Sabtu, 22 September 2012

Isra Mi’raj dan Logika Pengetahuan


 Gelar Ash-Shiddiq diperoleh Abu Bakar ketika beliau membenarkan berita tentang peristiwa Isra Mi’raj yang dialami oleh Rasulullah SAW. Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar pada saat itu seolah-olah tidak masuk akal. Beliau begitu saja mempercayai peristiwa perjalanan Rasulullah SAW dari Mekkah ke Palestina yang dilanjutkan dengan mi’raj ke langit ke tujuh hanya dalam tempo semalam saja. Sesuatu yang sangat mustahil pada masa itu, bahkan sampai sekarang.
Dengan sudut pandang yang lain, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar justru sangat masuk akal. Jika premis awalnya adalah Rasulullah SAW seseorang yang sama sekali tidak pernah berbohong selama hidupnya, maka mempercayai perkataannya adalah logis. Kebenaran adalah sesuatu yang keluar dari lisan Rasulullah SAW secara konsisten.
Dari sudut pandang yang lebih luas, Isra Mi’raj adalah peristiwa ilahiyah yang melibatkan campur tangan Allah. Di ranah ini tidak ada yang tidak mungkin. Salah satu analogi yang sering digunakan oleh para ulama adalah cerita tentang semut yang terbang bersama pesawat dari Jakarta ke Surabaya hanya dalam waktu kurang dari satu jam. Padahal jika semut itu pergi dengan kekuatan sendiri, dia memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menempuh jarak yang sama.
Di kalangan ilmuwan, peristiwa Isra dan Mi’raj dipahami dengan dua cara yang berbeda. Beberapa filsuf Islam seperti Al Farabi dan Ibnu Sina meyakini bahwa yang diperjalankan oleh Allah pada malam mulia itu adalah ruh Rasulullah SAW. Dengan menggunakan pendekatan empiris saat itu, tidak mungkin seseorang secara fisik melakukan perjalanan sejauh itu dengan waktu yang sangat cepat. Pendapat kedua yang diwakili oleh para ilmuwan syariah Islam seperti Imam Syafi’i mempercayai bahwa Rasulullah SAW benar-benar diperjalankan secara fisik.
Saya lebih setuju dengan pendapat kedua. Rasulullah SAW adalah manusia biasa, namun beliau adalah makhluk istimewa. “Mutiara di antara bebatuan,” kata pepatah Arab. Sebelum penciptaan jagad raya, makhluk pertama yang diciptakan adalah nur Muhammad. Beliau adalah makhluk terbaik yang diciptakan Allah. Perjalanan untuk menemui Allah secara fisik adalah merupakan bagian dari keistimewaan Rasulullah SAW.
Isra Mi’raj sendiri merupakan peristiwa istimewa. Dengan segala keajaibannya, Isra Mi’raj mengajarkan kepada kita untuk mengkombinasikan antara iman dan logika. Dengan kacamata iman, kita tentu harus percaya apa saja yang tertulis dalam Al-Quran, termasuk peristiwa dahsyat ini. Dengan kacamata logika, kita akan mengafirmasi pemahaman logis bahwa tidak ada yang tidak mungkin, bahwa ilmu pengetahuan selalu berkembang.
Sebelum penemuan teori tentang siklus air, bencana banjir adalah peristiwa mistik dan ghaib. Bahkan beberapa kelompok masyarakat menganggap banjir adalah kutukan. Maka lahirlah ritual-ritual penolak banjir seperti pengorbanan hewan bahkan manusia untuk menolak bencana ini. Meski ritual itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pencegahan banjir, namun pada saat itu ritual dianggap relevan untuk mencegah banjir.
Ilmu pengetahuan kemudian berhasil menguak fenomena siklus air. Bahwa air yang turun dari hujan dan keluar dari mata air akan  mengalir melalui sungai dan bermuara di laut. Dengan proses penguapan, air itu kembali ke langit dalam bentuk awan yang akan turun kembali dalam bentuk hujan. Ilmu pengetahuan juga menjelaskan tentang bagaimana pepohonan dapat menyerap dan menyimpan air. Perusakan pepohonan akan mengurangi daya serap alam terhadap air. Akibatnya bencana banjir. Pencegahan bencana banjir dilakukan dengan berhenti merusak hutan, bukan dengan pengorbanan binatang, apalagi manusia.
Sampai saat ini ilmu pengetahuan manusia modern belum dapat menjelaskan fenomena Isra Mi’raj. Ini adalah bukti bahwa pengetahuan manusia memang benar-benar sedikit (Q.S. Al-Isra : 85). Bahwa perkembangan ilmu pengetahuan masih sangat terbatas dan masih bisa berkembang. Dalam perjalanannya, bukan tidak mungkin pengetahuan dapat menjelaskan peristiwa dahsyat itu. Al-Quran memerintahkan manusia selalu berpikir dan melakukan riset untuk menemukan dan menjelaskan kebenaran.
Peristiwa Isra Mi’raj tidak untuk kita peringati sebagai cerita keajaiban sejarah dan mukjizat Rasulullah saja. Isra Mi’raj bukan dogma. Peristiwa ini tidak pernah mengajarkan kita untuk percaya begitu saja tanpa proses berpikir. Justru Isra Mi’raj mengajarkan manusia menggunakan akalnya untuk selalu berpikir.
Berpijak dari keajaiban Isra Mi’raj, seharusnya menjadi pelajaran bagi kita untuk selalu berpikir inovatif. Para pendahulu kita telah berhasil menemukan transportasi. Penemuan ini memungkinkan kita untuk melakukan perjalanan dengan jauh lebih cepat daripada sebelumnya. Secara bertahap sepeda, mobil dan pesawat semakin mempercepat pergerakan manusia di atas permukaan bumi. Menjadi tantangan kita untuk mengembangkan inovasi-inovasi baru yang lebih bermanfaat bagi umat manusia.   
Dengan logika Isra Mi’raj, seharusnya kita belajar untuk lebih terbuka. Bukan hanya pada tradisi dan budaya tetapi juga pada paradigma dan pemikiran baru. Bahkan untuk hal-hal yang saat ini kita anggap tidak mungkin. Bahwa pengetahuan adalah proses panjang tesis – anti tesis pergulatan pemikiran manusia yang terus berkembang mencari kebenaran. Bukan lagi masanya kita menganggap bahwa diri kita yang paling benar kemudian menganggap tabu pada hal-hal yang baru dan berbeda.
Dengan mengimani peristiwa Isra Mi’raj, seorang muslim seharusnya menjadi pribadi yang progresif. Rasanya tidak salah kita belajar kepada Imam Abu Hanifah. Beliau sering membuat bingung murid-muridnya. Tak jarang beliau membahas permasalahan-permasalahan yang belum terbayang pada saat itu. Jauh sebelum kapal selam ditemukan, ahli fikih yang satu ini sudah membahas mengenai cara shalat di dasar laut. Ketika ditanya mengapa beliau membahas sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada saat itu, beliau menjawab bahwa hal itu ia lakukan agar bila nanti masalah itu benar-benar terjadi kita sudah mengerti masalah itu, syukur-syukur sudah menemukan jalan keluarnya.
Wallahu a’lam bish showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Novel Hati Suhita

KETEGUHAN HATI WANITA REVIEW NOVEL HATI SUHITA Judul: Hati Suhita Penulis: Khilma Anis Editor: Akhiriyati Sundari Penyunting:...