Sabtu, 31 Maret 2012

LANDASAN TEORI SEMIOTIKA


LANDASAN TEORI SEMIOTIKA
2.1 Semiotika
Semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Kata ‘semiotik” sendiri
berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti
“penafsir” tanda. Contohnya, asap yang membumbung tinggi menandai adanya
api. Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara
sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses
signifikasi yang menyertainya (Alex Sobur, 2004: 16).
Pengertian tanda memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam
tulisan-tulisan Yunani Kuno (Masinambow, 2002: iii). Dengan demikian, tanda
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda
inilah yang kemudian dikenal dengan semotik dan semiologi.
2.2 Sejarah Semiotika
Semiotika sebenarnya sudah tumbuh sejak tahun 330-264 SM, yaitu
melalui kajian Zeno, tokoh aliran stoa yang berasal dari Kition di pulau cyprus. Ia
mengadakan penelitian lewat tanda-tanda tangis dan tertawa. Bermula dari kajian
Zeno tentang semiotika tangis dan tawa itulah ilmu semiotika mulai
dikembangkan. Seorang uskup Roma yang hidup sekitar abad kelima Masehi,
Saint agustinus, sesudah mengalami perubahan batin secara radikal dan ia bertobat
kepada Tuhan untuk menjadi manusia yang saleh dan alim (Puji Santosa, 1993: 7)
11
Aliran semiotik sistematis dipelopori oleh dua tokoh terakhir, yaitu
Ferdinand de Sausure) dan Charles Sanders Pierce. Dalam pandangan semiotik,
Saussure memandang bahasa sebagai suatu sistem tanda. Sebagai suatu tanda,
bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Pengertian tanda
memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan Yunani Kuno
(Masinambow, 2002: iii). Dengan demikian, tanda adalah sesuatu yang mewakili
sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian dikenal
dengan semotik dan semiologi.
Adapun semotik berkembang dengan masing-masing tokoh yang
dimilikinya. Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah pengembang bidang ini di
Eropa, dia memperkenalkannya dengan istilah semiologi sedangkan Charles
Sanders Peirce (1839-1914) mengembangkannya di Amerika dengan
menggunakan istilah semiotik. Kedua tokoh inilah yang membawa pengaruh besar
dalam memahami dan menganalisis sebuah disiplin dengan menggunakan
pendekatan semiotik.
Peirce (T.Christommy, 2001:119), mengatakan bahwa tanda “is
something which stands to somebody for something in some respect or capacity.”
Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Pierce disebut Ground.
Konsekuensinya, tanda (sign atau representament) selalu terdapat dalam
hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini,
Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legysign. Qualisign adalah kualitas
yang ada pada tanda, misalnya kata-kata lemah, lembut, merdu, kasar, dan keras.
12
Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda;
misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang
menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Berdasarkan objeknya, Pierce
membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol).
Saussure mengembangkan bahasa sebagai suatu sistem tanda. Bahasa
adalah alat komunikasi yang terdiri atas sejumlah ujaran yang masing-masing
dilihat sebagai tanda, yakni satuan yang terdiri atas dua muka yaitu significant
(citra bunyi, signifier atau penanda) yang harus disertai oleh signifie (makna,
konsep, signified atau petanda). Suatu ujaran hanya berlaku sebagai tanda jika
terdiri atas penanda dan petanda (Widjojo, 2004: 45).
Sementara itu, Peirce melihat tanda sebagai suatu proses kognitif yang
berasal dari apa yang ditangkap oleh pancaindra. Fungsi esensial sebuah tanda
menurutnya adalah membuat sesuatu efisien, baik dalam komunikasi kita dengan
orang lain, maupun dalam pemikiran dan pemahaman kita tentang dunia.
Dalam teorinya, “sesuatu” yang pertama –yang “konkret”- adalah suatu
perwakilan yang disebut representamen (atau ground), sedangkan “sesuatu” yang
ada di dalam kognisi disebut object. Proses hubungan dari representamen ke
object disebut semiosis (semeion, Yun. ‘tanda’). Dalam pemaknaan suatu tanda,
proses semiosis ini belum lengkap karena kemudian ada satu proses lagi yang
merupakan lanjutan yang disebut interpretant (proses penafsiran) (Hoed, 2005: 2).
