jiplak alias copi paste
Ku simpan sendiri api dendamku dalam gunung resamku
A. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Karya sastra puisi adalah satu dari sekian banyak karya satra yang
cukup menarik untuk di pelajari. Untuk itu perlu di ketahui mengenai
struktur dan unsur pembentuk lainnya di antaranya yakni surealitas dalam
sajak, seperti adanya representasi (mengubah pikiran menjadi bayangan
visual kedalam bahasa) tidaklah cukup hanya dengan menemukan meaning
unsur-unsurnya, tetapi harus sampai tataran semiotik, dengan membongkar
kode sastra secara struktural atas dasar significance-nya. Misalnya, adanya penyimpangan dari kode bahasa dan makna yang biasa disebut ungramaticalities, yang secara mimetik mendapatkan significance
secara semiotik dengan latar belakang karya satra yang di simpanginya
(dalam bagian 3 ini pada estestikanya saja) (Teeuw, 1983:65).
Di samping itu, prinsip intertekstualitas juga digunakan untuk
mengetahui hubungan dan pertentangan dengan karya sastra lain,
sehubungan dengan aktivitas bahasa yang mendukung eststika surealistis
sajak A. Mustofa Bisri (Gus Mus). Dalam memahami sajak digunakan metode
pembacaan heuristik, yakni dengan mengartikan satuan linguistik yang
digunakan sesuai dengan konvensi bahasa yang berlaku. Kemudian, untuk
menjelaskan kedudukan sebuah frasa ataupun kalimat, apakah sebagai
lanskap biasa ataukah citra-simbolik, maka harus diketahui makna frasa
ataupun kalimat itu. Karenanya, diperlukan pembacaan hermeneutik, yakni
dengan menyebut makna yang terkandung di dalam teks, yang hal itu sangat
ditentukan oleh kompetensi linguistik (Riffaterre, 1978:4-6).
Yang perlu diperhatikan dalam pembahasan subbagian dalam karya puisi
harus dilakukan dengan cara mengupas kecenderungan sajak sehubungan
dengan masalah pokok yang sedang dibahas, antara lain tentang apa,
mengapa, bagaimana, relevansinaya, klasifikasinya, penilaiaannya, gagal
atau berhasilnya.
Untuk itu akan dianalisis didalam makalah ini tentang struktur
kepuitisan dalam puisi “ Kau ini bagaimana” dan “Bila kutitipkan” karya
A. Mustofa Bisri (Gus Mus) teori yang digunakan dalam menganalisis puisi
ini yakni dengan menggunakan analisis stuktural semiotik yang akan bisa
menjelaskan struktur yang ada didalam puisi karya A. Mustofa Bisri (Gus
Mus).
2. RUMUSAN MASALAH
Untuk memecahkan atau membongkar struktur kepuitisan, penulis
menganalisis dengan menggunakan teori struktural semoiotik dengan
membongkar diksi, gaya bahasa, citraan, dan sarana retorika. Dalam hal
ini penulis mengambil puisi karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang akan
dianalisis adalah puisi berjudul “Kau ini bagaimana” dan “Bila
kutitipkan” untuk dikaji dan dianalisis.
3. TUJUAN
Penjelasan yang lebih detail akan menjadikan pembaca lebih mudah
memahami karya sastra puisi yang ditulis oleh penulis A. Mustofa Bisri
(Gus Mus) Tujuan dalam analisis ini adalah untuk memahami dan mengetahui
struktur kepuitisan dalam puisi “Kau Ini Bagaimana” dan “Bila
Kutitipkan” karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
yang berkaitan dengan diksi, gaya bahasa, citraan, dan saran retorika.
Hal ini dilakukan untuk menarik dan memberi pengetahuan apa maksud yang
ingin disampaikan oleh sang penulis.
B. TEORI DAN METODE ANALISIS
I. Teori dan Struktural Semiotik
Surialisme mempunyai arti unggul yang melampui tuntutan logika dan
kegunaan. Surealisme disebabkan oleh permainan imajinasi yang
ditimbulkan oleh bawah sadar (Hartoko dan Rahmanto, 1986:40) Panerapan
pada citraan, misalnya dengan teknik metaforik, yaitu membaurkan antara
empiris dan realitas imajiner.
Didalam karya sastra puisi mempunyai bentuk pengungkapan didalam sajak.
Bentuk pengungkapan ini membawa gaya ungkap yang khas, yang membedakan
sajak masing-masing penyair ketidaksamaan dalam menampilkan bahasa
didalam sajak disebabkan oleh subjektivitas pemahaman atau pemikiran
tatkala memaknai objek. Subjektivitas juga yang menyebabkan ide seorang
penyair berbeda dengan penyair lainnya meskipun objeknya sama.
Subjektivitas juga menyebabkan sikap, ekspresi, emosi serta keputusan
spontan seorang penyair terhadap pengalaman, alam, dan kehidupan menjadi
mempribadi dan berkembang. Tentu saja perkembangan tersebut juga
dipengaruhi oleh perkembangan situasi sosial, psikologi, dan pengalaman
rohani.
Sajak adalah semacam penggunaan bahasa (Teeuw, 1983:1). Didalamnya
terkandung unsur kepuitisan dan makna. Pada saat tertentu, aspek
kepuitisan ini menjadi menentu, aspek kepuitisan ini menjadi menentukan
dan memberi gambaran tentang sejauh mana penyair mempunyai daya cipta
yang orisinal, serta akan memberi pengertian pembaca (Pradopo dkk.,
1978:35).
Aspek kepuitisan dan makna, baik bagian maupun keseluruhannya berada di
dalam pengucapan bahasa sebab karya satra bermediakan bahasa. Sementara
itu bahasa itu sebelum menjadi sajak telah mempunyai arti sebagai
sistem semiotik tingkat pertama, sedangkan selanjutnya ketika menjadi
sajak, bahasa ditingkatkan sistemnya menjadi makna (significance) sebagai semiotik tingkat kedua (Pradopo, KR, 17 Januari 1988).
Dengan begitu sajak menjadi suatu struktur yang kompleks, antara aspek
kepuitisan dan aspek makna saling berkaitan (Pradopo,1987:120).
Pandangan demikian berangkat dari prinsip strukturalisme, yang memahami
dunia sebagai bentuk dari hubungan antarbenda (Hawkes,1978:17). Setiap
unsur dari suatu hal tidak memiliki makna sendiri-sendiri, tetapi
eksistensinya lebih ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur yang
terlibat didalam situasi tersebut ( Hawkws, 1978:17)
Dalam memberi makna sebuah karya sastra harus dimulai dengan menemukan meaning unsur-unsurnya,
yaitu kata-katanya, menurut kemampuan bahasanya yang berdasarkan
fungsinya bahasa sebagai alat komunikasi tentang gejala didunia luar:
mimetic function, tetapi kemudian dia harus meningkat ke tatataran
semiotik, di mana kode karya itu harus dibongkar (dekoding) secara
struktural, atas dasar significance-nya; penyimpangan dari kode bahasa,
dari makna biasa yang disebut Riffaterre ungrammaticalities secara
mimetik mendapatkan significance secara semiotik, dengan latar belakang
keseluruhan karya sastra yang disimpanginya (Teeuw, 1983:65).
II. Metode Struktural Semiotik
Dengan menggunakan teori Struktural semiotik maka akan dianalisis
sebuah karya puisi dengan memakai metode analisis dengan pemaknaan atau
arti sebagai berikut.
a) Sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya dengan memperhatikan saling hubungan antar unsur-unsurnya dengan keseluruhanya.
b) Tiap unsur sajak itu dan keseluruhannya diberi makna sesuai dengan konvensi puisi.
c) Setelah sajak dianalisis ke dalam unsur-unsurnya dilakukan pemaknaannya, sajak dikembalikan kepada makna totalitasnya dalam kerangka semiotik.
d) Untuk pemaknaan itu diperlukan pembacaan semiotik, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (Riffarterre, 1978:5-6)
Disini penulis akan menganalisis karya sastra puisi karya A. Mustofa
Bisri (Gus Mus) yang berjudul “Kau ini bagamana” dan “Bila Kutitipkan”
yang menggunakan metode analisis. Metode yang pertama digunakan yaitu
menggunakan metode analisis sajak ke dalam unsur-unsur yang berkaitan,
dengan memperhatikan dan menghubungkan antara unsur-unsur yang saling
berkaitan dengan keseluruhan kata. Disini juga Penulis hanya
menganalisis struktur kepuitisan yang berupa diksi, gaya bahasa,
citraan, dan sarana retorika.
i. Sajak yang di analisis
“Bila kutitipkan”
Bila kutitipkan dukaku pada langit
Pastilah langit memanggil mendung
Bila kutitipkan resahku pada angin
Pastilah angin menyeru badai
Bila kutitipkan geramku pada laut
Pastilah laut menggiring gelombang
Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api. Tapi
Akan kusimpan sendiri mendung dukaku
Dalam langit dadaku
Ku simpan sendiri badai resahku
Dalam angin desahku
Ku simpan sendiri gelombang geramku
Dalam laut pahamku
Bila kutitipkan dukaku pada langit
Pastilah langit memanggil mendung
Bila kutitipkan resahku pada angin
Pastilah angin menyeru badai
Bila kutitipkan geramku pada laut
Pastilah laut menggiring gelombang
Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api. Tapi
Akan kusimpan sendiri mendung dukaku
Dalam langit dadaku
Ku simpan sendiri badai resahku
Dalam angin desahku
Ku simpan sendiri gelombang geramku
Dalam laut pahamku
Ku simpan sendiri api dendamku dalam gunung resamku
Ku simpan sendiri
A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
“Kau ini bagaimana”
Kau ini bagaimana? Atau aku harus bagaimana?
kau ini bagaimana? Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir
Aku harus bagaimana?
kau ini bagaimana? Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir
Aku harus bagaimana?
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimbung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau mencontohkan yang lain
Kau ini bagaimana?
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara tiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah
Aku harus bagaimana?
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggungjawab, kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bissawab
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu
Kau ini bagaimana?
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis
Aku harus bagaimana?
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja
Kau ini bagaimana?
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku
Kau ini bagaimana?
Atau aku harus bagaimana?
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimbung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau mencontohkan yang lain
Kau ini bagaimana?
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara tiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah
Aku harus bagaimana?
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggungjawab, kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bissawab
Kau ini bagaimana?
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku
Aku harus bagaimana?
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu
Kau ini bagaimana?
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis
Aku harus bagaimana?
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja
Kau ini bagaimana?
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku
Kau ini bagaimana?
Atau aku harus bagaimana?
Karya: A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
ii. Diksi (Pilihan kata)
Untuk menilai gaya surealistik sajak A. Mustofa Bisri (Gus Mus),
terlebih dahulu harus dianalisis struktur kepuitisannya sebagai bagian
dari keseluruhannya (via Pradopo, 1987:120). Gaya surealistis A. M
ustofa Bisri (Gus Mus) dianalisis dan dinilai dengan diksi, bahasa
kiasan, citraan, sarana retorik, dan gaya sajak. Kata ditempatkan
sebagai hal yang vital dalam sajak sebab melalui kata penyair mampu
menyampaikan pikiran-pikiran dan perasaan atau momen puitiknya meskipun
dengan ketaklangsungan ekspresi dan bersifat arbitrer. Subagio
Sastrowardoyo barangkali merupakan contoh yang baik. Sebagai penyair, ia
dengan sadar menempatkan kata begitu penting dalam kehidupan dan
puisi-puisinya (Abdul Wahid B.S, 2010:67).
M.H. Abrams berpandangan bahwa pilihan kata dalam sajak diartikan
sebagai pilihan kata atau frase dalam karya sastra (1981:13)
“kau ini bagaimana,” Pada kalimat tersebut sang penulis mencoba
mempertanyakan dan mengulang-ulang kalimat “kau ini bagaimana” dalam
sajaknya puisi tersebut terkesan mengkritik dari semua lapisan
masyarakat, tokoh masyarakat dan para pejabat. sebagai contoh kebiasaan
di masyarakat ternyata masih kurang dari semua aspek dijelaskan pada
sajak “kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya” pada
sajak “aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya”
penulis mencoba menggambarkan fakta di masyarakat bahwa para
penegak-penegak hukum itu melanggar hukum yang harusnya di tegakkan oleh
penegak hukum itu sendiri. Sajak “ aku kau suru berdisiplin, kau
mencontohkan yang lain” penulis mengkritik para tokoh atau pejabat
tentang peraturan atau sebuah tata tertip tersebut harus di patuhi,
namun pejabat itu sendiri tidak mencontohkan apa yang diomongkan atau
yang telah di sampaikan oleh para tokoh atau pejabat itu sendiri. Dan
pada sajak “kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami
rumah-rumah” pemerintah dalam sajak ini sangat jelas dikritik ketika
pemerintah menggalakkan ingin menjadikan negara ini pengekspor beras,
tetapi disisilain pemerintah dengan secara tidak langsung mengijinkan
bangunan-bangunan gedung tinggi yang aslinya menjadi persawahan milik
petani disulap menjadi gedung-gedung tinggi. Itulah sebagian contoh
sajak dari A. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang sangat menekankan untuk
mengintropeksi diri supaya lebih baik untuk kemajuan bersama.
iii. Bahasa Kiasan
Dalam pembicaraan sajak, bahasa sering dihubungkan dengan seberapa jauh
penyair menggunakan bahasa kiasan sebagai alat untuk mencapai
kepuitisan. Sekalipun ada sajak yang tidak dominan menampilkan kiasan
kiasan, dalam banyak hal kiasan untuk sajak itu penting peranannya
sebagai upaya penyair menggandakan makna dalam sajaknya.
Adapun bagi sajak-sajak A. Mustofa Bisri analisis bahasa kiasan
merupakan bagian penting dalam upaya memahami dan menilai sejauh mana
surialitas yang terkandung, sebab surialitas merupakan bagian dari gaya
ungkap, atau sebagai sarana kepuitisan. Dan salah satu dari bahasa
kepuitisan itu adalah bahasa kiasan.
Michael Riffaterre mengatakan bahwa puisi itu menyatakan sesuatu secara
tidak langsung, yaitu menyatakan sesuatu yang berarti yang lain
(1978:1). Sejalan dengan itu A.S. Hornby mengatakan bahwa bahasa kiasan
meliputi segala jenis ungkapan yang melibatkan penggunaan kata atau
frasa dengan arti lain, selain arti harfiahnya (via pradopo, 1978:41)
Bahasa kiasan memang merupakan bagian dari ketaklangsungan pengucapan
sajak, yaitu dengan memindahkan dan atau pengertian arti yang disebabkan
oleh penggunaan bahasa kiasan, seperti metafora dan metonimi. Pengunaan
bahasa kiasan akan lebih menarik perhatian dan mempunyai unsur
kepuitisan lainnya. Diantara bahasa kiasan itu yakni metafora,
personifikasin dll. Sebagai contoh analisis Bahasa kiasan dipakai oleh
karya sastra yang berjudul “kau ini bagaimana” dan “bila kutitipkan”
karya A. Mustofa Bisri (Gus Mus). Sebagai contoh judul puisi A.
Mustofa Bisri yang mengandung bahasa kiasan pada puisi yang berjudul
“kau ini bagaimana” pada sajaknya terdapat kalimat “kau bilang Tuhan
sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara
setiap saat” bahasa kiasan diungkapkan secara tidak jelas. Dan pada
sajak “kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai”
kalimat perlawanan digunakan dalam pengungkapan pesan yang ingin
disampaikan oleh penulis puisi.
1) Personifikasi
Jan van Luxemburg melihat bentuk kiasan personifikasi ini sebagai
“Aspek arti dari suatu yang hidup dialihkan kepada suatu yang tidak
bernyawa” (Luxemburg, hal. 140). Begitu pula pengertian yang diberikan
oleh Gorys Keraf bahwa “personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam
bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang
yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan” (Keraf, hal.
140). Bahkan L. Perrine menyebut personifikasi sebagai anak jenis
metafora karena adanya perbandingan yang tersembunyi, istilah kiasan
perbandingannya selalu berupa manusia (Perrine via Pradopo, 1978:47).
Bila di amati puisi karya A. Mustofa bisri (Gus Mus) pada puisinya yang
berjudul “bila ku titipkan” terdapat sajak “bila ku titipkan resahku
pada angin pastilah angin menyeru badai” penggunaan majas personifikasi
diletakkan pada sajaknya membuat hidup alam yang sesungguhnya tak
bernyawa dan tak mempunyai pikiran, perasaan untuk menilai pada dasarnya
kata titipkan adalah kata yang mempuyai arti memberi atau mempasrahkan
sesuatu kepada seseorang tetapi kata menitipkan digabungkan menjadi
maksud atau penggabungan dengan kata angin. Pada sajak ini “bila ku
titipkan geramku pada laut, pastilah laut menggiring gelombang” geram
adalah sebuah perasaan yang lanzimnya terdapat pada perasaan manusia
yang kecewa tetapi disini penulis mencoba mengungkapkan kegeraman
digabungkan dengan gelombang (alam). Dan sajak “bila ku titipkan
dendamku pada gunung, pastilah gunung meluapkan api” inilah pemakaian
personifikasi terdapat kata dendam dengan api penulis menjadikan kata
yang berbeda tetapi mempunyai maksud satu tujuan.
