Pendahuluan
Mengkaji tentang Islam akan lebih sempurna bila kita mengkaji Arab pra-Islam terlebih dahulu, karena Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah mempunyai adat istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi ia muncul di kota terpenting bagi mereka yang menjadi jalur penting bagi lalu lintas perdagangan mereka kala itu, dan dibawa oleh Muhammad (570-632 M) yang merupakan salah satu keturunan suku terhormat dan memiliki kedudukan terpandang di antara mereka secara turun-temurun dalam beberapa generasi, Quraysh. Quraysh adalah suku penguasa di atas suku-suku lainnya di Mekah, sebuah kota yang di dalamnya terdapat bangunan suci tua yang memiliki daya tarik yang melebihi tempat-tempat pemujaan lainnya di daerah Arab.
Sebagian penulis sejarah Islam biasanya membahas Arab Pra-Islam sebelum menulis sejarah Islam pada masa Muhammad (570-632 M) dan sesudahnya. Mereka menggambarkan runtutan sejarah yang saling terkait satu sama lain yang dapat memberikan informasi lebih komprehensif tentang Arab dan Islam tentang geografi, sosial, budaya, agama, ekonomi, dan politik Arab pra-Islam dan relasi serta pengaruhnya terhadap watak orang Arab dan doktrin Islam. Kajian semacam ini memerlukan waktu dan referensi yang tidak sedikit, bahkan hasilnya bisa menjadi sebuah buku tersendiri yang berjilid-jilid seperti al-Mufaṣṣal fī Tārīkh al-‘Arab qabla al-Islām karya Jawād ‘Alī. Oleh karena itu, kita hanya akan mencukupkan diri pada pembahasan data-data sejarah yang lebih familiar dan gampang diakses mengenai hal itu.
Untuk melacak asal-usul orang Arab, mereka merunut jauh ke belakang yaitu pada sosok Ibrahim dan keturunannya yang merupakan keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Secara geneaologis, para sejarahwan membagi orang Arab menjadi Arab Baydah dan Arab Bāqiyah. Arab Baydah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah ‘Ad, Thamud, Ṭasm, Jadis, Aṣhab al-Ras, dan Madyan. Arab Bāqiyah adalah orang Arab yang hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān dan Bani ‘Adnān. Bani Qaḥṭān adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan tempat mereka di Jazirah Arab. Di antara mereka adalah raja-raja Yaman, Munadharah, Ghassan, dan raja-raja Kindah. Di antara mereka juga ada Azad yang darinya muncul Aus dan Khazraj. Sedangkan Bani ‘Adnān, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan tempat asli mereka adalah Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim. Salah satu anak Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān. Muhammad adalah keturunan ‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah keturunan Isma’il. Menurut Ibnu Hishām (w. 218 H), semua orang Arab adalah keturunan Isma’il dan Qaḥṭān. Tetapi menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān adalah keturunan Isma’il dan Isma’il adalah bapak semua orang Arab.
Secara geografis, Jazirah Arab dibagi menjadi dua bagian. Pertama, jantung Arab. Ia adalah wilayah yang berada di pedalaman. Tempat paling utama adalah Najd. Kedua, sekitar Jazirah. Penduduknya adalah orang-orang kota. Wilayah yang paling penting adalah Yaman di bagian selatan, Ghassan di sebelah utara, Ihsa` dan Bahrain di sebelah timur, dan Hijaz di sebelah Barat. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya apa yang dimaksud dengan Arab di sini bukanlah daerah di mana penduduknya berbahasa Arab seperti Mesir, Sudan, Maroko, dan lain-lain tetapi hanya mencakup dua bagian daerah di atas. Sebelum Islam, Jazirah Arab dikelilingi oleh dua kekuatan besar dan berpengaruh yang selalu terlibat peperangan dan berebut pengaruh ke daerah sekitarnya, yaitu imperium Bizantium pewaris Rumawi sebagai representasi agama Nasrani dan kekaisaran Persia sebagai representasi agama Majusi.
Aspek Sosial-Budaya Arab Pra-Islam
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.
Sebagai lalu lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban kecil. Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas. Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah. Memang persoalan apakah orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suautu mukjizat ada kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.
Agama Arab Pra-Islam
Paganisme, Yahudi, dan Kristen adalah agama orang Arab pra-Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Mereka bahwa berhala-berhala itu dapat mendekatkan mereka pada Tuhan sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama pagan sudah ada sejak masa sebelum Ibrahim. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: ṣanam, wathan, nuṣub, dan ḥubal. Ṣanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nuṣub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Ḥubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.
Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuh dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”.
Adapun Kristen di Jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang ada adalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen yang meruncing. Menurut Muḥammad ‘Ᾱbid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Naṣārā” bukan “al-Masīḥīyah” dan “al-Masīḥī” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Naṣārā” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Ḥawārīyūn”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhhab-madhhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan Jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru Jazirah Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraysh yang mana mereka berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, da Ḥabashah. Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes.
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Ḥanīfīyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhalam, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Ḥanīfīyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Ṭaif, dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin Abī al-Ṣalt, Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin Jaḥsh, Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd al-Muṭallib, ‘As’ad Abū Karb al-Ḥamīrī, Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin al-Ḥuwayrith.
Tradisi-tradisi warisan mereka yang kemudian diadopsi Islam adalah: penolakan untuk menyembah berhala, keengganan untuk berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala, pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman riba, pengharaman meminum arak dan penerapan vonis hukuman bagi peminumnya, pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi pelakunya, berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di bulan ramaḍan dengan memperbanyak kebajikan dan menjamu orang miskin sepanjang bulan ramaḍan, pemotongan tangan pelaku pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan daging babi, dan larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan mereka.
Ekonomi dan Politik Arab Pra-Islam
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur dan bahwa ia terletak di daerah strategis sebagai lalu lintas perdagangan. Ia terletak di tengah-tengah dunia dan jalur-jalur perdagangan dunia, terutama jalur-jalur yang menghubungkan Timur Jauh dan India dengan Timur Tengah melalui jalur darat yaitu dengan jalur melalui Asia Tengah ke Iran, Irak lalu ke laut tengah, sedangkan melalui jalur laut yaitu dengan jalur Melayu dan sekitar India ke teluk Arab atau sekitar Jazirah ke laut merah atau Yaman yang berakhir di Syam atau Mesir. Oleh karena itu, perdagangan merupakan andalan bagi kehidupan perekonomian bagi mayoritas negara-negara di daerah-daerah ini.
Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan dan menggagalkan tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara. Kondisi semacam ini sangat mempengaruhi corak perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga.
Adalah Hāshim (lahir 464 M), kakek buyut Nabi, yang pertamakali membudayakan bepergian bagi suku Quraysh pada musim dingin ke Yaman dan ke Ḥabashah ke Negus dan pada musim panas ke Syam dan ke Gaza dan barangkali hingga sampai di Ankara lalu menemui kaisar. Ini merupakan perdangan lintas negara yang biasa mereka lakukan. Mereka juga bisa menjalin hubungan perdagangan dengan dua kekuatan politik yang saling bertentangan, yaitu Bizantium dan Persia tanpa memihak ke salah satu di antara keduanya. Oleh karena itu, peradaban mereka dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan dalam arti bahwa mereka berinteraksi dengan masyarakat-masyarakat seberang dan semakin menjauh dari pola badui.
Jauh berbeda dengan Yaman, selain letak geografisnya yang strategis untuk perdagangan, ia juga merupakan daerah subur. Dengan dua kelebihan yang ada, mereka bisa mengandalkan perdangangan dan pertanian sebagai sumber ekonomi mereka. Mereka mengirim kulit, sutera, emas, perak, batu mulia, dan lain-lain Mesir kemudian ke Yunani, Rumania, dan imperium Bizantium. Kerajaan Ma`īn, Saba`, dan Ḥimyar yang ada di Yaman mencapai stabilitas politik dan ekonomi, bahkan menciptakan kehidupan yang beradab dengan tersebarnya pasar-pasar dan bangunan-bangunan menakjubkan yang bersandar pada pertanian dan perdangangan yang sangat maju. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan mereka tentang ekonomi dan politik lebih maju daripada daerah-daerah lain di Jazirah Arab, sehingga merengkuh lebih awal peradaban yang tinggi.
Penutup
Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa cara hidup orang Arab pra-Islam terbagi menjadi dua. Pertama, masyarakat madani yang bertani dan berdagang. Kedua, bersatu dalam kebiasaan-kebiasaan kabilah-kabilah pengembara yang banyak bertumpu pada peraturan-peraturan yang telah ada. Corak yang pertama dianut masyarakat perkotaan atau mereka yang telah mencapai peradaban lebih tinggi terutama Yaman, sementara corak kedua dianut oleh masyarakat badui yang diwakili oleh daerah Hijaz dan sekitarnya. Sebagian orang terlalu berlebihan dalam menyikapi tradisi-tradisi Arab sebelum Islam. Seakan-akan semua tradisi mereka jelek. Padahal sebagian tradisi mereka diadapsi oleh Islam dan tetap dipertahankan hingga sekarang, seperti pengagungan Ka’bah dan tanah suci, haji dan umrah, sakralisasi bulan ramaḍan, mengagungkan bulan-bulan ḥaram, penghormatan terhadap Ibrahim dan Isma’il, pertemuan umum hari jum’at. Islam tidak arogan dalam menyikapi tradisi-tradisi yang sudah ada, tetapi ia mengadopsi sebagian tradisi tersebut dan mengadapsi sebagian yang lain sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Allah memilih Mekah untuk menurukan Islam dan memilih Muhammad sebagai pembawanya. Dua hal ini sangat penting karena letak Mekah yang strategis dan nasab dan pribadi beliau yang terpandang memungkinkan Islam lebih cepat diterima dan tersebar ke segenap penjuru, terutama masyarakat kelas bawah yang ingin bebas dari belenggu-belenggu sosial yang cenderung diskriminatif terhadap mereka. []
Footnote
Ahmad al-‘Usayrī, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), 58.
Ibid., 62-63.
Abū Muḥammad ‘Abd al-Mālik bin Hishām, al-Ṣīrah al-Nabawīyah (Kairo: Maṭba’ah al-Anwār al-Muḥammadīyah, t.t.), 16.
Ibid., 23.
Ibid., 62.
Muḥammad Ḥusayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996), 9.
Ibid., 14.
Ibid., 43.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), 44-45. Untuk mengetahui lebih detil sejarah kerajaan-kerajaan Arab pra-Islam tersebut baca: Ahmad al-‘Usayrī, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, 64-69.
Ahmad al-‘Usayrī, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, 65.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 45.
Muḥammad Ḥusayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, 19.
M.M. al-A’ẓamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi (Jakarta: Gema Insani, 2005), 23.
Muḥammad Ḥusayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, 10-11.
Muḥammad ‘Abid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), 38-46.
Ibid., 58.
Ibid., 41-42.
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 15-16.
Ibid., 17.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 38. Lihat juga: Wā`il Ḥallāq, Nasha`ah al-Fiqh al-Islāmī wa Taṭawwuruhu (Ṣana`i’: Dār al-Madār al-Islāmī, 2007), 32.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 41.
Lihat catatan kaki dalam: Muḥammad ‘Abid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm, 62.
Abd al-Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 40.
Wā`il Ḥallāq, Nasha`ah al-Fiqh al-Islāmī wa Taṭawwuruhu (Ṣana`i’: Dār al-Madār al-Islāmī, 2007), 32.
Ibid., 44.
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, 5-12.
Bibliografi
Abdul Karim, Khalil. Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan. Yogyakarta: LKiS, 2003.
‘Abd al-Mālik bin Hishām, Abū Muḥammad. al-Ṣīrah al-Nabawīyah. Kairo: Maṭba’ah al-Anwār al-Muḥammadīyah, t.t.
Al-A’ẓamī, Muḥammad Musṭafa. Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi. Jakarta: Gema Insani, 2005.
Al-Dawrī, ‘Abd al-‘Azīz. Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007.
Al-Jābirī, Muḥammad ‘Abid. Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm. vol.1. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007.
Al-‘Usayrī, Ahmad. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Haykal, Muḥammad Ḥusayn. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.
Ḥallāq, Wā`il. Nasha`ah al-Fiqh al-Islāmī wa Taṭawwuruhu. Ṣana`i’: Dār al-Madār al-Islāmī, 2007.
Mengkaji tentang Islam akan lebih sempurna bila kita mengkaji Arab pra-Islam terlebih dahulu, karena Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah mempunyai adat istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi ia muncul di kota terpenting bagi mereka yang menjadi jalur penting bagi lalu lintas perdagangan mereka kala itu, dan dibawa oleh Muhammad (570-632 M) yang merupakan salah satu keturunan suku terhormat dan memiliki kedudukan terpandang di antara mereka secara turun-temurun dalam beberapa generasi, Quraysh. Quraysh adalah suku penguasa di atas suku-suku lainnya di Mekah, sebuah kota yang di dalamnya terdapat bangunan suci tua yang memiliki daya tarik yang melebihi tempat-tempat pemujaan lainnya di daerah Arab.
Sebagian penulis sejarah Islam biasanya membahas Arab Pra-Islam sebelum menulis sejarah Islam pada masa Muhammad (570-632 M) dan sesudahnya. Mereka menggambarkan runtutan sejarah yang saling terkait satu sama lain yang dapat memberikan informasi lebih komprehensif tentang Arab dan Islam tentang geografi, sosial, budaya, agama, ekonomi, dan politik Arab pra-Islam dan relasi serta pengaruhnya terhadap watak orang Arab dan doktrin Islam. Kajian semacam ini memerlukan waktu dan referensi yang tidak sedikit, bahkan hasilnya bisa menjadi sebuah buku tersendiri yang berjilid-jilid seperti al-Mufaṣṣal fī Tārīkh al-‘Arab qabla al-Islām karya Jawād ‘Alī. Oleh karena itu, kita hanya akan mencukupkan diri pada pembahasan data-data sejarah yang lebih familiar dan gampang diakses mengenai hal itu.
Untuk melacak asal-usul orang Arab, mereka merunut jauh ke belakang yaitu pada sosok Ibrahim dan keturunannya yang merupakan keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Secara geneaologis, para sejarahwan membagi orang Arab menjadi Arab Baydah dan Arab Bāqiyah. Arab Baydah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah ‘Ad, Thamud, Ṭasm, Jadis, Aṣhab al-Ras, dan Madyan. Arab Bāqiyah adalah orang Arab yang hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān dan Bani ‘Adnān. Bani Qaḥṭān adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan tempat mereka di Jazirah Arab. Di antara mereka adalah raja-raja Yaman, Munadharah, Ghassan, dan raja-raja Kindah. Di antara mereka juga ada Azad yang darinya muncul Aus dan Khazraj. Sedangkan Bani ‘Adnān, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan tempat asli mereka adalah Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim. Salah satu anak Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān. Muhammad adalah keturunan ‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah keturunan Isma’il. Menurut Ibnu Hishām (w. 218 H), semua orang Arab adalah keturunan Isma’il dan Qaḥṭān. Tetapi menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān adalah keturunan Isma’il dan Isma’il adalah bapak semua orang Arab.
Secara geografis, Jazirah Arab dibagi menjadi dua bagian. Pertama, jantung Arab. Ia adalah wilayah yang berada di pedalaman. Tempat paling utama adalah Najd. Kedua, sekitar Jazirah. Penduduknya adalah orang-orang kota. Wilayah yang paling penting adalah Yaman di bagian selatan, Ghassan di sebelah utara, Ihsa` dan Bahrain di sebelah timur, dan Hijaz di sebelah Barat. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya apa yang dimaksud dengan Arab di sini bukanlah daerah di mana penduduknya berbahasa Arab seperti Mesir, Sudan, Maroko, dan lain-lain tetapi hanya mencakup dua bagian daerah di atas. Sebelum Islam, Jazirah Arab dikelilingi oleh dua kekuatan besar dan berpengaruh yang selalu terlibat peperangan dan berebut pengaruh ke daerah sekitarnya, yaitu imperium Bizantium pewaris Rumawi sebagai representasi agama Nasrani dan kekaisaran Persia sebagai representasi agama Majusi.
Aspek Sosial-Budaya Arab Pra-Islam
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun [Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.
Sebagai lalu lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban kecil. Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas. Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah. Memang persoalan apakah orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suautu mukjizat ada kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.
Agama Arab Pra-Islam
Paganisme, Yahudi, dan Kristen adalah agama orang Arab pra-Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Mereka bahwa berhala-berhala itu dapat mendekatkan mereka pada Tuhan sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama pagan sudah ada sejak masa sebelum Ibrahim. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: ṣanam, wathan, nuṣub, dan ḥubal. Ṣanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nuṣub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Ḥubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.
Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuh dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat parit”.
Adapun Kristen di Jazirah Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang ada adalah pertikaian di antara sekte-sekte Kristen yang meruncing. Menurut Muḥammad ‘Ᾱbid al-Jābirī, al-Quran menggunakan istilah “Naṣārā” bukan “al-Masīḥīyah” dan “al-Masīḥī” bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik, Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Naṣārā” adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah “Ḥawārīyūn”. Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani yang waktu itu madhhab-madhhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru, termasuk Jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian selatan Jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru Jazirah Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraysh yang mana mereka berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, da Ḥabashah. Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi adalah sekte Ebionestes.
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah Ḥanīfīyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhalam, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah Ḥanīfīyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, Ṭaif, dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin Abī al-Ṣalt, Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin Jaḥsh, Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd al-Muṭallib, ‘As’ad Abū Karb al-Ḥamīrī, Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin al-Ḥuwayrith.
Tradisi-tradisi warisan mereka yang kemudian diadopsi Islam adalah: penolakan untuk menyembah berhala, keengganan untuk berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala, pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman riba, pengharaman meminum arak dan penerapan vonis hukuman bagi peminumnya, pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi pelakunya, berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di bulan ramaḍan dengan memperbanyak kebajikan dan menjamu orang miskin sepanjang bulan ramaḍan, pemotongan tangan pelaku pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan daging babi, dan larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan mereka.
Ekonomi dan Politik Arab Pra-Islam
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur dan bahwa ia terletak di daerah strategis sebagai lalu lintas perdagangan. Ia terletak di tengah-tengah dunia dan jalur-jalur perdagangan dunia, terutama jalur-jalur yang menghubungkan Timur Jauh dan India dengan Timur Tengah melalui jalur darat yaitu dengan jalur melalui Asia Tengah ke Iran, Irak lalu ke laut tengah, sedangkan melalui jalur laut yaitu dengan jalur Melayu dan sekitar India ke teluk Arab atau sekitar Jazirah ke laut merah atau Yaman yang berakhir di Syam atau Mesir. Oleh karena itu, perdagangan merupakan andalan bagi kehidupan perekonomian bagi mayoritas negara-negara di daerah-daerah ini.
Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan dan menggagalkan tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara. Kondisi semacam ini sangat mempengaruhi corak perekonomian orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga.
Adalah Hāshim (lahir 464 M), kakek buyut Nabi, yang pertamakali membudayakan bepergian bagi suku Quraysh pada musim dingin ke Yaman dan ke Ḥabashah ke Negus dan pada musim panas ke Syam dan ke Gaza dan barangkali hingga sampai di Ankara lalu menemui kaisar. Ini merupakan perdangan lintas negara yang biasa mereka lakukan. Mereka juga bisa menjalin hubungan perdagangan dengan dua kekuatan politik yang saling bertentangan, yaitu Bizantium dan Persia tanpa memihak ke salah satu di antara keduanya. Oleh karena itu, peradaban mereka dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan dalam arti bahwa mereka berinteraksi dengan masyarakat-masyarakat seberang dan semakin menjauh dari pola badui.
Jauh berbeda dengan Yaman, selain letak geografisnya yang strategis untuk perdagangan, ia juga merupakan daerah subur. Dengan dua kelebihan yang ada, mereka bisa mengandalkan perdangangan dan pertanian sebagai sumber ekonomi mereka. Mereka mengirim kulit, sutera, emas, perak, batu mulia, dan lain-lain Mesir kemudian ke Yunani, Rumania, dan imperium Bizantium. Kerajaan Ma`īn, Saba`, dan Ḥimyar yang ada di Yaman mencapai stabilitas politik dan ekonomi, bahkan menciptakan kehidupan yang beradab dengan tersebarnya pasar-pasar dan bangunan-bangunan menakjubkan yang bersandar pada pertanian dan perdangangan yang sangat maju. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan mereka tentang ekonomi dan politik lebih maju daripada daerah-daerah lain di Jazirah Arab, sehingga merengkuh lebih awal peradaban yang tinggi.
Penutup
Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa cara hidup orang Arab pra-Islam terbagi menjadi dua. Pertama, masyarakat madani yang bertani dan berdagang. Kedua, bersatu dalam kebiasaan-kebiasaan kabilah-kabilah pengembara yang banyak bertumpu pada peraturan-peraturan yang telah ada. Corak yang pertama dianut masyarakat perkotaan atau mereka yang telah mencapai peradaban lebih tinggi terutama Yaman, sementara corak kedua dianut oleh masyarakat badui yang diwakili oleh daerah Hijaz dan sekitarnya. Sebagian orang terlalu berlebihan dalam menyikapi tradisi-tradisi Arab sebelum Islam. Seakan-akan semua tradisi mereka jelek. Padahal sebagian tradisi mereka diadapsi oleh Islam dan tetap dipertahankan hingga sekarang, seperti pengagungan Ka’bah dan tanah suci, haji dan umrah, sakralisasi bulan ramaḍan, mengagungkan bulan-bulan ḥaram, penghormatan terhadap Ibrahim dan Isma’il, pertemuan umum hari jum’at. Islam tidak arogan dalam menyikapi tradisi-tradisi yang sudah ada, tetapi ia mengadopsi sebagian tradisi tersebut dan mengadapsi sebagian yang lain sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Allah memilih Mekah untuk menurukan Islam dan memilih Muhammad sebagai pembawanya. Dua hal ini sangat penting karena letak Mekah yang strategis dan nasab dan pribadi beliau yang terpandang memungkinkan Islam lebih cepat diterima dan tersebar ke segenap penjuru, terutama masyarakat kelas bawah yang ingin bebas dari belenggu-belenggu sosial yang cenderung diskriminatif terhadap mereka. []
Footnote
Ahmad al-‘Usayrī, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), 58.
Ibid., 62-63.
Abū Muḥammad ‘Abd al-Mālik bin Hishām, al-Ṣīrah al-Nabawīyah (Kairo: Maṭba’ah al-Anwār al-Muḥammadīyah, t.t.), 16.
Ibid., 23.
Ibid., 62.
Muḥammad Ḥusayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996), 9.
Ibid., 14.
Ibid., 43.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), 44-45. Untuk mengetahui lebih detil sejarah kerajaan-kerajaan Arab pra-Islam tersebut baca: Ahmad al-‘Usayrī, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, 64-69.
Ahmad al-‘Usayrī, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, 65.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 45.
Muḥammad Ḥusayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, 19.
M.M. al-A’ẓamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi (Jakarta: Gema Insani, 2005), 23.
Muḥammad Ḥusayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, 10-11.
Muḥammad ‘Abid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm (Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007), 38-46.
Ibid., 58.
Ibid., 41-42.
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 15-16.
Ibid., 17.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 38. Lihat juga: Wā`il Ḥallāq, Nasha`ah al-Fiqh al-Islāmī wa Taṭawwuruhu (Ṣana`i’: Dār al-Madār al-Islāmī, 2007), 32.
Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 41.
Lihat catatan kaki dalam: Muḥammad ‘Abid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm, 62.
Abd al-Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām, 40.
Wā`il Ḥallāq, Nasha`ah al-Fiqh al-Islāmī wa Taṭawwuruhu (Ṣana`i’: Dār al-Madār al-Islāmī, 2007), 32.
Ibid., 44.
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, 5-12.
Bibliografi
Abdul Karim, Khalil. Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan. Yogyakarta: LKiS, 2003.
‘Abd al-Mālik bin Hishām, Abū Muḥammad. al-Ṣīrah al-Nabawīyah. Kairo: Maṭba’ah al-Anwār al-Muḥammadīyah, t.t.
Al-A’ẓamī, Muḥammad Musṭafa. Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi. Jakarta: Gema Insani, 2005.
Al-Dawrī, ‘Abd al-‘Azīz. Muqaddimah fī Tārīkh Ṣadr al-Islām. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007.
Al-Jābirī, Muḥammad ‘Abid. Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm. vol.1. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah, 2007.
Al-‘Usayrī, Ahmad. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Haykal, Muḥammad Ḥusayn. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera AntarNusa, 1996.
Ḥallāq, Wā`il. Nasha`ah al-Fiqh al-Islāmī wa Taṭawwuruhu. Ṣana`i’: Dār al-Madār al-Islāmī, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar