuji
(“madaha”) kabilahnya atau seseorang, sehingga si penyair beroleh suatu
hadiah, atau dimaksudkan untuk mencela suatu kabilah atau seseorang yang
dibencinya. Jadi, kasidah ini dapat berbentuk satire maupun ode.
Selanjutnya Houtsma dalam Syihabuddin (1997:17) menegaskan bahwa sebuah
kasidah memiliki struktur penceritaan tertentu. Yaitu ia diawali dengan
unsur “nasib” atau “gazal” (kerinduan kepada kekasih, kampung halaman,
atau berupa percintaan). Setelah itu dilanjutkan kepada unsur kedua
berupa gambaran petualangannya dan perjalanannya tatkala pergi menuju
kekasihnya dan kampung halamannya. Pada bagian inilah biasanya si
penyair menggambarkan kehebatan kudanya, untanya, keganasan padang
pasir, dan keberaniannya dalam menghadang bintang buas. Kemudian unsure
kedua ini diikuti unsur ketiga berupa inti kasidahnya, yaitu memuji atau
mencela seseorang atau suatu kabilah. Kemudian kasidahnya ditutup
dengan ajaran-ajaran moral.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, kasidah tidak lagi memegang
seluruh konvensi di atas. Di antara konvensi yang ditinggalkannya ialah
struktur penceriataan kasidah. Dan sebagian penyair pun menggunakan
konvensi ‘arudl secara lebih longgar. Hal ini terjadi pada perkembangan
syair periode modern.
Dengan demikian, dapatlah ditegaskan bahwa kasidah sebelum periode
modern merupakan syair panjang yang terikat oleh konvensi ‘arudl,
bersifat madah (ode) atau hija’ (satire), dan memiliki struktur
penceriataan yang terdiri atas tiga unsur sehingga menjadikannya
panjang. Dewasa ini konvensi tersebut tidak lagi dipegang seketat pada
periode sebelum modern.
Menurut Djohan (2006:43-44), kedekatan suara dengan keseharian manusia
kemudian membuka peluang untuk melihat suara dari berbagai sudut pandang
yang lain. Dari kacamata psikologi misalnya, pemahaman seseorang
mengenai suara sangat tergantung pada bagaimana persepsi orang tersebut
terhadap apa yang ia dengar. Persepsi ini dipengaruhi pengalaman musikal
dan pengalaman sosial budaya. Sebagai contoh seorang tentara akan
terbiasa dengan letusan senjata karena merupakan bagian dari latihan
sehari-hari, namun bagi masyarakat awam, bunyi letusan senjata dapat
dengan segera memicu ketakutan akan terjadinya suatu hal yang buruk.
Pemahaman terhadap suara dan musik juga sangat dipengaruhi faktor
budaya. Masyarakat Barat akan segera mempersepsikan nada-nada gamelan
yang pentatonik sebagai “musik Timur” dan sebaliknya seorang pengrawit
yang mendengar repertoar musik klasik akan segera menganalogikannya
dengan “musik Barat”. Selain itu, setiap budaya pada umumnya juga
memiliki jenis musik yang khas. Pemahaman tentang aspek psikobiologis
suara berawal dengan pengertian bahwa perubahan getaran udara sebenarnya
adalah musik. Jauh sebelum pembentukan ontogenetik dan filogenetik
suara musik, fenomena akustik yang ditemukan sudah merupakan nilai-nilai
terapi musik. Fenomena akustik ini membuat orang dapat menghargai dan
menentukan kembali suara eksternal serta menerjemahkan suara tersebut ke
dalam bahasa musik. Akustik, suara, vibrasi, dan fenomena motorik sudah
sejak ovum dibuahi oleh sperma untuk membentuk manusia baru. Pada saat
itu terdapat berbagai proses yang melingkupi telur dalam kandungan,
berproduksi dengan gerakan dinamis, mempunyai vibrasi, dan memiliki
suara tersendiri. Misalnya, bunyi yang dihasilkan oleh dinding rahim,
urat nadi, aliran darah yang mengalir bisikan suara ibu, suara dan desah
nafas, mekanisme gerakan dan gesekan tubuh bagian dalam, gerakan otot,
proses kimiawi dan enzim, serta banyak lainnya. Semua ini dapat
dikelompokkan sebagai sebuah kesempurnaan suara.
Montello ((2004:41) menghubungkan jenis musik dengan aspek kecerdasan
musik manusia, pertama, adalah musik badan, menurut ilmu pengetahuan dan
falsafah yoga, terdapat lima tingkat fungsional yang membentang di
seluruh spektrum kesadaran manusia. Dari yang paling kasar sampai yang
paling halus, kesadaran itu meliputi tingkat badan fisik, badan
energi/napas, pikiran, intuisi/intelek, dan kebahagiaan. Selanjutnya
jenis musik energi, dimana mempengaruhi kekuatan untuk hidup. Menurut
Gurdjieff dalam Montello (2004:73); Waktu adalah napas, Dunia
napas/energi menyediakan hubungan antara material badan yang lebih padat
dan dunia pikiran yang lebih halus. Menurut Hazrat Inayat Khan
(1983:201), seorang ahli sufi, napas adalah hasil dari arus [yang]
mengalir tidak hanya lewat badan, tetapi juga lewat semua bidang
keberadaan manusia arus dari seluruh alam adalah napas sebenarnya itu
adalah satu napas tetapi sekaligus banyak napas.
Sumber energi sebenarnya adalah kerangka getaran yang di seputarnya
terbentuk badan fisik. Dalam teori Jenny tentang partikel besi lemah,
tiba-tiba hidup dan mengatur diri menjadi pola orsinil ketika nada
berneda yang bergetar menjadi bidang logam tempat mereka istirahat.
Artinya jenis musik dengan nada gembira mampu mempersatukan
partikel-partikel besi lemah tersebut menjadi bentuk indah yang tertata
rapi.
Demikian pula, setiap jenis musik akan mempengaruhi sekitar kehidupan
dan dinamika yang didekatnya sehingga membentuk sesuatu karena pengaruh
getaran nada dan gelombang musik tersebut. Musik dapat bernilai karena
termasuk seni yang mampu membangun keselarasan, keseimbangan dan
keindahan peradaban manusia, dan mengapa seni musik disebut sebagai seni
surgawi, sementara seni yang lain tidak disebut seperti itu? Yang jelas
melihat Tuhan ada dalam semua jenis kesenian dan ilmu pengetahuan.
Namun, hanya seorang musisi sufistik saja yang, mampu melihat Tuhan
bebas dari segala bentuk dan pemikiran.
Dalam tiap kesenian yang lain terdapat nilai pengidolaan. Setiap
pemikiran, setiap kata, memiliki bentuk nilai. Setiap kata dalam bentuk
puisi membentuk sebuah gambar dalam pikiran, dan gambaran itu adalah
nilai itu sendiri. Musik, tak lebih kecil nilai-nya dari gambaran Sang
Kekasih, karena musik adalah gambaran Sang Kekasih. Maka jika seseorang
menyukai musik karena ia mencintai Sang Kekasih itu, sekarang apakah
Kekasih? Atau di mana Kekasih itu? Kekasih adalah yang menjadi sumber
nilai dan tujuan kita. Apa yang kita lihat dari Kekasih di depan mata
ragawi kita adalah keindahan yang ada di depan kita. Bagian dari Kekasih
kita yang tidak berujud dalam mata kita adalah bentuk batiniah dari
keindahan nilai yang diwahyukan Sang Kekasih kepada kita melalui Nabi
Saw.
Oleh karenanya, karena keterbatasan manusia, ia tidak akan mampu melihat
wujud Tuhan secara ragawi di dunia fana ini, jika ingin melihat Tuhan
di dunia ini lihatlah Ia dalam bentuk kreasi-Nya dan seluruh
ciptaan-Nya, sebab segala yang dicintai di dalam warna, baris dan
bentuk, atau kepribadian segala yang dicintai dan bernilai adalah milik
dari Keindahan sejati yang merupakan Kekasih seluruh makhluk. (Khan,
1996: 3-4).
Ketika menelusuri sesuatu yang menarik dalam keindahan ini, yang dilihat
dalam semua bentuk, maka akan diketahui, bahwa ini adalah gerak
keindahan yang menggambarkan betapa agungnya nilai musik itu. Segala
bentuk sifat, bunga-bunga yang dibentuk dan diwarnai begitu sempurna,
planet, bintang, bumi semuanya memberikan gagasan tentang keselarasan,
tentang nilai musik.
Bila nilai musik diikuti dan dijiwai oleh para seniman musik (musisi),
maka tidak diperlukan lagi nilai eksternal, suatu hari musik akan
menjadi sarana mengekspresikan agama universal, walaupun memerlukan
waktu, dan suatu ketika akan muncul bahwa musik dan falsafahnya menjadi
agama manusia, sebagai konstatasi nilai efikasi musical terhadap
pembinaan kepribadian sufistik/religi setiap insan.
Pengertian tentang nilai musik, menunjukkan bahwa musik berada pada
kedalaman eksistensi manusia. Musik ada di balik karya seluruh alam
semesta. Nilai musik bukan hanya objek terbesar kehidupan, namun juga
kehidupan itu sendiri. (Khan, 1996: 15).
Seni sastra termasuk ke dalam jejak tertulis, jejak material yang dapat
dipahami informasinya lewat media bahasa. Kemajuan teknik dapat
mendatangkan kemudahan dalam menghadapinya. Sastra, baik yang tertulis
maupun lisan, yang memberikan keterangan tentang masa lampau berupa
informasi kepoada kita pantas disebut sebagai bahan-bahan dokumenter
bagi studi sejarah. Sebagai bahan-bahan dokumenter, sastra memiliki
kekhasan, ia bersifat naratif dan karenanya dapat dikategorikan sebagai
accepted history; contohnya adalah babad, hikayat, sejarah (dalam arti
klasik), tambo, dan kalau di Barat kronik dan annales (Soeroto, 1980:4).
Sedangkan nilai sastra itu ada pada karya penciptaannya, berpengaruh
atau tidaknya sebuah karya sastra terhadap perkembangan moralitas, etika
kemanusiaan dan lain-lain.
Untuk dapat menilai karya sastra haruslah diketahui norma-norma karya
sastra. Sebab itu, kita tidak bisa meninggalkan pekerjaan mengurai atau
menganalisis karya sastra. Setelah itu, kita hubungkan dengan penilaian
kepad tiap-tiap lapis norma karya sastra dan kita kumpulkan kembali,
yaitu memberi nilai secara keseluruhan kepada karya sastra itu
berdasarkan nilai-nilai yang terdapat pada lapis-lapis norma itu yang
berkaitan secara erat. Jadi, secara keseluruhan, nilai yang kita berikan
sampai pada kesimpulan bahwa karya sastra itu bernilai tinggi atau
kurang bernilai berdasarkan kualitas isi dari karya sastra itu, maka
akan lahirlah nilai-nilai sastra qualified.
Sabtu, 06 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Review Novel Hati Suhita
KETEGUHAN HATI WANITA REVIEW NOVEL HATI SUHITA Judul: Hati Suhita Penulis: Khilma Anis Editor: Akhiriyati Sundari Penyunting:...
-
jiplak alias copi paste A. PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Karya sastra puisi adalah satu dari sekian ba...
-
Disaat Dzul Isba’ Al-‘adwani merasakan ajalnya ia memanggil anaknya Usaid, ia menasihati anaknya dengan beberapa nasihat demi mewujudkan...
-
Para ahli sejarah kesusastraan Arab (al-Zayat, 1982:45) menyatakan bahwa ada empat tingkat para penyair pada masa jahiliyah bila dilihat d...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar