Minggu, 07 Oktober 2012

KAJIAN SOSIO-HISTORIS TERHADAP MASYARAKAT ARAB KLASIK

KAJIAN SOSIO-HISTORIS
TERHADAP MASYARAKAT ARAB KLASIK[1]

I.         PENDAHULUAN
Kondisi masyarakat Arab pra Islam seringkali disebut masyarakat Arab Jahiliyah memlikiki karakter masyarakat yang terbuka dan heterogen-pluralistik. Dimana kota Mekkah ketika itu merupakan kota yang multifungsi; sebagai kota bisnis, budaya[2], disamping itu Makkah juga sebagai pusat transaksi keuangan baik untuk internal suku-suku di sekitar Makkah maupun Negara luar secara transparan.[3] Kondisi yang demikian tercatat dalam catatatn sejarah Arab kuno maupun di al Qur’an, sebagaimana di informasikan pada al Qur’an Surat Quraisy, 106 : 1-2 berikut :
   لإيلاف قريش(1)
إيلافهم رحلة الشتاء والصيف(2)
                                                                                                                     
1.  Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
      2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas[1602].

[1602] orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. Ini adalah suatu nikmat yang amat besar dari Tuhan mereka. oleh Karena itu sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang Telah memberikan nikmat itu kepada mereka.

Masyarakat Arab pra Islam terbagi menjadi beberapa lembaga suku, yang setiap lembaga suku dikepalai oleh seorang kepala suku dengan sebutan Syaikh al Qabilah atau Sayyid.[4] Dengan adanya system kesukuan ini kemudian muncul dua deriviasi struktur social; yaitu stratifikasi social yang memiliki derajat suku yang tinggi terdiri dari kaum bangsawan ataupun saudagar kaya, dan system perbudakan atau hamba sahaya yang memiliki derajat suku yang rendah dan terpinggirkan.
Berdasarkan sedikit uraian di atas, permasalahan yang diangkat dari review yang penulis lakukan adalah bagaimana kondisi kehidupan masyarakat Arab pra Islam (Jahiliyah) terkait dengan system kesukuan yang ada?. Kemudian permasalahan selanjutnya adalah adakah sistem kesukuan Arab pra Islam memiliki korelasi terkait dengan kondisi social-ekonomi dan social-budaya di dalam masyarakat secara menyeluruh?.
  

II.      PEMBAHASAN
A.       Gambaran Masyarakat Arab Pra Islam (Jahiliyah)
Masyarakat Arab pra Islam secara umum terbagi menjadi dua kelompok, yaitu; kelompok Arab al-Baidah dan kelompok Arab al-Baqiyah.[5] Arab al-Baidah merupakan komunitas masyarakat Arab yang mengalami kepunahan, fenomena sejarahnya dapat diketahui melalui informasi yang tidak lengkap dari prasasti, kitab suci dan termasuk al-Qur’an. Sedangkan Arab al-Baqiyah merupakan komunitas Arab yang tetap eksis dan terpelihara sejarahnya di bangsa Arab. Dalam dinamika selanjutnya kelompok Arab al-Baqiyah terpecah menjadi dua klan/bagian yaitu klan Qohton bertempat di wilayah Arab Selatan (daerah Yaman) dan Klan Adnan yang menempati daerah Arab bagian utara (daerah Hijaz) yang kemudian dikenal dengan sebutan klan Arab al-Muta’arrobah atau al-Musta’rabah.[6]
Klan Qohton pada awalnya merupakan kelompok yang maju karena sudah memiliki peradaban yang tinggi, namun kemudian mengalami badai krisis ekonomi dan politik yang mengakibatkan imigrasi besar-besaran ke Arab bagian Utara yaitu Klan Adnan. Fenomena imigrasi yang dilakukan klan Qohton ke klan Adnan ini yang mengakibatkan kebangkitan dan perkembangan peradaban di Arab Utara.
Arab Utara mengalami kemajuan disebabkan oleh dua factor, yaitu factor  eksternal yaitu migrasi yang dilakukan oleh Arab Selatan. Kedua, kota Makkah berfungsi secara maksimal, sebagai pusat kota, pusat religious, ekonomi, politik dan budaya.[7]

B.       Batasan Masa dan Letak Geografis
Masyarakat Arab Jahiliyah hidup di jazirah Arab sekitar 150 tahun sebelum kedatangan Islam atau sekitar pertengahan abad ke 4-5 M. masyarakat Jahiliyah terbagi menjadi dua kelas masa, yaitu al-Jahiliyah al-Ula yang berarti komunitas masyarakat Arab Jahiliyah fase pertama dan al Jahiliyah al-Tsaniyah yang berarti masyarakat Arab jahiliyah pada fase kedua. Di dalam review ini masyarakat Arab Jahiliyah yang dibahas adalah masyarakat Arab Jahiliyah pada fase kedua.[8]
Dari sisi geografis Jazirah Arab termasuk kawasan Asia Barat, di ujung Barat Daya Asia. Sebelah utara berbatasan dengan Syiria, sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Persia dan Laut Oman sedangkan di bagian barat berbatasan dengan Laut Merah.[9] Wilayah jazirah Arab merupakan wilayah yang tandus, gersang dan ganas.

C.       Masyarakat Arab Hadhor (berperadaban) dan Masyarakat Arab Badwi (primitif)
Ada dua tipologi masyarakat Arab Selatan (Qohton)  maupun Utara (Adnan), yaitu masyarakat pra Islam berperadaban (al Arab al-Mutahadirah) dan yang belum berperadaban (al Arab al-Badwah). Kelompok pertama merupakan kelompok yang maden (menetap), berkomunikasi dengan masyarakat non Arab, masyarakat kota makkah dan secara ekonomi berdagang, dilakukan oleh kabilah Quraisy. Untuk kelompok kedua merupakan kelompok yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah tempat), berada di daerah pedalaman, terisolir dan berprofesi sebagai peternak, dilakukan oleh Arab Badui.[10]

D.       Sistem Kesukuan Masyarakat Arab Pra Islam
Masyarakat Arab Pra Islam, baik yang sudah berperadaban (hadhar) maupun masyarakat Arab Badui mereka sama-sama memiliki kekuatan kesukuan, kesukuan merupakan symbol identitas kelompoknya yang terbangun dari kesamaan dinasti, wilayah dan status social, dan kesukuan telah berlangsung secara turun temurun semenjak zaman Nabi Nuh as. Dalam suku diatur menjadi beberapa tingkatan mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar yaitu; al-butun (keluarga kecil), meningkat di atasnya adalah al-Asyirah (keluarga) dan tingkatan yang paling besar Qobilah (suku).[11]
Dalam persoalan social dengan pihak-pihak eksternal sistem kesukuan bersifat inklusif hal ini Nampak ketika mereka melakukan hubungan bisnis dengan pihak di luar suku. Akan tetapi terkait hubungannya dengan antar suku lebih eksklusif, ataupun ketika terjalin hubungan yang inklusif seringkali ditandai dengan peristiwa yang konfrontatif, begitu banyak perselisihan dan permusuhan.[12]

E.        Beberapa Fenomena Kehidupan Masyarakat Arab pra Islam (Jahiliyah)
1.      Agama dan sistem Kepercayaan Masyarakat Arab pra Islam (Jahiliyah)
Kondisi keagamaan dan kepercayaan masuarakat Arab Jahiliyah sangat heterogen dan plural, diantara agama dan kepercayaan yang mereka anut adalah sistem kepercayaan paganisme, agama Nasrani Yahudi, dan Majusi. Disamping itu ada juga komunitas kecil yang tidak menganut agama dan kepercayaan tersebut sehingga mereka mendambakan adanya ajaran agama yang baru (kelompok hanafiyah).[13]
2.      Kehidupan Sosial Politik dan Masalah Ashobiyah
Dalam kehidupan social politik ada dua hal yang terbilang urgen, pertama; adanya sistem tribalisme (kesukuan) merupakan sistem social politik yang primordial, eksklusif dan faternalistik, dibangun dengan dasar kesamaan darah. Kedua; adalah masalah ashobiyah yaitu solidaritas dan fanatisme kesukuan.
3.      Sistem Kesukuan dan Ashobiyah dalam Karya Puisi
Ketika terjadi konflik antar suku seringkali dilakukan retorika dan media puisi bertemakan Ashobiyah untuk memuji sukunya dan menjelekkan suku yang lain. Puisi juga memiliki makna yang kutural, karena ternyata dengan puisi itu sangat disenangi dan menjadi idola bagi setiap suku yang ada di jazirah Arab ketika itu.
4.      Kehidupan Ekonomi dan Masalah Kesenjangan Sosial
Masarakat Arab Jahiliyah dalam melakukan kegiatan ekonomi pada dasarnya adalah dengan melakukan empat sumber mata pencaharian pook seperti; perdaganngan, pertanian, industry dan peternakan. Aktifitas perdagangan lebih banyak dilakukan oleh suku Quraisy, pertanian dilakukan oleh suku Yahudi yang ada di wilayah Madinah, industry dan perdagangan digeluti oleh komunitas Yahudi. Untuk kegiatan beternak merupakan sumber ekonomi yang secara mayoritas dilakukan oleh suku Arab Badui (primitif).
Sementara ada komunitas Arab Jahiliyah yang sangat memprihatinkan, yaitu komunitas sho’alik (komunitas yang terpinggirkan), kelompok ini tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan yang jelas sehingga mereka hidup dalam garis kemiskinan dan penderitaan yang hidup di pedalaman dan termasuk suku yang paling rendah. Dengan demikian komunitas sho’alik memberikan fenomena yang menjadikan adanya kesenjangan social antara suku-suku elite dari kelompok borjuis pedagang seperti suku Quraisy dengan suku-suku badui yang termarginalkan dari kelas Khula’a (komunitas yang terusir dari institusi kesukuan).[14]

III.   KESIMPULAN
Masyarakat Arab pra Islam merupakan masyarakat suku yang heterogen dan plural. Kesukuan merupakan bagian yang inhern dalam kehidupan social secara keseluruhan.
Adanya konsep ashobiyah (solidaritas dan fanatisme kesukuan) merupakan falsafah kehidupan bagi setiap suku dalam rangka mempertahankan eksistensi dan citra intern yang dimiliki oleh setiap suku.
Dalam pola kehidupan ekonomi, kesukuan ternyata dapat memfragmentasikan pola kesenjangan social yang tajam antara kelompok struktur ekonomi elite dari kalangan borjuis (suku pedagang yang bermodal) dengan kelompok social suku marginal dari kelompok sho’alik (suku rendahan  yang telah terisolir dari kelompok sukunya. Adanya kesenjangan social yang begitu tajam mengakibatkan ketidakadilan social yang pada akhirnya dapat menjadi pemicu awal  terjadinya anarkhisme social yang dilakukan oleh kelompok sho’alik.
              


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hatta, DR.,MA. Tafsir Qur’an Per Kata Dilengkapi Azbabun Nuzul dan Terjemah. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.

Ahmad Amin, Fajrul Islam (terjemah Zaeni Dahlan), (Jakarta: Bulan Bintang), 1968.

Husain Athwan, Muqaddimah al-Qashidah al-Aroriyah fi al-Syi’ri al-Jahili, (Mesir: Dar al-Ma’arif), t.t.

Fazlur Rahman, Tema Pokok al Qur’an, (penerjemah) Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka), 1996.

Jurzi Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-Arobiyyah, (al-Qohiroh: Dar al-Hilal), t.t.

M. Siba’i Bayyumi, Tarikh al-Adab al-Arbori fi al-Astiri al Jahili, (Mesir : Maktabah al-Nahdlah), 1948.

Montgomeri Watt, Muhammad at Macca, (Karachi: Oxford University Press), 1982.

Muhammad Sarhan, Fiqh Lughah, (Riyadh: al-Idarah al- Imamah), t.t.

Syauqi Dhoif, Tarikh al-Adab al-Arabi fi al-Ashri al-Jahili, (Mesir: Dar al-Ma’arif), t.t.

Yusuf Kholif, al Syu’aro al Sho’alik fi al Ashri al Jahili, (Mesir: Dar al Ma’arif), t.t.


[1] Makalah, disusun dan diajukan memenuhi tugas mata kuliah Studi Peradaban Islam (Klasik-Kontemporer) Universitas Sains al Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo, oleh Dudiyono.
[2] Syauqi Dhoif, Tarikh al-Adab al-Arabi fi al-Ashri al-Jahili, (Mesir: Dar al-Ma’arif), t.t, hlm. 38.
[3] Montgomeri Watt, Muhammad at Macca, (Karachi: Oxford University Press), 1982, hlm. 2-3.
[4] Husain Athwan, Muqaddimah al-Qashidah al-Aroriyah fi al-Syi’ri al-Jahili, (Mesir: Dar al-Ma’arif), t.t., hlm. 23.
[5] M. Siba’i Bayyumi, Tarikh al-Adab al-Arbori fi al-Astiri al Jahili, (Mesir : Maktabah al-Nahdlah), 1948, hlm. 14.
[6] Ibid., hlm. 22-25
[7] Muhammad Sarhan, Fiqh Lughah, (Riyadh: al-Idarah al- Imamah), t.t., hlm. 36-36
[8] Jurzi Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-Arobiyyah, (al-Qohiroh: Dar al-Hilal), t.t., hlm. 7-10.
[9] Ahmad Amin, Fajrul Islam (terjemah Zaeni Dahlan), (Jakarta: Bulan Bintang), 1968, hlm. 15.
[10]Husain Athwan, Muqaddimah al-Qashidah al-Aroriyah fi al-Syi’ri al-Jahili, (Mesir: Dar al-Ma’arif), t.t., hlm.45.

[11] Ibid., hlm. 23.
[12] Ibid., hlm. 92.
[13] Fazlur Rahman, Tema Pokok al Qur’an, (penerjemah) Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka), 1996, hlm. 198.
[14] Yusuf Kholif, al Syu’aro al Sho’alik fi al Ashri al Jahili, (Mesir: Dar al Ma’arif), t.t., hlm. 135-145

KONDISI BANGSA ARAB PRA ISLAM

Kondisi Politik
Secara global-teritorial, Arab merupakan negeri yang terletak di semenanjung Arab yang dikelilingi tiga lautan, yaitu Laut Merah di Barat, Samudera Hindia di Selatan, dan Teluk Persia di sebelah Timur. Letak geopolitik ini berdampak signifikan pada kondisi sosial bangsa Arab. Negeri Yaman misalnya, diperintah oleh bermacam-macam suku dan pemerintahan yang terbesar adalah masa pemerintahan Tababi’ah dari kabilah Himyar.
Di bagian Timur Jazirah Arab, dari kawasan Hirah hingga Iraq, yang ada hanya daerah-daerah kecil yang tunduk kepada kekuasaan Persia hingga datangnya Islam. Raja-raja Munadzirah sama sekali tidak berdiri sendiri dan tidak merdeka, tetapi tunduk secara politis di bawah kekuasaan raja-raja Persia. Bagian Utara Jazirah Arab sama dengan bagian Timur, karena di daerah itu juga tidak ada pemerintahan bangsa Arab yang murni dan merdeka. Semua raja di sini tunduk di bawah kekuasaan Romawi. Raja-raja Ghasasanah semuanya serupa dengan raja-raja Munadzirah.
Sementara itu, di Tengah Jazirah Arab, di mana terdapat tanah suci Mekkah dan sekitarnya, kaum Adnaniyyin menjadi penguasa yang independen, tidak dikuasai oleh Romawi, Persia, maupun Habasyah. Allah telah menjaga kehormatan tanah dan penduduk disana. Bahkan sejak masa imperialisme Barat yang menjajah dunia Islam, tak ada yang bisa menguasai negeri suci ini karena Allah telah menjaga kesuciannya.[1]
Kondisi Ekonomi
Perekonomian bangsa Arab secara umum tidak bermakna apa-apa, kecuali negeri-negeri yang ada di daerah Yaman. Yaman adalah negeri yang subur, khususnya di sekitar bendungan Ma’rib, di mana pertanian maju secara pesat dan menakjubkan. Di masa itu juga telah berkembang industri, seperti industri kain katun dan persenjataan berupa pedang, tombak, dan baju besi. Akan tetapi, mereka tidak bersyukur dan justru berpaling dari ketaatan kepada Allah. Karena kekufuran itu, Allah pun menghancurkan bendungan Ma’rib itu.
Sementara itu, mayoritas kabilah Adnan tinggal di tengah gurun pasir dengan rumput yang sedikit untuk mengembala domba. Mereka hidup dari susu dan dagingnya. Sedangkan kaum Quraisy yang tinggal di tanah suci mengandalkan perekonomiannya dari berdagang. Pada musim dingin, mereka berduyun-duyun ke Yaman untuk berdagang. Dan ketika musim panas, mereka memilih Syam sebagai tujuan perdagangannya. Orang-orang Quraisy ini hidup dalam kemakmuran, berbeda dengan kabilah-kabilah lainnya yang rata-rata hidup susah dan menderita.[2]
Kondisi Sosial
Fase kehidupan bangsa Arab tanpa bimbingan wahyu Ilahi dan hidayah sangatlah panjang. Oleh sebab itu, di antara mereka banyak ditemukan tradisi yang sangat buruk. Berikut ini adalah contoh beberapa tradisi buruk masyarakat Arab Jahiliyah.
  1. Perjudian atau maisir. Ini merupakan kebiasaan penduduk di daerah perkotaan di Jazirah Arab, seperti Mekkah, Thaif, Shan’a, Hijr, Yatsrib, dan Dumat al Jandal.
  2. Minum arak (khamr) dan berfoya-foya. Meminum arak ini menjadi tradisi di kalangan saudagar, orang-orang kaya, para pembesar, penyair, dan sastrawan di daerah perkotaan.
  3. Nikah Istibdha’, yaitu jika istri telah suci dari haidnya, sang suami mencarikan untuknya lelaki dari kalangan terkemuka, keturunan baik, dan berkedudukan tinggi untuk menggaulinya.
  4. Mengubur anak perempuan hidup-hidup jika seorang suami mengetahui bahwa anak yang lahir adalah perempuan. Karena mereka takut terkena aib karena memiliki anak perempuan.
  5. Membunuh anak-anak, jika kemiskinan dan kelaparan mendera mereka, atau bahkan sekedar prasangka bahwa kemiskinan akan mereka alami.
  6. Ber-tabarruj (bersolek). Para wanita terbiasa bersolek dan keluar rumah sambil menampakkan kecantikannya, lalu berjalan di tengah kaum lelaki dengan berlengak-lenggok, agar orang-orang memujinya.
  7. Lelaki yang mengambil wanita sebagai gundik, atau sebaliknya, lalu melakukan hubungan seksual secara terselubung.
  8. Prostitusi. Memasang tanda atau bendera merah di pintu rumah seorang wanita menandakan bahwa wanita itu adalah pelacur.
  9. Fanatisme kabilah atau kaum.
  10. Berperang dan saling bermusuhan untuk merampas dan menjarah harta benda dari kaum lainnya. Kabilah yang kuat akan menguasai kabilah yang lemah untuk merampas harta benda mereka.
  11. Orang-orang yang merdeka lebih memilih berdagang, menunggang kuda, berperang, bersyair, dan saling menyombongkan keturunan dan harta. Sedang budak-budak mereka diperintah untuk bekerja yang lebih keras dan sulit.
Kondisi Agama
Menurut Thaib Thahir Abdul Mu’in, hakikat ibadah pendudukan Arab Jahiliyah adalah hasil dari salah satu dua perasaan, yaitu:
  1. Perasaan manusia yang merasa bahwa ada kekuatan tersembunyi, yang tidak dapat dikenal dan diketahui oleh manusia. Kekuatan itu yang menyebabkan bergerak dan berlakunya alam semesta ini dengan teratur dan harmonis. Perasaan ini tertanam dalam jiwa manusia.
  2. Perasaan yang salah terhadap sesuatu, karena hanya berdasarkan kepada pancaindera saja, seperti perasaan terhadap salah satu kekuatan yang ada di alam ini. Misalnya, perasaan orang Mesir kuno yang menganggap keistimewaan itu pada sapi, matahari, sungai Nil, dan sebagainya. Perasaan inilah yang mendorong manusia ke arah kepercayaan yang salah. Tetapi meskipun salah, perasaan itu sangat membekas di dalam kehidupan masyarakat ketika itu. Bahkan bekas-bekas itu hingga kini masih terlihat di kalangan umat yang terbelakang.[3]
Bangsa Arab umumnya mempunyai kedua perasaan tersebut. Perasaan yang pertamalah yang mendorong bangsa Arab mengabdi kepada Allah dan mengakui jualah yang menjadikan langit dan bumi, memberikan rezeki, dan sebagainya. Sedangkan perasaan kedua yang mendorong mereka menyembah berhala, karena awalnya mereka mengganggap bahwa berhala adalah alat penghubung menyembah dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun pada akhirnya mereka meyakini bahwa dalam berhala-berhala itu memiliki kekuatan sendiri.[4]
Kemusyrikan di tengah bangsa Arab musya’ribah, bermula ketika mereka keluar mencari rezeki.[5] Jika di antara penduduk di sekitar Makkah ada yang hendak bepergian ke daerah lain, mereka membawa beberapa batu yang ada di dekat Ka’bah, dengan tujuan sebagai kenang-kenangan bagi tanah airnya dan sebagai pengganti Ka’bah yang tidak dapat dibawa. Semenjak itulah orang Jahiliyah menghormati dan mengangungkan batu. Keadaan ini berlangsung beberapa abad lamanya dan turun temurun. Sehingga anak cucunya yang kemudian, tidak mengenal lagi asal muasal penghormatan dan penyembahan batu-batu itu.
Sebagian bangsa Arab ada yang pindah dari menyembah batu-batu kepada menyembah berhala atau arca, ada yang tetap menyembah batu, dan ada pula yang tetap berpegang kepada agama Nabi Ibrahim. Dengan demikian, iman orang Arab Jahiliyah terhadap batu-batu dan berhala itu tidak begitu kuat. Karena dasar kepercayaannya kurang kuat. Mereka akan membinasakan arca-arca itu, apabila harapan-harapan mereka tidak terkabul. Dan apabila terkabul, mereka akan membayar dengan pengorbanan berupa hewan ternak.[6]
Berhala yang dipuja dan disembah oleh bangsa Arab Jahiliyah sangat banyak jumlahnya. Dari sekian banyak berhala-berhala tersebut, yang terbesar dan termasyhur ada lima berhala, antara lain:
  1. Berhala Wad atau Waddan, menjadi sesembahan kabilah Kalb,
  2. Berhala Sua’ atau Sua’an, menjadi sesembahan kabilah Huzdail,
  3. Berhala Yaghuts, menjadi sesembahan kabilah Bani Khuthaif,
  4. Berhala Nasr, menjadi sesembahan kabilah Himyar.
Nama-nama ini dahulu adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh. Setelah orang-orang shaleh itu meninggal dunia, umatnya mengadakan peringatan-peringatan untuk mereka dengan cara mendewakannya. Setelah generasi itu mati, mereka menjadi disembah. Selain dari lima berhala tersebut, ada beberapa berhala pula yang utama, yaitu Latta, Uzza, dan Manat.[7]
Kaum Quraisy dan Arab Jahiliyah di Mekkah, tidaklah menghormati dan membesar-besarkan kelima berhala di atas. Mereka hanya memuja ketiga berhala itu, sebab itu yang paling utama dan lebih tinggi derajatnya bagi mereka. Dari ketiga berhala itu, orang Quraisy memilih yang terpenting dan istimewa, yaitu Uzza. Kabilah Bani Saqif lebih memuliakan dan mengutamakan Latta. Sedangkan Bani Aus dan Khazraj di Madinah lebih mengutamakan Manat.[8]
Ada pula sebagian bangsa Arab Jahiliyah yang menyembah Ba’l atau Baal. Menurut mereka berhala Ba’l ini dapat menyebabkan suburnya tanah dan menimbulkan hasil yang banyak. Golongan yang banyak menyembah Ba’l ini adalah kaum tani. Dan ada pula golongan yang mutlak tidak mengakui adanya Allah dan Tuhan lainnya. Golongan ini dinamakan Dahrenun (Ateis). Menurut mereka segala yang ada di alam semesta ini adalah kejadian alam yang terjadi dengan sendirinya, tanpa ada yang menjadikannya.[9]
Demikian pula peradaban dan kemasyarakatan pada bangsa Arab Jahiliyah tersebut terus-menerus dalam percekcokan antar kabilah-kabilah. Mereka saling rampas-merampas, selalu melanggar dan menghianati janji-janji mereka, tidak peduli kepada orang lain maupun sanak saudaranya, gelisah dan malu apabila memperoleh anak perempuan, membunuh dan mengubur anak-anak perempuan, takut miskin, dan sebagainya.[10] Dengan kata lain, hukum yang berlaku di bangsa Arab Jaliyah adalah hukum ‘rimba’, yaitu siapa yang kuat, maka itu yang menang. Dan siapa yang lemah, maka ia akan tertindas.
Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa bangsa Arab Jahiliyah, mempunyai kepercayaan dan Tuhan yang bermacam-macam. Akan tetapi, walaupun tampak banyak ragamnya, namun pada umumnya orang Arab, khususnya suku Quraisy, tetap memuliakan dan beribadah di Ka’bah. Mereka menghormati Ka’bah dan menjalankan kegiatan ibadah di tempat itu.
Walaupun masyarakat Arab, khususnya suku Quraisy, memuliakan dan menghormati Ka’bah, tetapi mereka membuat bid’ah-bid’ah agama yang melampaui batas, antara lain:
  1. Mempersembahkan bahirah, sa’ibah, washilah, dan ham. Bahirah adalah unta betina yang dibelah telinganya, kemudian dilepaskan, tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diambil air susunya. Sa’ibah adalah unta yang dibiarkan pergi ke mana saja atau diserahkan kepada Tuhan karena suatu nadzar. Washilah adalah seekor domba betina yang melahirkan sepuluh anak betina kembar. Domba ini disebut washilah (penyambung), karena ia menyambung kesepuluh anak-anaknya, dan khusus dimakan oleh lelaki. Sedangkan, ham adalah unta jantan yang tidak boleh ditunggangi atau dibebani, karena telah membuntingi unta betina sejumlah yang telah ditentukan.
  2. Bid’ah wukuf di Muzdalifah pada saat haji, dan tidak perlu wukuf di Arafah.
  3. Bid’ah tidak boleh berthawaf dengan pakaian yang mengandung unsur maksiat kepada Allah, tidak boleh berthawaf mengenakan pakaian lama. Jika tidak menemukan pakaian khusus untuk berthawaf, mereka harus berthawaf dengan telanjang, sekalipun wanita.
  4. Bid’ah mengundi nasib dengan panah.
  5. Bid’ah An Nasi’, yaitu menangguhkan kesucian bulan Muharram ke bulan Shafar, agar mereka diperolehkan melakukan peperangan pada bulan haram itu.
Setelah mengetahui bagaimana kondisi-kondisi pada zaman jahiliyah tersebut, marilah kita renungkan. Pada era globalisasi sekarang ini, nilai-nilai dan sistem sekuler dapat masuk dengan mudah dan menyingkirkan nilai-nilai islami sebagaimana Rasulullah ajarkan. Akibatnya, banyak orang di sebagian belahan dunia yang pola hidupnya serupa atau telah kembali kepada masa Jahiliyah. Banyak orang yang cerdas dan jenius dengan ilmu pengetahuannya yang malah menjauh dari agamanya, membuat bid’ah-bid’ah yang serupa dengan Jahiliyah, menghalalkan hal-hal yang haram demi keuntungan pribadi, saling bermusuhan dan penindasan terhadap yang lebih lemah, tidak bersyukur atas nikmat Tuhan, banyak perjudian, mabuk-mabukan, pornografi, memamerkan kecantikan atau ketampanan, mempermainkan dan meremehkan pernikahan, aborsi, prostitusi, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, era sekarang ini bisa disebut dengan zaman ‘Jahiliyah ke-2’ atau yang ke sekian.

[1] Abu Bakar Jabir Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 2007. 24-27 [2] Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 28-29
[3] M. Thaib Thahir Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 1997. 157
[4] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 178
[5] Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 38
[6] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 59
[7] Abdul Mu’in. 61
[8] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 63
[9] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 67
[10] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 70

Arab sebelum datang Islam

para sejarawan membagi kaum-kaum Bangsa Arab menjadi Tiga bagian, yaitu :
1. Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa
dilacak secara rinci dan komplit. Seperti Ad, Tsamud, Thasn, Judais, Amlaq dan lain-lainnya.
2. Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
3. Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il, yang disebut pula Arab Adnaniyah.
1. SISTEM POLITIK DAN KEMASYARAKATAN
a. Kondisi Politik
Bangsa Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.
Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah.
Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota kabilah harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah. Baik itu seruan damai ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya pemimpin dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka.
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah system dictator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.
Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.
b. Kondisi Masyarakat
Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat. Yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita.
Karena jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita.
Begitulah gambaran secara ringkas kelas masyarakat bangsawan, sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita.
Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti :
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita pelacur.
3. Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah ialah poligami tanpa da batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya.
Perzinahan mewarnai setiap lapisan mayarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau golongan tertentu. Kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita yang memang masih memiliki keagungan jiwa.
Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Disini kami tidak bisa menggambarkannya secara detail kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikkan.
Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.
2. SISTEM KEPERCAYAAN DAN KEBUDAYAAN
Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.
Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin Luhay, (Pemimpin Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani.
Kemudian Amr Bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam menyembah berhala. Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa HUBAL dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci.
Pada saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka ditempat-tempat tertentu, seperti :
1. Manat, mereka tempatkan di Musyallal ditepi laut merah dekat Qudaid.
2. Lata, mereka tempatkan di Tha’if.
3. Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah.
Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim.
Ada beberapa contoh tradisi dan penyembahan berhala yang mereka lakukan, seperti :
  1. Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit dihadapannya, meminta pertolongan tatkala kesulitan, berdo’a untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat disisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
  2. Mereka menunaikan Haji dan Thawaf disekeliling berhala, merunduk dan bersujud dihadapannya.
  3. Mereka mengorbankan hewan sembelihan demi berhala dan menyebut namanya.
Banyak lagi tradisi penyembahan yang mereka lakukan terhadap berhala-berhalanya, berbagai macam yang mereka perbuat demi keyakinan mereka pada saat itu.
Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya, serta memberikan manfaat di sisi-Nya.
Selain itu, Orang-orang Arab juga mempercayai dengan pengundian nasib dengan anak panah dihadapan berhala Hubal. Mereka juga percaya kepada perkataan Peramal, Orang Pintar dan Ahli Nujum.
Dikalangan mereka ada juga yang percaya dengan Ramalan Nasib Sial dengan sesuatu. Ada juga diantara mereka yang percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tentram jika dendamnya belum dibalaskan, ruh nya bisa menjadi burung hantu yang berterbangan di padang seraya berkata,”Berilah aku minum, berilah aku minum”!jika dendamnya sudah dibalaskan, maka ruh nya akan menjadi tentram.
Sekalipun masyarakat Arab jahiliyah seperti itu, toh masih ada sisa-sisa dari agama Ibrahim dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya, seperti pengagungan terhadap ka’bah, thawaf disekelilingnya, haji, umrah, Wufuq di Arafah dan Muzdalifah. Memang ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya.
Semua gambaran agama dan kebiasaan ini adalah syirik dan penyembahan terhadap berhala menjadi kegiatan sehari-hari , keyakinan terhadap hayalan dan khurafat selalu menyelimuti kehidupan mereka. Begitulah agama dan kebiasaan mayoritas bangsa Arab masa itu. Sementara sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Masehi, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk kedalam masyarakat Arab. Tetapi itu hanya sebagian kecil oleh penduduk Arab. Karena kemusyrikan dan penyesatan aqidah terlalu berkembang pesat.
Itulah agama-agama dan tradisi yang ada pada saat detik-detik kedatangan islam. Namun agama-agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang musyrik yang mengaku pada agama Ibrahim, justru keadaannya jauh sama sekali dari perintah dan larangan syari’at Ibrahim. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Kedurhakaan mereka tak terhitung banyaknya, dan seiring dengan perjalanan waktu, mereka berubah menjadi para paganis (penyembah berhala), dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarakan berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas kekehidupan social, politik dan agama.
Sedangkan orang-orang Yahudi, berubah menjadi orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah. Para pemimpin inilah yang membuat hukum ditengah manusia dan menghisab mereka menurut kehendak yang terbetik didalam hati mereka. Ambisi mereka hanya tertuju kepada kekayaan dan kedudukan, sekalipun berakibat musnahnya agama dan menyebarnya kekufuran serta pengabaian terhadap ajaran-ajaran yang telah ditetapkan Allah kepada mereka, dan yang semua orang dianjurkan untuk mensucikannya.
Sedangkan agama Nasrani berubah menjadi agama paganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan pencampuradukkan antara Allah dan Manusia. Kalaupun ada bangsa Arab yang memeluk agama ini, maka tidak ada pengaruh yang berarti. Karena ajaran-ajarannya jauh dari model kehidupan yang mereka jalani, dan yang tidak mungkin mereka tinggalkan.
Semua agama dan tradisi Bangsa Arab pada masa itu, keadaan para pemeluk dan masyarakatnya sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Musyrik hati, kepercayaan, tradisi dan kebiasaan mereka hampir serupa.

Kondisi Arab Pra-Islam dalam Aspek: Sosial Budaya, Agama, Ekonomi, dan Politik

Pendahuluan
Mengkaji tentang Islam akan lebih sempurna bila kita mengkaji Arab pra-Islam terlebih dahulu, karena Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah mempunyai adat istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi ia muncul di kota terpenting bagi mereka yang menjadi jalur penting bagi lalu lintas perdagangan mereka kala itu, dan dibawa oleh Muhammad (570-632 M) yang merupakan salah satu keturunan suku terhormat dan memiliki kedudukan terpandang di antara mereka secara turun-temurun dalam beberapa generasi, Quraysh. Quraysh adalah suku penguasa di atas suku-suku lainnya di Mekah, sebuah kota yang di dalamnya terdapat bangunan suci tua yang memiliki daya tarik yang melebihi tempat-tempat pemujaan lainnya di daerah Arab.  
Sebagian penulis sejarah Islam biasanya membahas Arab Pra-Islam sebelum menulis sejarah Islam pada masa Muhammad (570-632 M) dan sesudahnya. Mereka menggambarkan runtutan sejarah yang saling terkait satu sama lain yang dapat memberikan informasi lebih komprehensif tentang Arab dan Islam tentang geografi, sosial, budaya, agama, ekonomi, dan politik Arab pra-Islam dan relasi serta pengaruhnya terhadap watak orang Arab dan doktrin Islam. Kajian semacam ini memerlukan waktu dan referensi yang tidak sedikit, bahkan hasilnya bisa menjadi sebuah buku tersendiri yang berjilid-jilid seperti al-Mufaṣṣal fī Tārīkh al-‘Arab qabla al-Islām karya Jawād ‘Alī. Oleh karena itu, kita hanya akan mencukupkan diri pada pembahasan data-data sejarah yang lebih familiar dan gampang diakses mengenai hal itu.
Untuk melacak asal-usul orang Arab, mereka merunut jauh ke belakang yaitu pada sosok Ibrahim dan keturunannya yang merupakan keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Secara geneaologis, para sejarahwan membagi orang Arab menjadi Arab Baydah dan Arab Bāqiyah. Arab Baydah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah ‘Ad, Thamud, Ṭasm, Jadis, Aṣhab al-Ras, dan Madyan. Arab Bāqiyah adalah orang Arab yang hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān dan Bani ‘Adnān. Bani Qaḥṭān adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan tempat mereka di Jazirah Arab. Di antara mereka adalah raja-raja Yaman, Munadharah, Ghassan, dan raja-raja Kindah. Di antara mereka juga ada Azad yang darinya muncul Aus dan Khazraj. Sedangkan Bani ‘Adnān, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan tempat asli mereka adalah Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim. Salah satu anak Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān. Muhammad adalah keturunan ‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah keturunan Isma’il. Menurut Ibnu Hishām (w. 218 H), semua orang Arab adalah keturunan Isma’il dan Qaḥṭān. Tetapi menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān adalah keturunan Isma’il dan Isma’il adalah bapak semua orang Arab.
Secara geografis, Jazirah Arab dibagi menjadi dua bagian. Pertama, jantung Arab. Ia adalah wilayah yang berada di pedalaman. Tempat paling utama adalah Najd. Kedua, sekitar Jazirah. Penduduknya adalah orang-orang kota. Wilayah yang paling penting adalah Yaman di bagian selatan, Ghassan di sebelah utara, Ihsa` dan Bahrain di sebelah timur, dan Hijaz di sebelah Barat. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya apa yang dimaksud dengan Arab di sini bukanlah daerah di mana penduduknya berbahasa Arab seperti Mesir, Sudan, Maroko, dan lain-lain tetapi hanya mencakup dua bagian daerah di atas. Sebelum Islam, Jazirah Arab dikelilingi oleh dua kekuatan besar dan berpengaruh yang selalu terlibat peperangan dan berebut pengaruh ke daerah sekitarnya, yaitu imperium Bizantium pewaris Rumawi sebagai representasi agama Nasrani dan kekaisaran Persia sebagai representasi agama Majusi.
Aspek Sosial-Budaya Arab Pra-Islam
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.
Sebagai lalu lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban kecil. Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas. Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah. Memang persoalan apakah orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suautu mukjizat ada kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.
Agama Arab Pra-Islam
Paganisme, Yahudi, dan Kristen adalah agama orang Arab pra-Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Mereka bahwa berhala-berhala itu dapat mendekatkan mereka pada Tuhan sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama pagan sudah ada sejak masa sebelum Ibrahim. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: ṣanam, wathan, nuṣub, dan ḥubal. Ṣanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nuṣub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Ḥubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.
Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuh dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”.
Adapun Kristen di Jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang ada adalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen yang meruncing. Menurut Muḥammad ‘Ᾱbid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Naṣārā” bukan “al-Masīḥīyah” dan “al-Masīḥī” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Naṣārā” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Ḥawārīyūn”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhhab-madhhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan Jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru Jazirah Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraysh yang mana mereka berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, da Ḥabashah. Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes.
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Ḥanīfīyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhalam, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Ḥanīfīyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Ṭaif, dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin Abī al-Ṣalt, Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin Jaḥsh, Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd al-Muṭallib, ‘As’ad Abū Karb al-Ḥamīrī, Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin al-Ḥuwayrith.
Tradisi-tradisi warisan mereka yang kemudian diadopsi Islam adalah: penolakan untuk menyembah berhala, keengganan untuk berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala, pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman riba, pengharaman meminum arak dan penerapan vonis hukuman bagi peminumnya, pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi pelakunya, berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di bulan ramaḍan dengan memperbanyak kebajikan dan menjamu orang miskin sepanjang bulan ramaḍan, pemotongan tangan pelaku pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan daging babi, dan larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan mereka.
Ekonomi dan Politik Arab Pra-Islam

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur dan bahwa ia terletak di daerah strategis sebagai lalu lintas perdagangan. Ia terletak di tengah-tengah dunia dan jalur-jalur perdagangan dunia, terutama jalur-jalur yang menghubungkan Timur Jauh dan India dengan Timur Tengah melalui jalur darat yaitu dengan jalur melalui Asia Tengah ke Iran, Irak lalu ke laut tengah, sedangkan melalui jalur laut yaitu dengan jalur Melayu dan sekitar India ke teluk Arab atau sekitar Jazirah ke laut merah atau Yaman yang berakhir di Syam atau Mesir. Oleh karena itu, perdagangan merupakan andalan bagi kehidupan perekonomian bagi mayoritas negara-negara di daerah-daerah ini.
Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan dan menggagalkan tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara. Kondisi semacam ini sangat mempengaruhi corak perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga.
Adalah Hāshim (lahir 464 M), kakek buyut Nabi, yang pertamakali membudayakan bepergian bagi suku Quraysh pada musim dingin ke Yaman dan ke Ḥabashah ke Negus dan pada musim panas ke Syam dan ke Gaza dan barangkali hingga sampai di Ankara lalu menemui kaisar. Ini merupakan perdangan lintas negara yang biasa mereka lakukan. Mereka juga bisa menjalin hubungan perdagangan dengan dua kekuatan politik yang saling bertentangan, yaitu Bizantium dan Persia tanpa memihak ke salah satu di antara keduanya. Oleh karena itu, peradaban mereka dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan dalam arti bahwa mereka berinteraksi dengan masyarakat-masyarakat seberang dan semakin menjauh dari pola badui.
Jauh berbeda dengan Yaman, selain letak geografisnya yang strategis untuk perdagangan, ia juga merupakan daerah subur. Dengan dua kelebihan yang ada, mereka bisa mengandalkan perdangangan dan pertanian sebagai sumber ekonomi mereka. Mereka mengirim kulit, sutera, emas, perak, batu mulia, dan lain-lain Mesir kemudian ke Yunani, Rumania, dan imperium Bizantium. Kerajaan Ma`īn, Saba`, dan Ḥimyar yang ada di Yaman mencapai stabilitas politik dan ekonomi, bahkan menciptakan kehidupan yang beradab dengan tersebarnya pasar-pasar dan bangunan-bangunan menakjubkan yang bersandar pada pertanian dan perdangangan yang sangat maju. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan mereka tentang ekonomi dan politik lebih maju daripada daerah-daerah lain di Jazirah Arab, sehingga merengkuh lebih awal peradaban yang tinggi.
Penutup
Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa cara hidup orang Arab pra-Islam terbagi menjadi dua. Pertama, masyarakat madani yang bertani dan berdagang. Kedua, bersatu dalam kebiasaan-kebiasaan kabilah-kabilah pengembara yang banyak bertumpu pada peraturan-peraturan yang telah ada. Corak yang pertama dianut masyarakat perkotaan atau mereka yang telah mencapai peradaban lebih tinggi terutama Yaman, sementara corak kedua dianut oleh masyarakat badui yang diwakili oleh daerah Hijaz dan sekitarnya. Sebagian orang terlalu berlebihan dalam menyikapi tradisi-tradisi Arab sebelum Islam. Seakan-akan semua tradisi mereka jelek. Padahal sebagian tradisi mereka diadapsi oleh Islam dan tetap dipertahankan hingga sekarang, seperti pengagungan Ka’bah dan tanah suci, haji dan umrah, sakralisasi bulan ramaḍan, mengagungkan bulan-bulan ḥaram, penghormatan terhadap Ibrahim dan Isma’il, pertemuan umum hari jum’at. Islam tidak arogan dalam menyikapi tradisi-tradisi yang sudah ada, tetapi ia mengadopsi sebagian tradisi tersebut dan mengadapsi sebagian yang lain sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Allah memilih Mekah untuk menurukan Islam dan memilih Muhammad sebagai pembawanya. Dua hal ini sangat penting karena letak Mekah yang strategis dan nasab dan pribadi beliau yang terpandang memungkinkan Islam lebih cepat diterima dan tersebar ke segenap penjuru, terutama masyarakat kelas bawah yang ingin bebas dari belenggu-belenggu sosial yang cenderung diskriminatif terhadap mereka. []

Footnote

Ahmad al-‘Usayrī, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), 58.
Ibid., 62-63.
Abū Muḥammad ‘Abd al-Mālik bin Hishām, al-Ṣīrah al-Nabawīyah (Kairo: Maṭba’ah al-Anwār al-Muḥammadīyah, t.t.), 16.
Ibid., 23.
Ibid., 62.
Muḥammad Ḥusayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996), 9.
Ibid., 14.
Ibid., 43.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), 44-45. Untuk mengetahui lebih detil sejarah kerajaan-kerajaan Arab pra-Islam tersebut baca: Ahmad al-‘Usayrī, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, 64-69.
Ahmad al-‘Usayrī, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, 65.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 45.
Muḥammad Ḥusayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, 19.
M.M. al-A’ẓamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi (Jakarta: Gema Insani, 2005), 23.
Muḥammad Ḥusayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, 10-11.
Muḥammad ‘Abid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), 38-46.
Ibid., 58.
Ibid., 41-42.
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 15-16.
Ibid., 17.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 38. Lihat juga: Wā`il Ḥallāq, Nasha`ah al-Fiqh al-Islāmī wa Taṭawwuruhu (Ṣana`i’: Dār al-Madār al-Islāmī, 2007), 32.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 41.
Lihat catatan kaki dalam: Muḥammad ‘Abid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm, 62.
Abd al-Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 40.
Wā`il Ḥallāq, Nasha`ah al-Fiqh al-Islāmī wa Taṭawwuruhu (Ṣana`i’: Dār al-Madār al-Islāmī, 2007), 32.
Ibid., 44.
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, 5-12.
Bibliografi
Abdul Karim, Khalil. Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan. Yogyakarta: LKiS, 2003.
‘Abd al-Mālik bin Hishām, Abū Muḥammad. al-Ṣīrah al-Nabawīyah. Kairo: Maṭba’ah al-Anwār al-Muḥammadīyah, t.t.
Al-A’ẓamī, Muḥammad Musṭafa. Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi. Jakarta: Gema Insani, 2005.
Al-Dawrī, ‘Abd al-‘Azīz. Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007.
Al-Jābirī, Muḥammad ‘Abid. Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm. vol.1. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007.
Al-‘Usayrī, Ahmad. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Haykal, Muḥammad Ḥusayn. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.
Ḥallāq, Wā`il. Nasha`ah al-Fiqh al-Islāmī wa Taṭawwuruhu. Ṣana`i’: Dār al-Madār al-Islāmī, 2007.

Review Novel Hati Suhita

KETEGUHAN HATI WANITA REVIEW NOVEL HATI SUHITA Judul: Hati Suhita Penulis: Khilma Anis Editor: Akhiriyati Sundari Penyunting:...