Sabtu, 15 September 2012

Biografi Sastrawan Arab Klasik


Biografi Sastrawan Arab Masa Klasik
Sastra adalah bagian dari entitas budaya yang wujudnya tercermin dalam karya-karya sastra. Semua kebudayaan dan peradaban di dunia mengalami suatu periode perubahan yang mendalam (Peursen, 1990:72). Termasuk juga di dalamnya kebudayaan bangsa Arab. Puisi, prosa dan drama Arab banyak bernuansa Islam karena mayoritas bangsa Arab menganut agama Islam. Dengan demikian, teori sastra berkaitan sekali dengan Islam. Baylu berpendapat bahwa teori sastra Islam tidak dapat dipisahkan dari konsep sastra secara universal. Sedangkan kesusastraan Arab (al-Adab al-Arabiy) merupakan kesusastraan terkaya, karena merupakan kesusastraan yang tercipta sejak masa kanak-kanak manusia sampai runtuhnya kebudayaan Arab. Periode Jahiliyyah, yang menjadi periode lahir dan berkembangnya tokoh-tokoh penyair dalam pembahasan makalah ini dimulai sekitar satu tengah abad sebelum kedatangan Islam sekitar dan berakhir sampai kedatangan Islam.
Pada umumnya, periodesasi kesusastraan dibagi sesuai dengan perubahan politik. Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi sosial atau politik suatu negara dan permasalahan menentukan periode diberikan pada sejarawan politik dan sosial, dan pembagian sejarah yang ditentukan oleh mereka itu biasanya diterima begitu saja tanpa dipertanyakan lagi (Wellek, 1989:354). Penentuan mulainya atau berakhirnya masa setiap periodesasi hanyalah perkiraan, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dan biasanya untuk mengetahui perubahan dalam sastra itu biasanya akibat perubahan sosial dan politik (Jami’at, 1993:18).
Secara konseptual, sastra Islam adalah bagian dari sastra umum. Berbagai karya yang dihasilkan dari sastra Arab Islam turut menghiasi sastra pada umumnya. Tidak heran jika setelah lahir beberapa karya sastra Arab, terdapat karya-karya barat yang terinspirasi dari karya sastra Arab tersebut. Sebut saja Gulliver’s Travels dan Robins Karzou (Robinson Crusoe) yang terinspirasi dari Hikayat Alfu Laylah wa Laylah (Syak’ah, 1974:723). Dalam hal ini, secara universal, sastra pada umumnya telah menggait dua sastra besar yaitu sastra Arab dan sastra Barat. Tentu saja, keberhasilan karya tersebut berasal dari penulisnya. Hal ini yang mendasari penulis membuat biografi beberapa sastrawan Arab Klasik beserta karya-karya terbaik mereka.
Beberapa nama tersebut diantaranya adalah: Umru’ Alqoys, Annabighah Az-Zibyani, Zuhair bin Abu Sulma dan Al-A’sya bin Alqaisi. Dengan demikian, sebagai contoh, karya-karya yang ada pada masa sastra Arab klasik pra Islam khususnya puisi-puisi tentang kepahlawanan Jahiliah menjadi acuan bagi para penulis puisi pada Dinasti Abbasiyah dan dipandang sebagai karya klasik oleh para penyair Abbasiyah. Hanya saja sayangnya dukungan yang diberikan oleh para khalifah, wazir dan gubernur Dinasti Abbasiyah kepada para penyair tidak sekedar melahirkan pujian dan menjadi genre sastra yang paling di senangi tapi telah mendorong para penyair melakukan pelacuran sastra, dan pada akhirnya memunculkan nuansa kemegahan palsu, dan kebohongan kosong yang sering dikatakan sebagai unsur yang melekat dalam puisi Arab.


