KAJIAN
SOSIO-HISTORIS
TERHADAP
MASYARAKAT ARAB KLASIK[1]
I.
PENDAHULUAN
Kondisi
masyarakat Arab pra Islam seringkali disebut masyarakat Arab Jahiliyah
memlikiki karakter masyarakat yang terbuka dan heterogen-pluralistik. Dimana
kota Mekkah ketika itu merupakan kota yang multifungsi; sebagai kota bisnis, budaya[2],
disamping itu Makkah juga sebagai pusat transaksi keuangan baik untuk internal
suku-suku di sekitar Makkah maupun Negara luar secara transparan.[3]
Kondisi yang demikian tercatat dalam catatatn sejarah Arab kuno maupun di al
Qur’an, sebagaimana di informasikan pada al Qur’an Surat Quraisy, 106 : 1-2
berikut :
لإيلاف قريش(1)
إيلافهم رحلة الشتاء والصيف(2)
إيلافهم رحلة الشتاء والصيف(2)
1.
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
2. (yaitu) kebiasaan mereka
bepergian pada musim dingin dan musim panas[1602].
[1602] orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk
berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim
dingin. dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari
penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. Ini adalah suatu nikmat
yang amat besar dari Tuhan mereka. oleh Karena itu sewajarnyalah mereka
menyembah Allah yang Telah memberikan nikmat itu kepada mereka.
Masyarakat
Arab pra Islam terbagi menjadi beberapa lembaga suku, yang setiap lembaga suku
dikepalai oleh seorang kepala suku dengan sebutan Syaikh al Qabilah atau
Sayyid.[4]
Dengan adanya system kesukuan ini kemudian muncul dua deriviasi struktur
social; yaitu stratifikasi social yang memiliki derajat suku yang tinggi
terdiri dari kaum bangsawan ataupun saudagar kaya, dan system perbudakan atau
hamba sahaya yang memiliki derajat suku yang rendah dan terpinggirkan.
Berdasarkan
sedikit uraian di atas, permasalahan yang diangkat dari review yang penulis
lakukan adalah bagaimana kondisi kehidupan masyarakat Arab pra Islam
(Jahiliyah) terkait dengan system kesukuan yang ada?. Kemudian permasalahan
selanjutnya adalah adakah sistem kesukuan Arab pra Islam memiliki korelasi
terkait dengan kondisi social-ekonomi dan social-budaya di dalam masyarakat
secara menyeluruh?.
II.
PEMBAHASAN
A.
Gambaran
Masyarakat Arab Pra Islam (Jahiliyah)
Masyarakat
Arab pra Islam secara umum terbagi menjadi dua kelompok, yaitu; kelompok Arab
al-Baidah dan kelompok Arab al-Baqiyah.[5]
Arab al-Baidah merupakan komunitas masyarakat Arab yang mengalami kepunahan,
fenomena sejarahnya dapat diketahui melalui informasi yang tidak lengkap dari
prasasti, kitab suci dan termasuk al-Qur’an. Sedangkan Arab al-Baqiyah
merupakan komunitas Arab yang tetap eksis dan terpelihara sejarahnya di bangsa
Arab. Dalam dinamika selanjutnya kelompok Arab al-Baqiyah terpecah menjadi dua
klan/bagian yaitu klan Qohton bertempat di wilayah Arab Selatan (daerah Yaman)
dan Klan Adnan yang menempati daerah Arab bagian utara (daerah Hijaz) yang
kemudian dikenal dengan sebutan klan Arab al-Muta’arrobah atau al-Musta’rabah.[6]
Klan
Qohton pada awalnya merupakan kelompok yang maju karena sudah memiliki
peradaban yang tinggi, namun kemudian mengalami badai krisis ekonomi dan
politik yang mengakibatkan imigrasi besar-besaran ke Arab bagian Utara yaitu
Klan Adnan. Fenomena imigrasi yang dilakukan klan Qohton ke klan Adnan ini yang
mengakibatkan kebangkitan dan perkembangan peradaban di Arab Utara.
Arab
Utara mengalami kemajuan disebabkan oleh dua factor, yaitu factor eksternal yaitu migrasi yang dilakukan oleh
Arab Selatan. Kedua, kota Makkah berfungsi secara maksimal, sebagai pusat kota,
pusat religious, ekonomi, politik dan budaya.[7]
B.
Batasan
Masa dan Letak Geografis
Masyarakat
Arab Jahiliyah hidup di jazirah Arab sekitar 150 tahun sebelum kedatangan Islam
atau sekitar pertengahan abad ke 4-5 M. masyarakat Jahiliyah terbagi menjadi
dua kelas masa, yaitu al-Jahiliyah al-Ula yang berarti komunitas
masyarakat Arab Jahiliyah fase pertama dan al Jahiliyah al-Tsaniyah yang
berarti masyarakat Arab jahiliyah pada fase kedua. Di dalam review ini
masyarakat Arab Jahiliyah yang dibahas adalah masyarakat Arab Jahiliyah pada
fase kedua.[8]
Dari
sisi geografis Jazirah Arab termasuk kawasan Asia Barat, di ujung Barat Daya
Asia. Sebelah utara berbatasan dengan Syiria, sebelah selatan berbatasan dengan
Samudra Hindia, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Persia dan Laut Oman
sedangkan di bagian barat berbatasan dengan Laut Merah.[9]
Wilayah jazirah Arab merupakan wilayah yang tandus, gersang dan ganas.
C.
Masyarakat
Arab Hadhor (berperadaban) dan Masyarakat Arab Badwi (primitif)
Ada
dua tipologi masyarakat Arab Selatan (Qohton) maupun Utara (Adnan), yaitu masyarakat
pra Islam berperadaban (al Arab al-Mutahadirah) dan yang belum
berperadaban (al Arab al-Badwah). Kelompok pertama merupakan kelompok yang maden
(menetap), berkomunikasi dengan masyarakat non Arab, masyarakat kota makkah dan
secara ekonomi berdagang, dilakukan oleh kabilah Quraisy. Untuk kelompok kedua
merupakan kelompok yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah tempat),
berada di daerah pedalaman, terisolir dan berprofesi sebagai peternak,
dilakukan oleh Arab Badui.[10]
D.
Sistem
Kesukuan Masyarakat Arab Pra Islam
Masyarakat
Arab Pra Islam, baik yang sudah berperadaban (hadhar) maupun masyarakat
Arab Badui mereka sama-sama memiliki kekuatan kesukuan, kesukuan merupakan
symbol identitas kelompoknya yang terbangun dari kesamaan dinasti, wilayah dan
status social, dan kesukuan telah berlangsung secara turun temurun semenjak
zaman Nabi Nuh as. Dalam suku diatur menjadi beberapa tingkatan mulai dari yang
terkecil sampai yang terbesar yaitu; al-butun (keluarga kecil),
meningkat di atasnya adalah al-Asyirah (keluarga) dan tingkatan yang
paling besar Qobilah (suku).[11]
Dalam
persoalan social dengan pihak-pihak eksternal sistem kesukuan bersifat inklusif
hal ini Nampak ketika mereka melakukan hubungan bisnis dengan pihak di luar
suku. Akan tetapi terkait hubungannya dengan antar suku lebih eksklusif,
ataupun ketika terjalin hubungan yang inklusif seringkali ditandai dengan
peristiwa yang konfrontatif, begitu banyak perselisihan dan permusuhan.[12]
E.
Beberapa
Fenomena Kehidupan Masyarakat Arab pra Islam (Jahiliyah)
1.
Agama dan sistem Kepercayaan Masyarakat Arab pra Islam (Jahiliyah)
Kondisi
keagamaan dan kepercayaan masuarakat Arab Jahiliyah sangat heterogen dan
plural, diantara agama dan kepercayaan yang mereka anut adalah sistem
kepercayaan paganisme, agama Nasrani Yahudi, dan Majusi. Disamping itu ada juga
komunitas kecil yang tidak menganut agama dan kepercayaan tersebut sehingga
mereka mendambakan adanya ajaran agama yang baru (kelompok hanafiyah).[13]
2.
Kehidupan Sosial Politik dan Masalah Ashobiyah
Dalam
kehidupan social politik ada dua hal yang terbilang urgen, pertama; adanya
sistem tribalisme (kesukuan) merupakan sistem social politik yang
primordial, eksklusif dan faternalistik, dibangun dengan dasar kesamaan darah.
Kedua; adalah masalah ashobiyah yaitu solidaritas dan fanatisme
kesukuan.
3.
Sistem Kesukuan dan Ashobiyah dalam Karya Puisi
Ketika
terjadi konflik antar suku seringkali dilakukan retorika dan media puisi
bertemakan Ashobiyah untuk memuji sukunya dan menjelekkan suku yang
lain. Puisi juga memiliki makna yang kutural, karena ternyata dengan puisi itu
sangat disenangi dan menjadi idola bagi setiap suku yang ada di jazirah Arab
ketika itu.
4.
Kehidupan Ekonomi dan Masalah Kesenjangan Sosial
Masarakat
Arab Jahiliyah dalam melakukan kegiatan ekonomi pada dasarnya adalah dengan
melakukan empat sumber mata pencaharian pook seperti; perdaganngan, pertanian,
industry dan peternakan. Aktifitas perdagangan lebih banyak dilakukan oleh suku
Quraisy, pertanian dilakukan oleh suku Yahudi yang ada di wilayah Madinah,
industry dan perdagangan digeluti oleh komunitas Yahudi. Untuk kegiatan
beternak merupakan sumber ekonomi yang secara mayoritas dilakukan oleh suku
Arab Badui (primitif).
Sementara
ada komunitas Arab Jahiliyah yang sangat memprihatinkan, yaitu komunitas sho’alik
(komunitas yang terpinggirkan), kelompok ini tidak memiliki pekerjaan dan
penghasilan yang jelas sehingga mereka hidup dalam garis kemiskinan dan
penderitaan yang hidup di pedalaman dan termasuk suku yang paling rendah.
Dengan demikian komunitas sho’alik memberikan fenomena yang menjadikan adanya
kesenjangan social antara suku-suku elite dari kelompok borjuis pedagang
seperti suku Quraisy dengan suku-suku badui yang termarginalkan dari kelas Khula’a
(komunitas yang terusir dari institusi kesukuan).[14]
III.
KESIMPULAN
Masyarakat
Arab pra Islam merupakan masyarakat suku yang heterogen dan plural. Kesukuan
merupakan bagian yang inhern dalam kehidupan social secara keseluruhan.
Adanya
konsep ashobiyah (solidaritas dan fanatisme kesukuan) merupakan falsafah
kehidupan bagi setiap suku dalam rangka mempertahankan eksistensi dan citra
intern yang dimiliki oleh setiap suku.
Dalam
pola kehidupan ekonomi, kesukuan ternyata dapat memfragmentasikan pola
kesenjangan social yang tajam antara kelompok struktur ekonomi elite dari
kalangan borjuis (suku pedagang yang bermodal) dengan kelompok social suku
marginal dari kelompok sho’alik (suku rendahan
yang telah terisolir dari kelompok sukunya. Adanya kesenjangan social
yang begitu tajam mengakibatkan ketidakadilan social yang pada akhirnya dapat
menjadi pemicu awal terjadinya
anarkhisme social yang dilakukan oleh kelompok sho’alik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hatta,
DR.,MA. Tafsir Qur’an Per Kata Dilengkapi Azbabun Nuzul dan Terjemah.
Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.
Ahmad Amin, Fajrul
Islam (terjemah Zaeni Dahlan), (Jakarta: Bulan Bintang), 1968.
Husain Athwan, Muqaddimah
al-Qashidah al-Aroriyah fi al-Syi’ri al-Jahili, (Mesir: Dar al-Ma’arif),
t.t.
Fazlur Rahman, Tema
Pokok al Qur’an, (penerjemah) Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka), 1996.
Jurzi Zaidan, Tarikh
Adab al-Lughah al-Arobiyyah, (al-Qohiroh: Dar al-Hilal), t.t.
M. Siba’i
Bayyumi, Tarikh al-Adab al-Arbori fi al-Astiri al Jahili, (Mesir :
Maktabah al-Nahdlah), 1948.
Montgomeri
Watt, Muhammad at Macca, (Karachi: Oxford University Press), 1982.
Muhammad
Sarhan, Fiqh Lughah, (Riyadh: al-Idarah al- Imamah), t.t.
Syauqi Dhoif, Tarikh
al-Adab al-Arabi fi al-Ashri al-Jahili, (Mesir: Dar al-Ma’arif), t.t.
Yusuf Kholif, al
Syu’aro al Sho’alik fi al Ashri al Jahili, (Mesir: Dar al Ma’arif), t.t.
[1] Makalah,
disusun dan diajukan memenuhi tugas mata kuliah Studi Peradaban Islam
(Klasik-Kontemporer) Universitas Sains al Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo, oleh
Dudiyono.
[2]
Syauqi Dhoif, Tarikh al-Adab al-Arabi fi al-Ashri al-Jahili, (Mesir: Dar
al-Ma’arif), t.t, hlm. 38.
[3]
Montgomeri Watt, Muhammad at Macca, (Karachi: Oxford University Press),
1982, hlm. 2-3.
[4] Husain
Athwan, Muqaddimah al-Qashidah al-Aroriyah fi al-Syi’ri al-Jahili,
(Mesir: Dar al-Ma’arif), t.t., hlm. 23.
[5] M.
Siba’i Bayyumi, Tarikh al-Adab al-Arbori fi al-Astiri al Jahili, (Mesir :
Maktabah al-Nahdlah), 1948, hlm. 14.
[6]
Ibid., hlm. 22-25
[7]
Muhammad Sarhan, Fiqh Lughah, (Riyadh: al-Idarah al- Imamah), t.t., hlm.
36-36
[8]
Jurzi Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-Arobiyyah, (al-Qohiroh: Dar
al-Hilal), t.t., hlm. 7-10.
[9]
Ahmad Amin, Fajrul Islam (terjemah Zaeni Dahlan), (Jakarta: Bulan
Bintang), 1968, hlm. 15.
[10]Husain
Athwan, Muqaddimah al-Qashidah al-Aroriyah fi al-Syi’ri al-Jahili,
(Mesir: Dar al-Ma’arif), t.t., hlm.45.
[11] Ibid.,
hlm. 23.
[12] Ibid.,
hlm. 92.
[13]
Fazlur Rahman, Tema Pokok al Qur’an, (penerjemah) Anas Mahyuddin, (Bandung:
Pustaka), 1996, hlm. 198.