13
2.3 Semiotika Charles Sanders Pierce
Pierce terkenal karena teori tandanya. Dalam lingkup semiotika, Pierce
sebagaimana dipaparkan Letche (dalam Hoed 2004: 40), Letche memaparkan
bahwa secara umum tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu bagi seseorang.
Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan,
yang mengacu pada objeknya yang disebutnya kekeduaan, dan penafsiran—unsur
pengantara—adalah contoh dari keketigaan. Keketigaan yang juga lebih kita kenal
dengan istilah triadik ini yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga
membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang
membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu
makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya.
Pierce menyebut semiotika dengan sebutan semiosis sedangkan Roland
Barthes yang menyebutnya dengan sebutan semiologi. Bagi Pierce, seperti yang
dikutip dari Nöth (Hoed, 2001: 143) “nothing is a sign unless it is interpreted as a
sign”. Dengan demikian, sebuah tanda melibatkan sebuah proses kognitif di dalam
kepala seseorang dan proses itu dapat terjadi kalau ada representamen, acuan, dan
interpretan. Pierce mengatakan sebagai berikut, “by ‘semiosis’ on the contrary (to
diadic relation), an action, or influence, which is or involves, a coorperation of
three subject such as a sign, its object, and its interpretan, this tri-relative
influence not being in any way resolvable into action between pairs”. Dengan
kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling terkait:
Representamen (R), sesuatu yang dapat dipersepsi (perceptible), Objek (O)
14
sesuatu yang mengacu kepada hal lain (referetial), dan (I) sesuatu yang dapat
diinterpretasi (interpretable).
Hubungan itu dapat didasari oleh keterkaitan (indeks), keserupaan (ikon),
atau konvensi (lambang), atau gabungan ketiganya. Jadi, asap (R) mewakili
kebakaran (O). Proses ini belum selesai karena, berdasarkan hubungan R-O (asapkebakaran),
penerima tanda akan melakukan penafsiran (I). Jadi, dengan melihat
asap (R), seseorang menghubungkannya dengan kebakaran (O), dan dapat
menafsirkan bahwa yang terbakar adalah gedung pertokoan (I). Proses inilah yang
disebut semiosis.
Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut
representamen. Konsekuensinya, tanda (sign/representamen) selalu terdapat
dalam hubungan triadik, yakni representamen, objek, dan interpretan. Hubungan
triadik itu oleh Pierce digambarkan dalam tiga dimensi tanda seperti berikut ini :
Objek
Representamen Interpretan
Gambar Diagram segitiga tanda Pierce
(T. Christommy, 2004: 127)
15
2.3.1 Tiga Dimensi Tanda
2.3.1.1 Representamen
Representamen adalah bentuk atau “wajah luar” suatu tanda yang pertama
kali diindrai oleh manusia. Representamen juga merupakan ‘bentuk fisik sebuah
tanda’ (Marcel Danessi dalam T. Christomy, 2004: 123).
Kemampuan atau kadar representasi (kegiatan dalam kognisi manusia
untuk mengaitkan representamen dengan pengetahuan dan pengalamannya) tidak
sama. Pada tahap awal, tanda baru hanya dilihat sifatnya saja – yakni bahwa suatu
fenomena adalah tanda – dan disebut qualisign. Kita tahu bahwa apa yang kita
hadapi adalah tanda, tetapi kita belum mengetahui maknanya. Kemudian pada
tahap yang lebih lanjut, representasi tanda sudah berlaku untuk tempat dan waktu
tertentu, misalnya, menunjuk dengan jari, di sini, di sana) yang disebut sin(gular)
sign. Sebuah representamen kita kenali maknanya pada tempat dan waktu tertentu.
Akhirnya, sejumlah tanda berfungsi berdasarkan konvensi dalam suatu
masyarakat yang disebut legisign (Hoed, 2005: 14).
2.3.1.2 Objek
Objek merupakan sesuatu yang hadir atau ada di dalam diri (kognisi)
seseorang atau sekelompok orang. Representamen mengacu pada objeknya dan
Pierce membaginya atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon
adalah tanda yang hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat
kemiripan; misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukan
adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau
16
hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan.
Contoh yang paling jelas adalah asap sebagai tandanya api.
Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti
itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi simbol adalah tanda
yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan
diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi
(perjanjian masyarakat).
2.3.1.3 Interpretan
Interpretan merupakan tafsiran dari seseorang berdasarkan objek yang
dilihatnya sesuai dengan kenyataan yang menghubungkan antara representamen
dengan objek.
Oleh Pierce interpretan juga dibagi atas rheme, dicentsign, dan argument.
Rheme adalah tanda yang memungkinkan seseorang menafsirkan berdasarkan
pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa
orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki
insekta, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent sign atau dicisign adalah tanda
sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan raya sering terjadi kecelakaan,
maka di tepi jalan dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa disitu
sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan
alasan tentang sesuatu.
17
2.4 Tanda dan Semiosis
Pierce (dalam Hoed, 2001: 143 )mengemukakan bahwa semiosis
merupakan “tripple conection of sign, signified, cognition produced in the mind”.
Pada halaman yang sama Nöth mengutip lagi Pierce, ‘nothing is a sign unless it is
interpreted as a sign”. Kata sign memang berarti tanda, tetapi yang dimaksud
adalah representamen. Namun, sebenarnya yang menjadi fokus dalam kajian
semiotik adalah semiosis itulah dan bukan sekadar tanda. Pierce menyebut proses
semiosis seperti di atas sebagai proses “triadik” karena mencakup tiga unsur
secara bersama, yakni representamen (disingkat R), hal yang diwakilinya, kita
sebut objek (disingkat O), dan penafsiran yang terjadi pada pikiran seseorang pada
waktu menangkap R dan O kita sebut interpretan (disingkat I). Sebenarnya,
seluruh proses semiosis adalah proses kognisi karena semiosis terjadi hanya jika
ada proses kognisi itu.
Proses semiosis sebenarnya tidak ada hentinya. Demikian pula proses
kognisi, yaitu interpretasi, pada dasarnya dapat berjalan terus selama sebuah tanda
ditangkap dan diperhatikan. Secara teoretis hal itu digambarkan sebagai hubungan
antara representamen, objek, dan interpretan (I), yang I dapat berubah menjadi R
baru yang dikaitkan dengan O baru sehingga menghasilkan I baru, dan pada
gilirannya menjadi R baru dan seterusnya. Dengan demikian, proses triadik itu
berjalan terus menjadi suatu proses berlanjut atau proses gethok tular seperti pada
gambar di bawah ini.
18
Proses Semiosis Berlanjut
R1>O1>{I1>R2}>O2>{I2>R3}>O3>{O3>R4}...
O1 O2 O3 O4
R1 I1 / R2 I2 / R3 I3 / R4 I4 / R5...
Gambar Proses Semiosis atau Sistem Gethok Tular
(T. Christommy, 2004: 130)
Pada gambar di atas, {I1/R2}, {I2/R3}, dan {I3/R4} merupakan proses
kognisi, yaitu suatu hasil interpretasi beralih menjadi tanda baru yang mengacu
pada objek baru dan interpretan baru, dan begitu seterusnya. Namun, menurut Eco
(dalam Hoed:2001) proses semiosis tersebut mempunyai batasan. Proses semiosis
berlanjut pada akhirnya akan dibatasi oleh apa yang disebutnya sebagai
“consesual judement” (pendapat bersama). Ia mengemukakan bahwa meskipun
pada diri kita ada yang disebut sebagai “hermeneutik semiosis and drift”, yakni
suatu proses kognitif yang digambarkannya sebagai “everything can recall
everything else”, suatu tanda tidak berada dalam suatu kekosongan. Suatu tanda
berada dalam lingkungan budaya tertentu yang membatasi proses semiosis
berlanjut itu karena adanya kristalisasi yang membentuk penafsiran yang tetap
(interpretan yang tetap).
19
2.4.1 Relevansi Teori Semiotik Pierce dengan Objek Kajian
Dalam kehidupannya, manusia membutuhkan informasi. Pemenuhan
kebutuhan tersebut salah satu di antaranya didapat dari iklan. Setelah melihat dan
mendengar iklan, dalam diri manusia itu tentunya akan terjadi sebuah proses yang
dinamakan proses persepsi. Proses ini dapat dimaknai sebagai proses penerimaan
inderawi dan penafsirannya.
Pesan yang terdapat dalam iklan di televisi terdiri atas tanda verbal dan
nonverbal. Kemampuan kita dalam membaca bahasa tersebut (tanda verbal dan
nonverbal) merupakan sebuah proses berpikir berdasarkan pengetahuan yang
dimilikinya. Karakter utama bahasa iklan adalah melalui kekuatannya membentuk
pengalaman di dalam kognisi manusia. Oleh karena gempuran iklan yang terus
menerus maka proses pencerapan, penafsiran, dan pemahaman pun berjalan
sampai tak terbatas sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya.
Jadi, proses komunikasi yang terjadi dalam periklanan pasti melibatkan
suatu proses persepsi yang mengakibatkan terjadinya penafsiran yang berulang
sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya. Supaya penafsiran dalam iklan
itu terkendali maka dipilihlah sebuah metodologi yang secara runut dapat melihat
proses penafsiran tersebut, yaitu semiotik Pierce (dasar dari teori semiotik ini
adalah proses kognitif yang dinamakan dengan proses semiosis).
Iklan sebagai sebuah objek semiotika, mempunyai perbedaan mendasar
dengan desain yang bersifat tiga deminsional, khususnya desain produk. Iklan,
seperti media komunikasi massa pada umumnya, mempunyai fungsi “komunikasi
20
langsung”, sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi yang
tidak langsung. Oleh sebab itu, di dalam iklan aspek-aspek komunikasi seperti
“pesan” (messege) merupakan unsur utama iklan yang di dalam sebuah desain
produk hanya merupakan salah satu aspek saja dari berbagai aspek utama lainnya
(fungsi, manusia, produksi). Metode analisis semiotika iklan secara khusus telah
dikembangkan oleh para ahli periklanan, misalnya oleh Gillian Dyer, Torben
Vestergaard, dan Judith Williamson (Christomy, 2004: 96).
Dari pandangan ahli-ahli semiotika periklanan di atas, dapat dilihat bahwa
ada dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara
semiotis dari objek-objek desain lainnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu
berisikan unsur-unsur tanda berupa objek (object) yang diiklankan; konteks
(context) berupa lingkungan, orang, atau mahkluk lainnya yang memberikan
makna pada objek; serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna
(anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan.
Eco (dalam Hoed, 2001: 143) mengemukakan bahwa suatu teks
merupakan suatu : Karya terbuka (opera aperta), yang terbuka pada berbagai
interpretasi memlalui proses semiosis. Namun, Nöth (1987b, dan 1990)
berpendapat bahwa teks iklan adalah sebuah “teks tertutup” karena apa yang
berada di balik teks tersebut sudah dapat dipahami oleh penerima iklan. Jadi,
meskipun teks berbunyi belilah A. Namun, selanjutnya proses semiosis akan
membawa kita pada pengertian bahwa iklan adalah sebuah “teks yang terbuka”.
Hal yang sama dapat terjadi pada unsur nonverbal, misalnya ikon. Dengan
demikian, iklan akan didekati dan diterangkan dengan ancangan semiotik yang
21
prinsip-prinsipnya dikemukakan diatas, yakni sebagai gabungan pemakaian tanda
dengan representamen yang verbal dan nonverbal.
2.4.2 Teori Persuasi
Teori persuasi adalah bagian dari teori komunikasi. Iklan dapat dikaji dari
segi persuasi. Secara teoritis, persuasi didefinisikan sebagai upaya seseorang atau
sekelompok orang untuk mempengaruhi atau mengubah pandangan atau pendapat
seseorang atau sekelompok orang lain. Akan tetapi sebenarnya definisi itu masih
perlu dilengkapi. Persuasi adalah upaya mempengaruhi atau mengubah pendapat
yang terjadi dalam proses kommunikasi itu sendiri dan berakibat kepada
reorganisasi kognitif pada diri seseorang. Dengan demikian, persuasi tidak hanya
terjadi sesaat tetapi merupakan suatu proses yang berlanjut. Sebenarnya, hal itu
dapat selanjutnya diterangkan dengan mengkaji proses signifikasi yang terjadi
dalam kognisi seorang sebagai bagian dari proses semiosis.
2.4.3 Iklan dalam Tinjauan Semiotik
Iklan ditinjau dari semiotik sebagai suatu upaya menyampaikan pesan
dengan menggunakan seperangkat representamen dalam suatu sistem. Jika terjadi
hubungan antara representamen dengan yang diwakilinya maka representamen
yang sudah berkaitan dengan yang diwakilinya itu dapat disebut tanda. Dengan
demikian, semiotik memandang iklan sebagai tanda yang terdiri atas
representamen dan hal yang diwakili oleh iklan itu.
22
Tiga Jenis Representamen
Indeks (keterkaitan)
Ikon (kemiripan)
simbol (perjanjian)
Berdasarkan prinsip di atas, kita akan melihat iklan sebagai suatu
kesatuan representamen yang terdiri atas unsur verbal (unsur kebahasaan) dan
unsur nonverbal. Unsur verbal biasanya bersifat linear, sedangkan nonverbal
bersifat nonlinear. Unsur verbal mengambil waktu dan tidak mengikuti urutan
yang ketat dalam pemahamannya (Martinet dalam Hoed, 2001: 142).
Eco (dalam Hoed, 2001: 142) mengemukakan bahwa suatu teks
merupakan suatu karya terbuka (opera operta), yang terbuka pada berbagai
interpretasi melalui proses semiosis. Namun, Nöth (1995) berpendapat bahwa teks
iklan adalah sebuah teks tertutup karena apa yang berada di balik teks itu sudah
dipahami oleh penerima iklan. Jadi, meskipun teks berbunyi Nikmatilah A,
maknanya adalah Belilah A. Dengan demikian, iklan akan didekati dan
diterangkan dengan semiotik sebagai gabungan pemakaian tanda dengan
representamen yang verbal dan nonverbal.
2.5 Iklan
Iklan didefinisikan dalam KBBI sebagai (1) berita pesanan (untuk
mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang
ditawarkan; (2) pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang dan
jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar dan majalah
23
(KBBI, 2003: 322). Jadi, berbeda dengan sebuah informasi tentang sesuatu benda
atau jasa, iklan mempunyai sifat “mendorong” dan “membujuk” agar kita
menyukai, memilih, dan kemudian membeli produk yang ditawarkan iklan
tersebut.
Iklan adalah suatu kegiatan menyampaikan berita, tetapi berita itu
disampaikan atas pesanan pihak yang ingin agar produk atau jasa yang dijualnya
disukai, dipilih, dan dibeli. Iklan ditujukan kepada khalayak ramai. Dengan
demikian, iklan bukan merupakan komunikasi interpersonal, melainkan
nonpersonal. Komunikasi semcam ini digolongkan dalam komunikasi massa.
Namun, pada bagian ini kita akan melihat bahwa iklan biasanya tidak ditujukan
kepada seluruh khalayak ramai, tetapi pada bagian tertentu dari padanya.
Sudjana (1986: 1) memberikan batasan iklan sebagai “salah satu bentuk
komunikasi yang terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang
ditujukan kepada khalayak secara serempak agar memeroleh sambutan baik. Iklan
berusaha untuk memberikan informasi, membujuk, dan meyakinkan”.
Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas tanda verbal dan
nonverbal. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam radio, televisi,
dan film.
1) Indeks, Ikon, dan Simbol sebagai Representamen
Tanda yang digunakan dalam iklan ada dua jenis, yaitu yang verbal dan
nonverbal. Tanda verbal adalah bahasa yang kita kenal, tanda yang nonverbal
adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang secara tidak khusus
meniru rupa dan warna yang serupa atas bentuk realitas.
24
2) Objek
Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Dalam produk atau jasa, produk
atau jasa itulah objeknya. Di sini harus dicatat bahwa tanda verbal dan nonverbal
termasuk yang ikonis diciptakan agar dalam kognisi khalayak dihubungkan
dengan objek tersebut. Jadi, iklan berfungsi konatif, yakni menyampaikan pesan
dari pengirim (P1, pengiklan) kepada penerima (P2, kelompok sasaran) dengan
tujuan memengaruhi P2 agar menghubungkan representamen dengan objek
tertentu. Jadi, representamen dan objeknya ditentukan lebih dulu oleh P1. Selain
berfungsi sebagai konatif, iklan juga berfungsi fatik. Fungsi ini bermaksud
menarik perhatian khalayak untuk dibaca atau dilihat untuk dipahami isinya
(Hoed, 2001: 148).
2) Penafsiran Semiosis dalam Iklan
Yang penting dalam penciptaan iklan adalah penafsiran P2 dalam proses
interpretan. Jadi, sebuah kata seperti 3 (three) meskipun dasarnya mengacu pada
provider 3 (three), tetapi selanjutnya provider ini ditafsirkan sebagai ‘provider
semua kalangan’, ‘provider yang menyediakan sebuah keceriaan dan kemudahan
bagi para penggunanya, dan seterusnya. Penafsiran yang bertahap-tahap itu
merupakan segi penting dalam iklan. Proses ini disebut sebagai semiosis.
