Sabtu, 29 September 2012

KONDISI BANGSA ARAB PRA ISLAM


Kondisi Politik
Secara global-teritorial, Arab merupakan negeri yang terletak di semenanjung Arab yang dikelilingi tiga lautan, yaitu Laut Merah di Barat, Samudera Hindia di Selatan, dan Teluk Persia di sebelah Timur. Letak geopolitik ini berdampak signifikan pada kondisi sosial bangsa Arab. Negeri Yaman misalnya, diperintah oleh bermacam-macam suku dan pemerintahan yang terbesar adalah masa pemerintahan Tababi’ah dari kabilah Himyar.
Di bagian Timur Jazirah Arab, dari kawasan Hirah hingga Iraq, yang ada hanya daerah-daerah kecil yang tunduk kepada kekuasaan Persia hingga datangnya Islam. Raja-raja Munadzirah sama sekali tidak berdiri sendiri dan tidak merdeka, tetapi tunduk secara politis di bawah kekuasaan raja-raja Persia. Bagian Utara Jazirah Arab sama dengan bagian Timur, karena di daerah itu juga tidak ada pemerintahan bangsa Arab yang murni dan merdeka. Semua raja di sini tunduk di bawah kekuasaan Romawi. Raja-raja Ghasasanah semuanya serupa dengan raja-raja Munadzirah.
Sementara itu, di Tengah Jazirah Arab, di mana terdapat tanah suci Mekkah dan sekitarnya, kaum Adnaniyyin menjadi penguasa yang independen, tidak dikuasai oleh Romawi, Persia, maupun Habasyah. Allah telah menjaga kehormatan tanah dan penduduk disana. Bahkan sejak masa imperialisme Barat yang menjajah dunia Islam, tak ada yang bisa menguasai negeri suci ini karena Allah telah menjaga kesuciannya.[1]
Kondisi Ekonomi
Perekonomian bangsa Arab secara umum tidak bermakna apa-apa, kecuali negeri-negeri yang ada di daerah Yaman. Yaman adalah negeri yang subur, khususnya di sekitar bendungan Ma’rib, di mana pertanian maju secara pesat dan menakjubkan. Di masa itu juga telah berkembang industri, seperti industri kain katun dan persenjataan berupa pedang, tombak, dan baju besi. Akan tetapi, mereka tidak bersyukur dan justru berpaling dari ketaatan kepada Allah. Karena kekufuran itu, Allah pun menghancurkan bendungan Ma’rib itu.
Sementara itu, mayoritas kabilah Adnan tinggal di tengah gurun pasir dengan rumput yang sedikit untuk mengembala domba. Mereka hidup dari susu dan dagingnya. Sedangkan kaum Quraisy yang tinggal di tanah suci mengandalkan perekonomiannya dari berdagang. Pada musim dingin, mereka berduyun-duyun ke Yaman untuk berdagang. Dan ketika musim panas, mereka memilih Syam sebagai tujuan perdagangannya. Orang-orang Quraisy ini hidup dalam kemakmuran, berbeda dengan kabilah-kabilah lainnya yang rata-rata hidup susah dan menderita.[2]
Kondisi Sosial
Fase kehidupan bangsa Arab tanpa bimbingan wahyu Ilahi dan hidayah sangatlah panjang. Oleh sebab itu, di antara mereka banyak ditemukan tradisi yang sangat buruk. Berikut ini adalah contoh beberapa tradisi buruk masyarakat Arab Jahiliyah.
  1. Perjudian atau maisir. Ini merupakan kebiasaan penduduk di daerah perkotaan di Jazirah Arab, seperti Mekkah, Thaif, Shan’a, Hijr, Yatsrib, dan Dumat al Jandal.
  2. Minum arak (khamr) dan berfoya-foya. Meminum arak ini menjadi tradisi di kalangan saudagar, orang-orang kaya, para pembesar, penyair, dan sastrawan di daerah perkotaan.
  3. Nikah Istibdha’, yaitu jika istri telah suci dari haidnya, sang suami mencarikan untuknya lelaki dari kalangan terkemuka, keturunan baik, dan berkedudukan tinggi untuk menggaulinya.
  4. Mengubur anak perempuan hidup-hidup jika seorang suami mengetahui bahwa anak yang lahir adalah perempuan. Karena mereka takut terkena aib karena memiliki anak perempuan.
  5. Membunuh anak-anak, jika kemiskinan dan kelaparan mendera mereka, atau bahkan sekedar prasangka bahwa kemiskinan akan mereka alami.
  6. Ber-tabarruj (bersolek). Para wanita terbiasa bersolek dan keluar rumah sambil menampakkan kecantikannya, lalu berjalan di tengah kaum lelaki dengan berlengak-lenggok, agar orang-orang memujinya.
  7. Lelaki yang mengambil wanita sebagai gundik, atau sebaliknya, lalu melakukan hubungan seksual secara terselubung.
  8. Prostitusi. Memasang tanda atau bendera merah di pintu rumah seorang wanita menandakan bahwa wanita itu adalah pelacur.
  9. Fanatisme kabilah atau kaum.
  10. Berperang dan saling bermusuhan untuk merampas dan menjarah harta benda dari kaum lainnya. Kabilah yang kuat akan menguasai kabilah yang lemah untuk merampas harta benda mereka.
  11. Orang-orang yang merdeka lebih memilih berdagang, menunggang kuda, berperang, bersyair, dan saling menyombongkan keturunan dan harta. Sedang budak-budak mereka diperintah untuk bekerja yang lebih keras dan sulit.
Kondisi Agama
Menurut Thaib Thahir Abdul Mu’in, hakikat ibadah pendudukan Arab Jahiliyah adalah hasil dari salah satu dua perasaan, yaitu:
  1. Perasaan manusia yang merasa bahwa ada kekuatan tersembunyi, yang tidak dapat dikenal dan diketahui oleh manusia. Kekuatan itu yang menyebabkan bergerak dan berlakunya alam semesta ini dengan teratur dan harmonis. Perasaan ini tertanam dalam jiwa manusia.
  2. Perasaan yang salah terhadap sesuatu, karena hanya berdasarkan kepada pancaindera saja, seperti perasaan terhadap salah satu kekuatan yang ada di alam ini. Misalnya, perasaan orang Mesir kuno yang menganggap keistimewaan itu pada sapi, matahari, sungai Nil, dan sebagainya. Perasaan inilah yang mendorong manusia ke arah kepercayaan yang salah. Tetapi meskipun salah, perasaan itu sangat membekas di dalam kehidupan masyarakat ketika itu. Bahkan bekas-bekas itu hingga kini masih terlihat di kalangan umat yang terbelakang.[3]
Bangsa Arab umumnya mempunyai kedua perasaan tersebut. Perasaan yang pertamalah yang mendorong bangsa Arab mengabdi kepada Allah dan mengakui jualah yang menjadikan langit dan bumi, memberikan rezeki, dan sebagainya. Sedangkan perasaan kedua yang mendorong mereka menyembah berhala, karena awalnya mereka mengganggap bahwa berhala adalah alat penghubung menyembah dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun pada akhirnya mereka meyakini bahwa dalam berhala-berhala itu memiliki kekuatan sendiri.[4]
Kemusyrikan di tengah bangsa Arab musya’ribah, bermula ketika mereka keluar mencari rezeki.[5] Jika di antara penduduk di sekitar Makkah ada yang hendak bepergian ke daerah lain, mereka membawa beberapa batu yang ada di dekat Ka’bah, dengan tujuan sebagai kenang-kenangan bagi tanah airnya dan sebagai pengganti Ka’bah yang tidak dapat dibawa. Semenjak itulah orang Jahiliyah menghormati dan mengangungkan batu. Keadaan ini berlangsung beberapa abad lamanya dan turun temurun. Sehingga anak cucunya yang kemudian, tidak mengenal lagi asal muasal penghormatan dan penyembahan batu-batu itu.
Sebagian bangsa Arab ada yang pindah dari menyembah batu-batu kepada menyembah berhala atau arca, ada yang tetap menyembah batu, dan ada pula yang tetap berpegang kepada agama Nabi Ibrahim. Dengan demikian, iman orang Arab Jahiliyah terhadap batu-batu dan berhala itu tidak begitu kuat. Karena dasar kepercayaannya kurang kuat. Mereka akan membinasakan arca-arca itu, apabila harapan-harapan mereka tidak terkabul. Dan apabila terkabul, mereka akan membayar dengan pengorbanan berupa hewan ternak.[6]
Berhala yang dipuja dan disembah oleh bangsa Arab Jahiliyah sangat banyak jumlahnya. Dari sekian banyak berhala-berhala tersebut, yang terbesar dan termasyhur ada lima berhala, antara lain:
  1. Berhala Wad atau Waddan, menjadi sesembahan kabilah Kalb,
  2. Berhala Sua’ atau Sua’an, menjadi sesembahan kabilah Huzdail,
  3. Berhala Yaghuts, menjadi sesembahan kabilah Bani Khuthaif,
  4. Berhala Nasr, menjadi sesembahan kabilah Himyar.
Nama-nama ini dahulu adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh. Setelah orang-orang shaleh itu meninggal dunia, umatnya mengadakan peringatan-peringatan untuk mereka dengan cara mendewakannya. Setelah generasi itu mati, mereka menjadi disembah. Selain dari lima berhala tersebut, ada beberapa berhala pula yang utama, yaitu Latta, Uzza, dan Manat.[7]
Kaum Quraisy dan Arab Jahiliyah di Mekkah, tidaklah menghormati dan membesar-besarkan kelima berhala di atas. Mereka hanya memuja ketiga berhala itu, sebab itu yang paling utama dan lebih tinggi derajatnya bagi mereka. Dari ketiga berhala itu, orang Quraisy memilih yang terpenting dan istimewa, yaitu Uzza. Kabilah Bani Saqif lebih memuliakan dan mengutamakan Latta. Sedangkan Bani Aus dan Khazraj di Madinah lebih mengutamakan Manat.[8]
Ada pula sebagian bangsa Arab Jahiliyah yang menyembah Ba’l atau Baal. Menurut mereka berhala Ba’l ini dapat menyebabkan suburnya tanah dan menimbulkan hasil yang banyak. Golongan yang banyak menyembah Ba’l ini adalah kaum tani. Dan ada pula golongan yang mutlak tidak mengakui adanya Allah dan Tuhan lainnya. Golongan ini dinamakan Dahrenun (Ateis). Menurut mereka segala yang ada di alam semesta ini adalah kejadian alam yang terjadi dengan sendirinya, tanpa ada yang menjadikannya.[9]
Demikian pula peradaban dan kemasyarakatan pada bangsa Arab Jahiliyah tersebut terus-menerus dalam percekcokan antar kabilah-kabilah. Mereka saling rampas-merampas, selalu melanggar dan menghianati janji-janji mereka, tidak peduli kepada orang lain maupun sanak saudaranya, gelisah dan malu apabila memperoleh anak perempuan, membunuh dan mengubur anak-anak perempuan, takut miskin, dan sebagainya.[10] Dengan kata lain, hukum yang berlaku di bangsa Arab Jaliyah adalah hukum ‘rimba’, yaitu siapa yang kuat, maka itu yang menang. Dan siapa yang lemah, maka ia akan tertindas.
Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa bangsa Arab Jahiliyah, mempunyai kepercayaan dan Tuhan yang bermacam-macam. Akan tetapi, walaupun tampak banyak ragamnya, namun pada umumnya orang Arab, khususnya suku Quraisy, tetap memuliakan dan beribadah di Ka’bah. Mereka menghormati Ka’bah dan menjalankan kegiatan ibadah di tempat itu.
Walaupun masyarakat Arab, khususnya suku Quraisy, memuliakan dan menghormati Ka’bah, tetapi mereka membuat bid’ah-bid’ah agama yang melampaui batas, antara lain:
  1. Mempersembahkan bahirah, sa’ibah, washilah, dan ham. Bahirah adalah unta betina yang dibelah telinganya, kemudian dilepaskan, tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diambil air susunya. Sa’ibah adalah unta yang dibiarkan pergi ke mana saja atau diserahkan kepada Tuhan karena suatu nadzar. Washilah adalah seekor domba betina yang melahirkan sepuluh anak betina kembar. Domba ini disebut washilah (penyambung), karena ia menyambung kesepuluh anak-anaknya, dan khusus dimakan oleh lelaki. Sedangkan, ham adalah unta jantan yang tidak boleh ditunggangi atau dibebani, karena telah membuntingi unta betina sejumlah yang telah ditentukan.
  2. Bid’ah wukuf di Muzdalifah pada saat haji, dan tidak perlu wukuf di Arafah.
  3. Bid’ah tidak boleh berthawaf dengan pakaian yang mengandung unsur maksiat kepada Allah, tidak boleh berthawaf mengenakan pakaian lama. Jika tidak menemukan pakaian khusus untuk berthawaf, mereka harus berthawaf dengan telanjang, sekalipun wanita.
  4. Bid’ah mengundi nasib dengan panah.
  5. Bid’ah An Nasi’, yaitu menangguhkan kesucian bulan Muharram ke bulan Shafar, agar mereka diperolehkan melakukan peperangan pada bulan haram itu.
Setelah mengetahui bagaimana kondisi-kondisi pada zaman jahiliyah tersebut, marilah kita renungkan. Pada era globalisasi sekarang ini, nilai-nilai dan sistem sekuler dapat masuk dengan mudah dan menyingkirkan nilai-nilai islami sebagaimana Rasulullah ajarkan. Akibatnya, banyak orang di sebagian belahan dunia yang pola hidupnya serupa atau telah kembali kepada masa Jahiliyah. Banyak orang yang cerdas dan jenius dengan ilmu pengetahuannya yang malah menjauh dari agamanya, membuat bid’ah-bid’ah yang serupa dengan Jahiliyah, menghalalkan hal-hal yang haram demi keuntungan pribadi, saling bermusuhan dan penindasan terhadap yang lebih lemah, tidak bersyukur atas nikmat Tuhan, banyak perjudian, mabuk-mabukan, pornografi, memamerkan kecantikan atau ketampanan, mempermainkan dan meremehkan pernikahan, aborsi, prostitusi, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, era sekarang ini bisa disebut dengan zaman ‘Jahiliyah ke-2’ atau yang ke sekian.

[1] Abu Bakar Jabir Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 2007. 24-27
[2] Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 28-29
[3] M. Thaib Thahir Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 1997. 157
[4] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 178
[5] Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 38
[6] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 59
[7] Abdul Mu’in. 61
[8] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 63
[9] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 67
[10] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Novel Hati Suhita

KETEGUHAN HATI WANITA REVIEW NOVEL HATI SUHITA Judul: Hati Suhita Penulis: Khilma Anis Editor: Akhiriyati Sundari Penyunting:...