1. Umru’ Alqoys

Umru’ Alqoys merupakan salah satu penyair terkenal di masa pra Islam. Ia seringkali muncul dalam artikel-artikel dengan julukan yang berbeda yaitu Amrulkais. Ia seorang pangeran yang penuh dengan hawa nafsu percintaan sehingga membuat sang ayah murka, termasuk syeh dan raja suku bangsa dan akhirnya ia diusir dan diasingkan dalam hidupnya hingga menjadi penggembala. Dengan demikian ia melarikan diri dari kehancuran suku bangsanya dan ia meninggalkan identitas kesukuannya serta mengalami masa pengejaran. Akhirnya ia tiba sekitar pada tahun 530 di Romawi, pada masa kepemimpinan Maharaja Justin di Konstantinopel di mana penyair pengembara sangat dihargai. Tradisi mencatat ia tewas dengan penyiksaan demi memenangkan cinta sang putri dari keturunan Maharaja Justin. Mohammed mendeklarasikan bahwa Umru’ Alqoys merupakan salah satu penyair arab termashyur dan pangeran penyair yang pernah dan pertama kali memerosotkan irama liar individual dan menegakkan penyanyi-penyanyi padang pasir lebih awal.
Pendapat mengenai kematian Umru’ Alqoys memiliki banyak versi. Pendapat yang pertama sama seperti yang telah disebutkan bahwa Umru’ meninggal karena dibunuh (namun bukan penyiksaan seperti yang telah dikatakan sebelumnya) tapi diracun. Hal ini diceritakan lebih detail yaitu karena ia dikabarkan mencintai anak gadis Kaisar Romawi yang bernama Unaizah. Karena kecintaannya itu ia sering menyanjung sang putri dengan puisinya. Hal itu membuat kaisar cemburu dan menyusun rencana untuk membunuh Umru’ dengan cara memberikan baju yang sudah dilumuri racun. Ketika mengenakan baju tersebut, ia menjadi sakit dan tidak lama kemudian meninggal dunia di Ankara Turki tahun 545 M. Sementara itu, pendapat yang lainnya mengatakan bahwa Umru’ tidak sampai ke Romawi karena meninggal di dalam pengejarannya dan ada juga yang mengatakan bahwa ia menderita sakit saat hendak meminta tolong pada Kaisar Romawi agar menyelamatkannya dari kejaran Bani Asad.
Karya-karya yang dilahirkan oleh Umru’ merupakan syair yang memiliki daya khayal tinggi. Maka dari itu, Umru’ terkenal dengan sebutan Al-Malik Ad-Dakhil (raja dari segala raja penyair) di mana hal ini menjelaskan kualitas syairnya yang begitu tinggi, bernas dan padat. Salah satu contoh puisi yang dibuat oleh Umru’ adalah sebagai berikut:
“Di kala gulita malam seperti badai lautan tengah meliputiku dengan berbagai macam keresahan untuk mengujiku(kesabaranku). Di kala malam itu tengah memanjakan waktunya, maka aku katakan padanya. Hai malam yang panjang, gerangan apakah yang menghalangiku untuk berganti dengan pagi harinya? Ya, walaupun pagi hari itupun juga belum tentu akan sebaik kamu”. Puisi tersebut melukiskan kerisauannya di malam hari.

2. Annabighah Az-Zibyani

Annabighah Az-Zibyani Abu Umamah Ziyad bin Muawiyah merupakan penyair yang sejak muda sudah pandai membuat puisi. Ia menjabat sebagai dewan hakim dalam perlombaan puisi yang sering diadakan di pasar Ukadz. Ia sering dihasut oleh lawan karena kerap kali mendekatkan diri pada para pembesar dan menjadikan puisi sebagai media pergaulannya. Nabighah berasal dari Dzubyan. Cara ia menghidupi diri adalah dengan mendapat upah dari puisi, maka kemuliaannya berkurang. Hampir seluruh umurnya, ia habiskan di kalangan keluarga raja Hira, sehingga raja Hira yang bernama Nu'man bin Mundzir sangat cinta kepadanya, sehingga dalam suatu riwayat dikatakan bahwa penyair ini di kalangan raja Hira selalu memakai bejana dari emas dan perak, dan hal itu menunjukkan kedudukannya yang tinggi di sisi raja Hira. Hal itu berlangsung cukup lama, sampai salah seorang saingannya memfitnahnya dan menghasut Nu'man, sehingga ia marah dan merencanakan untuk membunuh An-Nabighah. Salah seorang pengawal Nu'man secara diam-diam menyampaikan berita tersebut, sehingga An-Nabighah pun segera melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja-raja Ghossan yang menjadi saingan raja-raja Manadzirah dalam memperebutkan penguasaan atas bangsa Arab.
Namun, karena lamanya persahabatan yang ia jalin dengan Nu'man bin Mundzir, An-Nabighah berusaha untuk membersikan diri atas fitnah yang ditujukan kepadanya dan meminta maaf kepadanya dengan puisi-puisinya untuk melenyapkan kebencian Nu'man dan meluluhkan hatinya, serta menempatkan kembali posisinya semula di sisi raja Nu'man bin Mundzir. Hal tersebut dapat dilihat dalam puisi i'tidzariyat (permohonan maafnya) di bawah ini:
"Sesungguhnya engkau bagaikan malam yang kujelang meski aku didera kehampaan, tapi tempat berharap maaf darimu sungguh luas membentang"
An-Nabighah berusia panjang dan meninggal menjelang keutusan Nabi Muhammad. Sebagian besar ahli sastra Arab mendudukan puisi Nabighah pada deretan ketiga sesudah sesudah Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma. Hanya saja penilaian ini sangat relatif sekali, karena setiap orang pasti mempunyai penilaian masing-masing. Walaupun demikian karya puisi merupakan puisi yang sangat tinggi nilainya. Karena pribadi penyair ini sangat berbakat dalam berpuisi. Oleh sebab itu, tidak heran bila penyair ini diangkat sebagai dewan juri dalam setiap perlombaan berdeklamasi dan berpuisi tiap tahun di pasar Ukadz. Dalam perlombaan deklamasi dan berpuisi itu, para penyair berdatangan dari segala penjuru tanah Arab semuanya berkumpul di pasar Ukadz, Daumat Al-Jandal, dan Dzil Majanah. Dalam kesempatan ini, mereka mendirikan panggung untuk dewan juri, dan salah seorang dari dewan juri itu adalah An-Nabighah sendiri, karena dia dikenal sebagai seorang yang mahir dalam menilai puisi. Dan apabila ada puisi yang dinilai baik, maka puisi itu akan ditulis dalam lembaran khusus dengan menggunakan tinta emas, kemudian digantungkan pada dinding Kabah sebagai penghormatan bagi penyairnya.
Keistimewaan puisi Nabighah bila dibandingkan dengan puisi Umru’ Alqays dan Zuhair bin Abi Sulma, maka puisi Nabighah lebih indah dan kata-katanya lebih mantap, bahasanya sederhana sehingga mudah dimengerti oleh semua orang. Dan para penyair lain pun tidak jarang yang meniru gaya Nabighah dalam berpuisi, sehingga orang yang suka akan kelembutannya puisinya, seperti Jarir, menganggap bahwa ia merupakan penyair Jahiliyyah yang paling piawai. Ketergiurannya untuk mencari penghidupan dengan puisi, justru membuka teknik baru dalam jenis puisi madah (pujian) serta melakukan perluasan dan pendalaman dalam jenis puisi itu, sehingga dia mampu memuji sesuatu yang kontradiktif.
Kepiawaiannya itu terlihat ketika pada suatu hari ia hendak memuji raja Nu'man bin Mundzir yaitu seorang raja yang paling disukainya. Waktu itu ia melihat matahari yang sedang terbit dengan terang. Oleh karena itu raja Nu'man diumpamakan dalam puisinya sebagai matahari yang terbit, dimana matahari bila sedang terbit, maka sinarnya itu akan mengalahkan sinar bintang di malam hari. Untuk itu penyair itu berkata seperti di bawah ini:
"Sesungguhnya kamu adalah matahari dan raja-raja selainmu adalah bintang-bintangnya, yang mana bila matahari terbit, maka bintang-bintang itupun akan hilang dari penglihatan".
Selain dari bait puisi di atas, masih banyak lagi dari kumpulan puisinya yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh Monsieur Dierenburg pada tahun 1868, karena puisinya banyak digemari orang.
An-Nabighah mempunyai diwan (antologi) puisi yang dikomentari oleh Batholius (Ibnu Sayyid al-Batholius) yang telah berulang-ulang dicetak, meskipun antologi puisinya itu tidak menghimpun seluruh puisinya. Di antara puisinya yang paling indah adalah yang terdapat di dalam mu'allaqat-nya yang bait-bait pertamanya berbunyi:
"Berhentilah kalian untuk menyapa, menyalami, sungguh indah reruntuhan perkampungan, apa yang kalian salami adalah timbunan tanah dan bebatuan"
"Tanah lenggang, sepi dari binatang liar, dan telah diubah oleh hembusan badai serta hujan yang datang dan pergi"
"Aku berdiri di atasnya, ditengah reruntuhan dan bertanya kepadanya tentang serombongan unta yang biasa lewat di sana"
"Reruntuhan rumah yang indah , demikian asing, membisu tak mau berbicara pada kami, dan reruntuhan rumah itu, andai ia mau berbicara pada kami, pasti ia punya banyak cerita"

3. Zuhair bin Abu Sulma

Zuhair merupakan salah satu penyair terkenal di masa pra Islam. Zuhair memiliki versi yang kurang menyindir, tidak seperti syair-syair yang dibuat kakaknya. Ia berjuang keras untuk mengekspresikan pikirannya lebih dalam menggunakan kata-kata sederhana, jelas dan dengan frasa yang terang untuk menyampaikan ide-ide secara besar dan luhur kepada masyarakat. Zuhair adalah seorang legendaris dan kaya raya, dan yang terpenting, keluarganya mencatat kemampuan bersyair dan kesungguhannya dalam agama. Singkatnya, Zuhair adalah seorang pemuda filosofis diantara penyair-penyair Arab lainnya.
Ia adalah salah seorang dari tiga serangkai dari penyair Jahiliyyah setelah Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Penyair ini amat terkenal karena kesopanan kata-kata puisinya. Pemikirannya banyak mengandung hikmah dan nasehat. Sehingga banyak orang yang menjadikan puisi-puisinya itu sebagai contoh hikmah dan nasehat yang bijaksana. Zuhair bin Abi Sulma, tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga penyair. Rabi'ah ayahnya, Aus bin Hujr ayah tirinya, dan Basyamah pamannya, mereka adalah para penyair, dan saudaranya Sulma dan al-Khansa’, mereka berdua juga penyair. Oleh karena itulah ia sudah terkenal pandai berpuisi sejak kecil. Ia terkenal dengan bakat puisi yang dimilikinya dan disenangi oleh kaumnya. Zuhair terkenal juga dengan budi pekertinya yang luhur sehingga setiap pendapat yang keluar darinya selalu mendapat persetujuan dan diterima baik oleh kaumnya.
Ia menikah dua kali. Pertama dengan Ummu Aufa. Kehidupan rumah tangganya dengan Ummu Aufa banyak disebut-sebut dalam puisi dan mu’allaqatnya. Sayang, setelah semua anak-anak dari Ummu Aufa meninggal dunia, mereka bercerai. Kemudian ia menikah lagi dengan Kabsyah binti ‘Amr Al-Ghatafaniyyah. Dari pernikahannya yang kedua, ia memiliki tiga orang putra yaitu Ka’ab, Bujair dan Salim. Sayangnya Salim meninggal dunia sebelum Islam datang. Sedangkan ia dan keluarganya yang lain masih hidup sampai tiba datangnya masa Islam dan masuk ke dalam Islam dan dikenal sebagai penyair.

Zuhair hidup dalam masa terjadinya peperangan yang berlarut-larut selama 40 tahun antara kabilah Abbas dan Bani Dzubyan, yang terkenal dengan peperangan Dahis dan Gabra'. Dalam peristiwa perang ini, ia pun turut ambil bagian dalam usaha mendamaikan dua suku yang sedang berperang tersebut. Dalam usaha perdamaian itu, ia menganjurkan kepada para pemuka bangsa Arab untuk mengumpulkan dana guna membeli tiga ribu ekor unta untuk membayar tebusan yang dituntut oleh salah satu dari kedua suku yang sedang berperang itu. Adapun yang sanggup menanggung keuangan itu adalah dua orang pemuka bangsa Arab yang bernama Haram bin Sinan dan Harits bin Auf. Sehingga berkat usaha kedua orang ini, peperangan yang telah terjadi selama 40 tahun dapat dihentikan. Untuk mengingat kejadian yang amat penting itu, Zuhair mengabadikan dalam salah satu puisi mu’allaqatnya, seperti di bawah ini:

"Aku bersumpah dengan Ka'bah yang ditawafi oleh anak cucu Quraisy dan Jurhum".
Aku bersumpah, bahwa kedua orang (yang telah menginfakkan uangnya untuk perdamaian itu) adalah benar-benar pemuka yang mulia, baik bagi orang yang lemah, maupun bagi orang yang perkasa".
"Sesungguhnya mereka berdua telah dapat kesempatan untuk menghentikan pertumpahan darah antara bani Absin dan Dhubyan, setelah saling berperang diantara mereka".
"Sesungguhnya mereka bedua telah berkata: "Jika mungkin perdamaian itu dapat diperoleh dengan uang banyak dan perkataan yang baik, maka kami pun juga bersedia untuk berdamai".
"Sehingga dalam hal ini kamu berdua adalah termasuk orang yang paling mulia, yang dapat menjauhkan kedua suku itu dari permusuhan dan kemusnahan".
"Kamu berdua telah berhasil mendapatkan perdamaian, walaupun kamu berdua dari kelurga yang mulia, semoga kalian berdua mendapatkan hidayah, dan barang siapa yang mengorbankan kehormatannya pasti dia akan mulia"


4. Al-A’sya bin Alqaisi

Nama Al-A'sya merupakan julukan baginya, karena ia memiliki kadar penglihatan yang lemah (rabun). Nama pada saat karier kepenyairannya meningkat, ia dijuluki Abu Basir yang berarti orang yang mempunyai penglihatan. Konon ayahnya mempunyai julukan "Orang yang mati kelaparan", karena pada suatu ketika ayahnya memasuki sebuah goa hanya untuk berteduh di dalamnya dari cuaca panas, tetapi malang baginya tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari atas gunung dan menutupi mulut goa, yang menyebabkan ayahnya mati kelaparan di dalamnya. Mengenai kejadian itu, juhunnam seorang penyair membuat sebuah puisi hija' (sindiran) untuk ayahnya yaitu:
"Ayahmu Qais bin Jundul mati kelaparan, kemudian pamanmu itu disusui oleh budak dari Khuma'ah".
Khuma'ah adalah tempat kelahiran ibu dari Al-A'sya. Saudara kakeknya, Musayyub bin ‘Alas mempunyai jasa yang besar dalam mengabadikan puisi Al-A'sya. Para ahli sastra Arab menganggapnya sebagai orang keempat setelah ketiga penyair yang telah disebutkan di atas. Penyair ini ditakuti akan ketajaman lidahnya, sebaliknya ia juga disenangi orang bila ia telah memuji seseorang, dan orang itu seketika itu pula akan menjadi terkenal.
Puisi-puisi Al-A'sya banyak menceritakan pengembaraannya ke sebagian daerah jazirah Arab untuk memuji para pemimpin (kepala suku) dan para bangsawan. Sehingga di dalam diwannya (kumpulan puisi), dia banyak memuji Aswad bin Mundzir dan saundaranya yaitu Nu'man bin Mundzir dan Iyas bin Qubaisah. Dia juga banyak membicarakan mengenai perdamaian antara salah seorang penguasa di Yaman dengan bani Abdul Madin bin Diyan di Najran, dan penguasa yang bernama Hauzah bin ‘Ala Sayid dari bani Hanifah, yang tidak diketahui latar belakang mengenai perselisihan di antara ketiganya.
Al-A'sya sering melakukan pengembaraan dan mengunjungi kawasan Hirah, Yaman, dan Diyar (sebuah daerah berbukit di Yaman), dan Najran, begitu pula dengan daerah Syam, Persia, dan Jerussalem. Khususnya di daerah Yaman, Nejed, dan Hirah, ia memuji para pejabat teras di sana. Begitu pula dengan kepergiaannya ke Diyar, ia mendapatkan hadiah sebagai balasan atas puisi-puisi yang telah diucapkannya dengan indah kepada bani ‘Amr.
Louis seorang orientalis barat, menganggap bahwa penyair ini penganut Nasrani, ia berpendapat dengan kesukaan Al-A'sya dalam menyusun lagu-lagu rohani. Puisi madahnya banyak memuji para uskup Najran, dan kebanyakan bait-bait puisi-nya berkaitan dengan orang-orang nasrani di Hirah. Namun, hal ini tidak dapat dibenarkan, karena kepercayaan Nasrani telah lama dianut dan merupakan agama nenek moyang. Sehingga setelah ia menerima ajaran ini, kebiasaan buruk dalam melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan telah ada pada diri al-A'sya. Hal ini dapat dilihat jelas dalam puisi-nya yang banyak menggambarkan kesenangannya akan mabuk-mabukkan dan pencinta harta. Dan untuk meneliti lebih lanjut tentang puisi Al-A'sya dapat dilihat dalam kitab Sy'ir was Syuara' karya Ibnu Al-Qutaibah, kitab Al-Jamhara, dan kitab Al-Aghany karya Al-Asfahany.
Kumpulan puisi Al-A'sya banyak diterbitkan oleh Jayir di London pada tahun 1928. Jayir menyalinnya dari Isykuriyal yang diambil dari Tsa'labah pada tahun 291 H. Sebagian dari puisi-nya juga diterbitkan oleh Daar al-Kutub, Mesir. Jumlah kasidahnya tidak kurang dari 77 bait kasidah, ditambah lagi l15 kasidah yang tidak diketahui asalnya, tetapi diyakini sebagai puisinya. Namun, kemungkinan besar puisi pilihan itu dikumpulkan oleh Tsa'labah. Selanjutnya Daar al-Kutub menemukan 40 bait kasidah al-A'sya yang diambil dari salinan di kantor perwakilan Yaman. Hal ini diketahui dari kalimat pendahuluan oleh penyusun diwan-nya. Puisi-puisi Al-A'sya memiliki ciri khas tersendiri, seperti pemakaian kasidah yang panjang, sebagaimana yang terlihat dalam puisinya terdapat pemborosan kata-kata. Puisinya banyak mengandung pujian, sindiran atau ejekan, kemegahan atau kebesaran, kenikmatan khamr (arak), menggambarkan atau melukisakan sesuatu, dan mengenai percintaan.
Tidak seperti penyair lainnya, dalam hal pengungkapan puisi madah, Al-A'sya hanya ingin berusaha mendapatkan pemberian atau hadiah, seperti dalam pengembaraannya kesebagian jazirah Arab, yaitu untuk memuji para pemimpin dan pejabat di sana. Pemberian atau hadiah itu dapat berupa unta, budak perempuan, piring yang terbuat dari logam perak, atau pakaian yang terbuat dari kain sutera yang bermotif lukisan.
Dalam puisi madahnya banyak mengisahkan mengenai kemuliaan, keberanian, kesetiaan, pertolongan terhadap kaum lemah, dan pujian terhadap tentara yang berlaga di medan peperangan. Puisi madahnya banyak mengandung ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan secara bebas (spontanitas). Oleh karena itu, Al-A'sya juga ditakuti akan ketajaman lidahnya, karena bila seseorang telah mendapatkan pujian darinya, maka orang itu akan menjadi terkenal.
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar kedatangan Al-A'sya di Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk mengundang Al-A'sya ke rumahnya. Setelah Al-A'sya datang ke rumah miskin itu, maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu Al-A'sya. Penyair ini sangat heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia membacakan puisi itu, maka banyak orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun bait puisi yang diucapkan Al-A'sya seperti dibawah ini:
"Aku tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun cinta"
"Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu"
"Api itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam"
"Di malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu"
"Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan"
"Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma"
Di dalam suatu riwayat lain juga diceritakan bahwa ketika Al-A'sya mendengar diutusnya Nabi Muhammad dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad. Namun, sayang sekali maksud baik ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy.
Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan Al-A'sya, Abu Sufyan langsung berkata kepada para pemuka Quraisy: "Demi Tuhan, bila Al-A'sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad". Kemudian, saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya Al-A'sya mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad seperti dibawah ini:

"Demi Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad"
"Nanti jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah"
"Seorang Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed"
"Pemberiannya tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah pemberiannya di hari esok"

sumber:

Manshur, Fadlil Munawwar. 2011. Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hitti, Philip K. 2008. History of The Arabs. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

http://www.answering-islam.de

http://www.adab.com/en/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Novel Hati Suhita

KETEGUHAN HATI WANITA REVIEW NOVEL HATI SUHITA Judul: Hati Suhita Penulis: Khilma Anis Editor: Akhiriyati Sundari Penyunting:...