2) Metafora
A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam karya puisinya yang berjudul “bila
kutitipkan” sang penulis mengambarkan kekecewaan terberatnya.
Menggambarkan kedukaannya begitu berat sampai dihubungkan dengan bencana
alam yang ada disekitarnya, “pastilah langit memanggil mendung”
“pastilah angin menyeru badai” pastilah lsaut menggirimg gelombang”
“pastilah gunung meluapkan api”. Penulis menggambarkan begitu berat
cobaan yang menimpa pada dirinya. Disini sajak yang dipakai unsur
kepuitisan yang kental terasa dalam mengambarkan sebuah kalimat yang tak
nyata atau dapat dilihat dengan gambaran visual tetapi penulis berusaha
mengabungkan antara pikiran dengan alam.
Namun dalam sajaknya juga ditemuka pengabungan antara jiwa (psikologis)
dengan alam. Seakan-akan jiwa perasaan bisa menyatu dengan alam
(gunung,laut,mendung,langit) yang semuanya itu dihubungkan dengan
perasaan. Disamping itu walaupun penulis menggambarkan kedukaannya yang
sangat berat penulis mempunyai pesan atau maksud yang tersimpan dalam
sajaknnya. “Tapi” akan ku simpan sendiri mendung dukaku dalam langit
dadaku” yakni walau masalah sebanyak apapun/sekecewa apapun penulis
tetap mengambarkan kesabaran, bebesaran hatinya yang menyimpan sendiri
masalahnya tampa diketahui orang lain. Dimaksudkan agar tidak memberi
beban pada orang lain dan dapat mengendalikan emosinya atas masalah
kekecewaan yang penulis alami.
iv. Citraan
Dalam sebuah sajak, yang terpinting ialah bagaimana seorang penyair berkemampuan menghidupkan (apa)
dunia yang dibagunnya melalui kekuatan bahasa yang khas yang
dimilikinya. Kata “menghidupkan” terhadap apa yang dibangunnya itu tentu
saja menyangkut keutuhan antara bentuk dan isi sajak, sebagaimana
pernah dikemukakan Goenawan Mohammad,”...puisi...pertama-tama hadir
sebagai keutuhan”.
Keutuhan ini perlu sebab sajak sangat mengutamakan kata-kata sebagai
pendukung imaji meski kata-kata itu juga berperan sebagai lambang. Hal
demikian ini dapat dikatakan ada di setiap aliran sajak, baik itu
simbolisme, surealisme, maupun imajisme. Sapardi Djoko Damono pernah
mengatakan hal yang sama, “kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat
yang menghubungkan pembaca dengan dunia intuisi penyair. Meskipun
perannya sebagai penghubung itu tak bisa dilenyapkan, namun yang utama
ialah sebagai objek pendukung imaji (Budaya Jaya, no. 20, th. III,
Januari 1 970)
Kata-kata sebagai pendukung imaji tersebut tidak lain merupakan
citraan. Dalam sajak, citraan umumnya digunakna dalam dua pengertian,
yakni sebagai pengalaman indra, dan bentuk bahasa yang dipergunakan
untuk menyampaikan pengalaman indra itu. Tentu saja, sebuah sajak yang
baik senantiasa memperhitungkan adanya keutuhan antara bentuk dan isi,
keutuhan penggambaran-penggambaran imajinya sehingga mampu memberi
nuansa berimajinasi dan berpikir kepada pembaca. Di samping itu, menurut
Rene Wellek, ”penggambaran” itu menunjukkan adanya pandangan hidup
(weltanschauung) yang tersirat dalam karya sastra tersebut (Wellek,
1987:246).
Adanya beberapa istilah dan kegunaan sehubungan dengan citraan ini,
yaitu image dan imagery, yang batasan pemakaiannya sebagaimana diuraikan
berikut ini. Image adalah impresi yang terbentuk pada imajinasi melalui
sebuah kata atau serangkaian kata; seringkali merupakan gambaran
angan-angan (Monfries via Pradopo dkk., 1978:53)
Gambaran dari pengalaman indrawi dalam puisi disebut imagery. Imagery
tidak hanya terdiri dari ‘gambaran mental’, tetapi dapat menggugah
indra-indra lain (Broks dan Werren via pradopo, 1978:53). Menurut H.
Coombes, seorang pengarang yang baik menggunakan image yang segar dan
hidup dengan tujuan memperjelas dan memperkaya. Image yang berhasil akan
membantu menghayati atau subjek terhadap objek atau situasi yang
digarap oleh pengarang secara cermat dan hidup (1966:43).
Dalam karya sastra puisi A. Mustofa Bisri “kau ini bagaimana” dan “bila
kutipkan” penulis berani menggambarkan apa yang ia lihat (visual).
Pengambaran dimasyarakat sebagai contoh “aku kau suruh menghormati
hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya” “kau suruh aku mengikutimu,
langkahmu tak jelas arahnya” “ aku kau suruh menabung, aku menabung kau
menghabiskannya”
dan “aku kau suruh bertanggungjawab, kau sendiri terus berucap Wallahu
A’lam Bissawab” bangunan citraan puisi menggambarkan hal-hal yang umum
dan kabur (tapi enak didengar). Citraan juga bersifat persepsi dan
mewakili sesuatu yang tidak nampak.
v. Sarana Retorik
Sarana retorika dalam sajak sering kali dikaitkan dengan gaya ungkap
pribadi seorang penyair. Ada kesamaan antara gaya retoris dengan bahasa
kiasan, yakni sama-sama mengadakan penyimpangan dari struktur bahasa
setandar. Disamping itu, ada juga perbedaannya, yaitu bahwa gaya bahasa
retoris itu semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa
untuk mencapai efek tertentu, sedangkan gaya bahasa kiasan merupakan
penyimpangan lebih jauh, khususnya dalam bidang makna (Keraf,1990:2),
Lynn Altenbernd pernah mengemukakan bahwa sarana retorika merupakan
sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran ( 1969:2), yang efek
pemakaiannya ialah menarik perhatian dan pemikiran pembaca sehingga
sarana tertantang untuk mencari makna sajak yang dibaca
Pada umumnya, sarana retorika itu selalu menimbulkan ketegasan puitis
sebab pembaca harus memikirkan efek apa yang di timbulkan dan di
maksudkan oleh citraan simbolik yang menyimpan gagasan penyair.
Pada sajak puisi A. Mustofa Bisri (Gus Mus) ialah mengabungkan antara
citraan dan alam yang sebenarnya berjauhan sifat dan hakikatnya dalam
keseruangan. Contohnya baris sajak berikut ini.
Bila ku titipkan geramku pada laut
Pastilah laut menggiring gelombang
Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api
(Bila kutitipkan, Gus Mus)
Pada ungkapan sajak tersebut ada kesan pengabungan antara pikiran
dengan alam, seperti “bila kutitipkan geramku pada laut” itulah ciri
ungkapan surialistis, yaitu penuh dengan hiperbola dan melebih-lebihkan
sesuatu yang tidak mungkin terjadi antara perasaan dengan alam.
C. KESIMPULAN
Dalam kehidupan manusia tak lepas dari perjalanan yang indah, bahagia,
cobaan, dan masalah. Puisi merupakan karya sastra yang bisa
menggambarkan perasaan, masalah dimasyarakat bahkan masalah pada diri
sendiri, mengungkapkan perasaan dalam hati dengan sebuah sajak yang
dipilih dengan diksi-diksi yang baik sehingga dapat terbuat karya yang
baik, mempunyai nilai seni yang tinggi merupakan sebuah karya yang baik
dapat menyentuh perasaan penulis dan pembaca. Pembacapun dapat memahami
karya puisi dengan mudah
dan tersentuh hatinya. Maka dari itu penulis membuat karyanya dengan
pemilihan kata (diksi) yang dapat mewakili perasaan sang penulis dan
diungkapkan dengan tulisan atau karya satra puisi.
Puisi yang berjudul “kau ini bagaimana” dan “ bila kutitipkan” dapat
dianalisis bahwa terdapat bahasa kiasan, pemilihan kata (diksi) yang
sangat indah jika digabungkan dengan diksi-diksi yang lain, citraan dan
sebagainya ini dapat diambil kesimpulan bahwa penulis A. Mustofa Bisri
(Gus Mus) membuat puisi sangat memperhitungkan arti, makna, dan diksi
dalam pembentukan sajaknya. Sehingga dapat menjadi sebuah karya sastra
yang baik dan mempunyai makna yang luasdan bermanfaat bagi banyak
orang.
`
DAFTAR PUSTAKA
Wachid, Abdul.2010.Analisis Struktural Semiotik.Yogyakarta: Cinta Buku
Asphani, Hasan.2007.Menapak ke Puncak Sajak.Depok: Koekoesan
Pradopo, Rachmat Djoko.2009.Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapanya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
_________.2008.Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama