Biografi
Sastrawan Arab Masa Klasik
Sastra adalah bagian dari entitas budaya yang
wujudnya tercermin dalam karya-karya sastra. Semua kebudayaan dan peradaban di
dunia mengalami suatu periode perubahan yang mendalam (Peursen, 1990:72).
Termasuk juga di dalamnya kebudayaan bangsa Arab. Puisi, prosa dan drama Arab
banyak bernuansa Islam karena mayoritas bangsa Arab menganut agama Islam.
Dengan demikian, teori sastra berkaitan sekali dengan Islam. Baylu berpendapat
bahwa teori sastra Islam tidak dapat dipisahkan dari konsep sastra secara
universal. Sedangkan kesusastraan Arab (al-Adab al-Arabiy) merupakan
kesusastraan terkaya, karena merupakan kesusastraan yang tercipta sejak masa
kanak-kanak manusia sampai runtuhnya kebudayaan Arab. Periode Jahiliyyah, yang
menjadi periode lahir dan berkembangnya tokoh-tokoh penyair dalam pembahasan
makalah ini dimulai sekitar satu tengah abad sebelum kedatangan Islam sekitar
dan berakhir sampai kedatangan Islam.
Pada umumnya, periodesasi kesusastraan dibagi sesuai dengan perubahan politik.
Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi sosial atau politik suatu
negara dan permasalahan menentukan periode diberikan pada sejarawan politik dan
sosial, dan pembagian sejarah yang ditentukan oleh mereka itu biasanya diterima
begitu saja tanpa dipertanyakan lagi (Wellek, 1989:354). Penentuan mulainya
atau berakhirnya masa setiap periodesasi hanyalah perkiraan, tidak dapat
ditentukan dengan pasti, dan biasanya untuk mengetahui perubahan dalam sastra
itu biasanya akibat perubahan sosial dan politik (Jami’at, 1993:18).
Secara konseptual, sastra Islam adalah bagian dari sastra umum. Berbagai karya
yang dihasilkan dari sastra Arab Islam turut menghiasi sastra pada umumnya.
Tidak heran jika setelah lahir beberapa karya sastra Arab, terdapat karya-karya
barat yang terinspirasi dari karya sastra Arab tersebut. Sebut saja Gulliver’s
Travels dan Robins Karzou (Robinson Crusoe) yang terinspirasi dari Hikayat Alfu
Laylah wa Laylah (Syak’ah, 1974:723). Dalam hal ini, secara universal, sastra pada
umumnya telah menggait dua sastra besar yaitu sastra Arab dan sastra Barat.
Tentu saja, keberhasilan karya tersebut berasal dari penulisnya. Hal ini yang
mendasari penulis membuat biografi beberapa sastrawan Arab Klasik beserta
karya-karya terbaik mereka.
Beberapa nama tersebut diantaranya adalah: Umru’ Alqoys, Annabighah Az-Zibyani,
Zuhair bin Abu Sulma dan Al-A’sya bin Alqaisi. Dengan demikian, sebagai contoh,
karya-karya yang ada pada masa sastra Arab klasik pra Islam khususnya
puisi-puisi tentang kepahlawanan Jahiliah menjadi acuan bagi para penulis puisi
pada Dinasti Abbasiyah dan dipandang sebagai karya klasik oleh para penyair
Abbasiyah. Hanya saja sayangnya dukungan yang diberikan oleh para khalifah,
wazir dan gubernur Dinasti Abbasiyah kepada para penyair tidak sekedar
melahirkan pujian dan menjadi genre sastra yang paling di senangi tapi telah
mendorong para penyair melakukan pelacuran sastra, dan pada akhirnya
memunculkan nuansa kemegahan palsu, dan kebohongan kosong yang sering dikatakan
sebagai unsur yang melekat dalam puisi Arab.
1. Umru’ Alqoys
Umru’ Alqoys merupakan salah satu penyair terkenal di masa pra Islam. Ia
seringkali muncul dalam artikel-artikel dengan julukan yang berbeda yaitu
Amrulkais. Ia seorang pangeran yang penuh dengan hawa nafsu percintaan sehingga
membuat sang ayah murka, termasuk syeh dan raja suku bangsa dan akhirnya ia
diusir dan diasingkan dalam hidupnya hingga menjadi penggembala. Dengan
demikian ia melarikan diri dari kehancuran suku bangsanya dan ia meninggalkan
identitas kesukuannya serta mengalami masa pengejaran. Akhirnya ia tiba sekitar
pada tahun 530 di Romawi, pada masa kepemimpinan Maharaja Justin di
Konstantinopel di mana penyair pengembara sangat dihargai. Tradisi mencatat ia
tewas dengan penyiksaan demi memenangkan cinta sang putri dari keturunan
Maharaja Justin. Mohammed mendeklarasikan bahwa Umru’ Alqoys merupakan salah
satu penyair arab termashyur dan pangeran penyair yang pernah dan pertama kali
memerosotkan irama liar individual dan menegakkan penyanyi-penyanyi padang
pasir lebih awal.
Pendapat mengenai kematian Umru’ Alqoys memiliki banyak versi. Pendapat yang
pertama sama seperti yang telah disebutkan bahwa Umru’ meninggal karena dibunuh
(namun bukan penyiksaan seperti yang telah dikatakan sebelumnya) tapi diracun.
Hal ini diceritakan lebih detail yaitu karena ia dikabarkan mencintai anak
gadis Kaisar Romawi yang bernama Unaizah. Karena kecintaannya itu ia sering
menyanjung sang putri dengan puisinya. Hal itu membuat kaisar cemburu dan
menyusun rencana untuk membunuh Umru’ dengan cara memberikan baju yang sudah
dilumuri racun. Ketika mengenakan baju tersebut, ia menjadi sakit dan tidak
lama kemudian meninggal dunia di Ankara Turki tahun 545 M. Sementara itu,
pendapat yang lainnya mengatakan bahwa Umru’ tidak sampai ke Romawi karena
meninggal di dalam pengejarannya dan ada juga yang mengatakan bahwa ia
menderita sakit saat hendak meminta tolong pada Kaisar Romawi agar
menyelamatkannya dari kejaran Bani Asad.
Karya-karya yang dilahirkan oleh Umru’ merupakan syair yang memiliki daya
khayal tinggi. Maka dari itu, Umru’ terkenal dengan sebutan Al-Malik Ad-Dakhil
(raja dari segala raja penyair) di mana hal ini menjelaskan kualitas syairnya
yang begitu tinggi, bernas dan padat. Salah satu contoh puisi yang dibuat oleh
Umru’ adalah sebagai berikut:
“Di kala gulita malam seperti badai lautan tengah meliputiku dengan berbagai
macam keresahan untuk mengujiku(kesabaranku). Di kala malam itu tengah
memanjakan waktunya, maka aku katakan padanya. Hai malam yang panjang, gerangan
apakah yang menghalangiku untuk berganti dengan pagi harinya? Ya, walaupun pagi
hari itupun juga belum tentu akan sebaik kamu”. Puisi tersebut melukiskan
kerisauannya di malam hari.
2. Annabighah Az-Zibyani
Annabighah Az-Zibyani Abu Umamah Ziyad bin Muawiyah merupakan penyair yang
sejak muda sudah pandai membuat puisi. Ia menjabat sebagai dewan hakim dalam
perlombaan puisi yang sering diadakan di pasar Ukadz. Ia sering dihasut oleh
lawan karena kerap kali mendekatkan diri pada para pembesar dan menjadikan
puisi sebagai media pergaulannya. Nabighah berasal dari Dzubyan. Cara ia
menghidupi diri adalah dengan mendapat upah dari puisi, maka kemuliaannya
berkurang. Hampir seluruh umurnya, ia habiskan di kalangan keluarga raja Hira,
sehingga raja Hira yang bernama Nu'man bin Mundzir sangat cinta kepadanya,
sehingga dalam suatu riwayat dikatakan bahwa penyair ini di kalangan raja Hira
selalu memakai bejana dari emas dan perak, dan hal itu menunjukkan kedudukannya
yang tinggi di sisi raja Hira. Hal itu berlangsung cukup lama, sampai salah
seorang saingannya memfitnahnya dan menghasut Nu'man, sehingga ia marah dan
merencanakan untuk membunuh An-Nabighah. Salah seorang pengawal Nu'man secara
diam-diam menyampaikan berita tersebut, sehingga An-Nabighah pun segera
melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja-raja Ghossan yang menjadi
saingan raja-raja Manadzirah dalam memperebutkan penguasaan atas bangsa Arab.
Namun, karena lamanya persahabatan yang ia jalin dengan Nu'man bin Mundzir,
An-Nabighah berusaha untuk membersikan diri atas fitnah yang ditujukan
kepadanya dan meminta maaf kepadanya dengan puisi-puisinya untuk melenyapkan
kebencian Nu'man dan meluluhkan hatinya, serta menempatkan kembali posisinya
semula di sisi raja Nu'man bin Mundzir. Hal tersebut dapat dilihat dalam puisi
i'tidzariyat (permohonan maafnya) di bawah ini:
"Sesungguhnya engkau bagaikan malam yang kujelang meski aku didera
kehampaan, tapi tempat berharap maaf darimu sungguh luas membentang"
An-Nabighah berusia panjang dan meninggal menjelang keutusan Nabi Muhammad.
Sebagian besar ahli sastra Arab mendudukan puisi Nabighah pada deretan ketiga
sesudah sesudah Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma. Hanya saja penilaian ini
sangat relatif sekali, karena setiap orang pasti mempunyai penilaian
masing-masing. Walaupun demikian karya puisi merupakan puisi yang sangat tinggi
nilainya. Karena pribadi penyair ini sangat berbakat dalam berpuisi. Oleh sebab
itu, tidak heran bila penyair ini diangkat sebagai dewan juri dalam setiap
perlombaan berdeklamasi dan berpuisi tiap tahun di pasar Ukadz. Dalam
perlombaan deklamasi dan berpuisi itu, para penyair berdatangan dari segala
penjuru tanah Arab semuanya berkumpul di pasar Ukadz, Daumat Al-Jandal, dan
Dzil Majanah. Dalam kesempatan ini, mereka mendirikan panggung untuk dewan
juri, dan salah seorang dari dewan juri itu adalah An-Nabighah sendiri, karena
dia dikenal sebagai seorang yang mahir dalam menilai puisi. Dan apabila ada
puisi yang dinilai baik, maka puisi itu akan ditulis dalam lembaran khusus
dengan menggunakan tinta emas, kemudian digantungkan pada dinding Kabah sebagai
penghormatan bagi penyairnya.
Keistimewaan puisi Nabighah bila dibandingkan dengan puisi Umru’ Alqays dan
Zuhair bin Abi Sulma, maka puisi Nabighah lebih indah dan kata-katanya lebih
mantap, bahasanya sederhana sehingga mudah dimengerti oleh semua orang. Dan
para penyair lain pun tidak jarang yang meniru gaya Nabighah dalam berpuisi,
sehingga orang yang suka akan kelembutannya puisinya, seperti Jarir, menganggap
bahwa ia merupakan penyair Jahiliyyah yang paling piawai. Ketergiurannya untuk
mencari penghidupan dengan puisi, justru membuka teknik baru dalam jenis puisi
madah (pujian) serta melakukan perluasan dan pendalaman dalam jenis puisi itu,
sehingga dia mampu memuji sesuatu yang kontradiktif.
Kepiawaiannya itu terlihat ketika pada suatu hari ia hendak memuji raja Nu'man
bin Mundzir yaitu seorang raja yang paling disukainya. Waktu itu ia melihat
matahari yang sedang terbit dengan terang. Oleh karena itu raja Nu'man
diumpamakan dalam puisinya sebagai matahari yang terbit, dimana matahari bila
sedang terbit, maka sinarnya itu akan mengalahkan sinar bintang di malam hari.
Untuk itu penyair itu berkata seperti di bawah ini:
"Sesungguhnya kamu adalah matahari dan raja-raja selainmu adalah
bintang-bintangnya, yang mana bila matahari terbit, maka bintang-bintang itupun
akan hilang dari penglihatan".
Selain dari bait puisi di atas, masih banyak lagi dari kumpulan puisinya yang
diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh Monsieur Dierenburg
pada tahun 1868, karena puisinya banyak digemari orang.
An-Nabighah mempunyai diwan (antologi) puisi yang dikomentari oleh Batholius
(Ibnu Sayyid al-Batholius) yang telah berulang-ulang dicetak, meskipun antologi
puisinya itu tidak menghimpun seluruh puisinya. Di antara puisinya yang paling
indah adalah yang terdapat di dalam mu'allaqat-nya yang bait-bait pertamanya
berbunyi:
"Berhentilah kalian untuk menyapa, menyalami, sungguh indah reruntuhan
perkampungan, apa yang kalian salami adalah timbunan tanah dan bebatuan"
"Tanah lenggang, sepi dari binatang liar, dan telah diubah oleh hembusan
badai serta hujan yang datang dan pergi"
"Aku berdiri di atasnya, ditengah reruntuhan dan bertanya kepadanya
tentang serombongan unta yang biasa lewat di sana"
"Reruntuhan rumah yang indah , demikian asing, membisu tak mau berbicara
pada kami, dan reruntuhan rumah itu, andai ia mau berbicara pada kami, pasti ia
punya banyak cerita"
3. Zuhair bin Abu Sulma
Zuhair merupakan salah satu penyair terkenal di masa pra Islam. Zuhair memiliki
versi yang kurang menyindir, tidak seperti syair-syair yang dibuat kakaknya. Ia
berjuang keras untuk mengekspresikan pikirannya lebih dalam menggunakan
kata-kata sederhana, jelas dan dengan frasa yang terang untuk menyampaikan
ide-ide secara besar dan luhur kepada masyarakat. Zuhair adalah seorang
legendaris dan kaya raya, dan yang terpenting, keluarganya mencatat kemampuan
bersyair dan kesungguhannya dalam agama. Singkatnya, Zuhair adalah seorang
pemuda filosofis diantara penyair-penyair Arab lainnya.
Ia adalah salah seorang dari tiga serangkai dari penyair Jahiliyyah setelah
Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Penyair ini amat terkenal karena
kesopanan kata-kata puisinya. Pemikirannya banyak mengandung hikmah dan nasehat.
Sehingga banyak orang yang menjadikan puisi-puisinya itu sebagai contoh hikmah
dan nasehat yang bijaksana. Zuhair bin Abi Sulma, tumbuh dan besar dalam
lingkungan keluarga penyair. Rabi'ah ayahnya, Aus bin Hujr ayah tirinya, dan
Basyamah pamannya, mereka adalah para penyair, dan saudaranya Sulma dan
al-Khansa’, mereka berdua juga penyair. Oleh karena itulah ia sudah terkenal
pandai berpuisi sejak kecil. Ia terkenal dengan bakat puisi yang dimilikinya
dan disenangi oleh kaumnya. Zuhair terkenal juga dengan budi pekertinya yang
luhur sehingga setiap pendapat yang keluar darinya selalu mendapat persetujuan
dan diterima baik oleh kaumnya.
Ia menikah dua kali. Pertama dengan Ummu Aufa. Kehidupan rumah tangganya dengan
Ummu Aufa banyak disebut-sebut dalam puisi dan mu’allaqatnya. Sayang, setelah
semua anak-anak dari Ummu Aufa meninggal dunia, mereka bercerai. Kemudian ia
menikah lagi dengan Kabsyah binti ‘Amr Al-Ghatafaniyyah. Dari pernikahannya
yang kedua, ia memiliki tiga orang putra yaitu Ka’ab, Bujair dan Salim.
Sayangnya Salim meninggal dunia sebelum Islam datang. Sedangkan ia dan
keluarganya yang lain masih hidup sampai tiba datangnya masa Islam dan masuk ke
dalam Islam dan dikenal sebagai penyair.
Zuhair hidup dalam masa terjadinya peperangan yang berlarut-larut selama 40
tahun antara kabilah Abbas dan Bani Dzubyan, yang terkenal dengan peperangan
Dahis dan Gabra'. Dalam peristiwa perang ini, ia pun turut ambil bagian dalam
usaha mendamaikan dua suku yang sedang berperang tersebut. Dalam usaha perdamaian
itu, ia menganjurkan kepada para pemuka bangsa Arab untuk mengumpulkan dana
guna membeli tiga ribu ekor unta untuk membayar tebusan yang dituntut oleh
salah satu dari kedua suku yang sedang berperang itu. Adapun yang sanggup
menanggung keuangan itu adalah dua orang pemuka bangsa Arab yang bernama Haram
bin Sinan dan Harits bin Auf. Sehingga berkat usaha kedua orang ini, peperangan
yang telah terjadi selama 40 tahun dapat dihentikan. Untuk mengingat kejadian
yang amat penting itu, Zuhair mengabadikan dalam salah satu puisi
mu’allaqatnya, seperti di bawah ini:
"Aku bersumpah dengan Ka'bah yang ditawafi oleh anak cucu Quraisy dan
Jurhum".
Aku bersumpah, bahwa kedua orang (yang telah menginfakkan uangnya untuk
perdamaian itu) adalah benar-benar pemuka yang mulia, baik bagi orang yang
lemah, maupun bagi orang yang perkasa".
"Sesungguhnya mereka berdua telah dapat kesempatan untuk menghentikan
pertumpahan darah antara bani Absin dan Dhubyan, setelah saling berperang
diantara mereka".
"Sesungguhnya mereka bedua telah berkata: "Jika mungkin perdamaian
itu dapat diperoleh dengan uang banyak dan perkataan yang baik, maka kami pun
juga bersedia untuk berdamai".
"Sehingga dalam hal ini kamu berdua adalah termasuk orang yang paling
mulia, yang dapat menjauhkan kedua suku itu dari permusuhan dan
kemusnahan".
"Kamu berdua telah berhasil mendapatkan perdamaian, walaupun kamu berdua
dari kelurga yang mulia, semoga kalian berdua mendapatkan hidayah, dan barang
siapa yang mengorbankan kehormatannya pasti dia akan mulia"
4. Al-A’sya bin Alqaisi
Nama Al-A'sya merupakan julukan baginya, karena ia memiliki kadar penglihatan
yang lemah (rabun). Nama pada saat karier kepenyairannya meningkat, ia dijuluki
Abu Basir yang berarti orang yang mempunyai penglihatan. Konon ayahnya mempunyai
julukan "Orang yang mati kelaparan", karena pada suatu ketika ayahnya
memasuki sebuah goa hanya untuk berteduh di dalamnya dari cuaca panas, tetapi
malang baginya tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari atas gunung dan menutupi
mulut goa, yang menyebabkan ayahnya mati kelaparan di dalamnya. Mengenai
kejadian itu, juhunnam seorang penyair membuat sebuah puisi hija' (sindiran)
untuk ayahnya yaitu:
"Ayahmu Qais bin Jundul mati kelaparan, kemudian pamanmu itu disusui oleh
budak dari Khuma'ah".
Khuma'ah adalah tempat kelahiran ibu dari Al-A'sya. Saudara kakeknya, Musayyub
bin ‘Alas mempunyai jasa yang besar dalam mengabadikan puisi Al-A'sya. Para
ahli sastra Arab menganggapnya sebagai orang keempat setelah ketiga penyair
yang telah disebutkan di atas. Penyair ini ditakuti akan ketajaman lidahnya,
sebaliknya ia juga disenangi orang bila ia telah memuji seseorang, dan orang
itu seketika itu pula akan menjadi terkenal.
Puisi-puisi Al-A'sya banyak menceritakan pengembaraannya ke sebagian daerah
jazirah Arab untuk memuji para pemimpin (kepala suku) dan para bangsawan.
Sehingga di dalam diwannya (kumpulan puisi), dia banyak memuji Aswad bin
Mundzir dan saundaranya yaitu Nu'man bin Mundzir dan Iyas bin Qubaisah. Dia
juga banyak membicarakan mengenai perdamaian antara salah seorang penguasa di
Yaman dengan bani Abdul Madin bin Diyan di Najran, dan penguasa yang bernama
Hauzah bin ‘Ala Sayid dari bani Hanifah, yang tidak diketahui latar belakang
mengenai perselisihan di antara ketiganya.
Al-A'sya sering melakukan pengembaraan dan mengunjungi kawasan Hirah, Yaman,
dan Diyar (sebuah daerah berbukit di Yaman), dan Najran, begitu pula dengan
daerah Syam, Persia, dan Jerussalem. Khususnya di daerah Yaman, Nejed, dan
Hirah, ia memuji para pejabat teras di sana. Begitu pula dengan kepergiaannya
ke Diyar, ia mendapatkan hadiah sebagai balasan atas puisi-puisi yang telah
diucapkannya dengan indah kepada bani ‘Amr.
Louis seorang orientalis barat, menganggap bahwa penyair ini penganut Nasrani,
ia berpendapat dengan kesukaan Al-A'sya dalam menyusun lagu-lagu rohani. Puisi
madahnya banyak memuji para uskup Najran, dan kebanyakan bait-bait puisi-nya
berkaitan dengan orang-orang nasrani di Hirah. Namun, hal ini tidak dapat
dibenarkan, karena kepercayaan Nasrani telah lama dianut dan merupakan agama
nenek moyang. Sehingga setelah ia menerima ajaran ini, kebiasaan buruk dalam
melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan telah ada pada diri al-A'sya. Hal ini
dapat dilihat jelas dalam puisi-nya yang banyak menggambarkan kesenangannya
akan mabuk-mabukkan dan pencinta harta. Dan untuk meneliti lebih lanjut tentang
puisi Al-A'sya dapat dilihat dalam kitab Sy'ir was Syuara' karya Ibnu
Al-Qutaibah, kitab Al-Jamhara, dan kitab Al-Aghany karya Al-Asfahany.
Kumpulan puisi Al-A'sya banyak diterbitkan oleh Jayir di London pada tahun
1928. Jayir menyalinnya dari Isykuriyal yang diambil dari Tsa'labah pada tahun
291 H. Sebagian dari puisi-nya juga diterbitkan oleh Daar al-Kutub, Mesir.
Jumlah kasidahnya tidak kurang dari 77 bait kasidah, ditambah lagi l15 kasidah
yang tidak diketahui asalnya, tetapi diyakini sebagai puisinya. Namun,
kemungkinan besar puisi pilihan itu dikumpulkan oleh Tsa'labah. Selanjutnya
Daar al-Kutub menemukan 40 bait kasidah al-A'sya yang diambil dari salinan di
kantor perwakilan Yaman. Hal ini diketahui dari kalimat pendahuluan oleh
penyusun diwan-nya. Puisi-puisi Al-A'sya memiliki ciri khas tersendiri, seperti
pemakaian kasidah yang panjang, sebagaimana yang terlihat dalam puisinya
terdapat pemborosan kata-kata. Puisinya banyak mengandung pujian, sindiran atau
ejekan, kemegahan atau kebesaran, kenikmatan khamr (arak), menggambarkan atau
melukisakan sesuatu, dan mengenai percintaan.
Tidak seperti penyair lainnya, dalam hal pengungkapan puisi madah, Al-A'sya
hanya ingin berusaha mendapatkan pemberian atau hadiah, seperti dalam
pengembaraannya kesebagian jazirah Arab, yaitu untuk memuji para pemimpin dan
pejabat di sana. Pemberian atau hadiah itu dapat berupa unta, budak perempuan,
piring yang terbuat dari logam perak, atau pakaian yang terbuat dari kain
sutera yang bermotif lukisan.
Dalam puisi madahnya banyak mengisahkan mengenai kemuliaan, keberanian,
kesetiaan, pertolongan terhadap kaum lemah, dan pujian terhadap tentara yang
berlaga di medan peperangan. Puisi madahnya banyak mengandung ungkapan-ungkapan
yang dikeluarkan secara bebas (spontanitas). Oleh karena itu, Al-A'sya juga
ditakuti akan ketajaman lidahnya, karena bila seseorang telah mendapatkan
pujian darinya, maka orang itu akan menjadi terkenal.
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang
bernama Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai
jodoh dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar
kedatangan Al-A'sya di Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk
mengundang Al-A'sya ke rumahnya. Setelah Al-A'sya datang ke rumah miskin itu,
maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu Al-A'sya. Penyair ini sangat
heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia
langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan
kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia
membacakan puisi itu, maka banyak orang yang datang meminang ketiga puteri
Muhallik. Adapun bait puisi yang diucapkan Al-A'sya seperti dibawah ini:
"Aku tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun
cinta"
"Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu"
"Api itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan
di malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang
bermalam"
"Di malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap
bersatu"
"Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan"
"Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang
lain untuk berderma"
Di dalam suatu riwayat lain juga diceritakan bahwa ketika Al-A'sya mendengar
diutusnya Nabi Muhammad dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini
sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah
dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad. Namun, sayang sekali maksud baik ini
dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy.
Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan Al-A'sya, Abu Sufyan langsung berkata
kepada para pemuka Quraisy: "Demi Tuhan, bila Al-A'sya bertemu dengan
Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk
mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor
unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad". Kemudian,
saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya Al-A'sya
mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah
dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad seperti dibawah ini:
"Demi Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari
sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad"
"Nanti jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat
beristirahat dan akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah"
"Seorang Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh
mereka, dan namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed"
"Pemberiannya tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang
tidak akan mencegah pemberiannya di hari esok"
sumber:
Manshur, Fadlil Munawwar. 2011. Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hitti, Philip K. 2008. History of The Arabs. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
http://www.answering-islam.de
http://www.adab.com/en/