2.5.1 Positioning
Positioning adalah suatu proses atau upaya untuk menempatkan suatu
produk, merek, perusahaan, individu, atau apa saja dalam alam pikiran mereka
yang dianggap sebagai sasaran atau konsumennya. Upaya ini dianggap perlu
karena situasi masyarakat atau pasar konsumen sudah over communicated (Kasali,
25
1995: 12). Supaya lebih dapat dipahami dalam konteks semiotika, positioning
diartikan sebagai penempatan suatu produk dalam citra khalayak sasaran iklan.
Konsep positioning dapat digunakan sebagai strategi dalam kampanye
periklanan. Menurut Aecker (dalam Kasali, 1995: 12) terdapat beberapa cara
untuk melakukan strategi positioning. Strategi ini dapat diterapkan melalui
berbagai hal berikut:
1) penonjolan karakteristik produk,
2) penonjolan harga dan mutu,
3) penonjolan penggunaannya,
4) positioning menurut pemakaiannya,
5) positioning menurut kelas produk,
6) positioning dengan menggunakan simbol-simbol budaya, dan
7) positioning langsung terhadap pesaing.
2.6.2 Tipografi
Tipografi adalah seni memilih jenis huruf, dari ratusan jumlah rancangan
atau desain huruf yang tersedia; menggabungkannya dengan jenis huruf yang
berbeda; menggabungkan sejumlah kata yang sesuai dengan ruang yang tersedia;
menandai naskah untuk proses typesetting, menggunakan ketebalan dan ukuran
huruf yang berbeda (Jefkins, 1996: 36).
Tipografi yang baik mengarahkan pada keterbacaan, kemenarikan, dan
desain huruf tertentu dapat menciptakan gaya (style) dan karakter atau menjadi
karakteristik subjek yang diiklankan. Menurut James Craig (dalam Kasali, 1995:
14) terdapat lima jenis huruf yang mencitrakan hal yang berbeda, yaitu:
26
1) Roman
Ciri dari huruf ini adalah memiliki sirip/kaki/serif yang berbentuk lancip
pada ujungnya. Kesan yang ditimbulkan adalah klasik, anggun, lemah gemulai
dan feminin.
2) Egyptian
Ciri dari huruf ini adalah memiliki sirip/kaki/serif yang berbentuk persegi
seperti papan. Jenis huruf ini mencitrakan kokoh, kuat, kekar, dan stabil.
3) San Serif
Pengertian san serif adalah tanpa sirip/kaki. Jenis huruf ini mencitrakan modern,
kontemporer, dan efisien.
4) Script
Huruf ini menyerupai goresan tangan yang dikerjakan dengan pena, kuas
atau pensil tajam dan biasanya miring ke kanan. Jenis huruf ini mencitrakan sifat
pribadi dan akrab.
5) Miscellaneous
Huruf jenis ini merupakan pengembangan dari bentuk-bentuk yang sudah
ada. Ditambah hiasan dan ornamen, atau garis-garis dekoratif. Jenis huruf ini
mencitrakan dekoratif dan ornamental.
2.6.3 Warna
Warna memegang peranan penting dalam sebuah iklan, yakni untuk
mempertegas dan memperkuat kesan atau tujuan dari iklan tersebut. Warna juga
mempunyai fungsi untuk memperkuat aspek identitas.
27
Menurut pakar Psikologi, J. Linschoten dan Mansyur (dalam Kasali,
1995: 87) warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya dapat diamati saja, warna
itu memengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam penilaian estetis
dan turut menentukan suka tidaknya kita terhadap berbagai benda.
Di bawah ini dipaparkan potensi karakter warna yang mampu
memberikan kesan pada seseorang, antara lain sebagai berikut.
1) Hitam, sebagai warna tertua dengan sendirinya menjadi lambang
kegelapan (hal emosi), berkabung, misterius, konservatif, berwibawa, dan
berbobot.
2) Putih, sebagai warna paling terang, melambangkan cahaya, suci,
elegan, bersih, segar-murni, dan sportif.
3) Abu-abu, merupakan warna yang paling netral dengan tidak adanya
sifat atau kehidupan spesifik, maskulin, serius, netral, dan daya tarik.
4) Merah, bersifat menaklukkan, semangat, ekspansif (meluas),
dominan (berkuasa), aktif , dinamis,dan vital.
5) Kuning, dengan sinarnya yang bersifat kurang dalam, merupakan
wakil dari hal atau benda yang bersifat cahaya, momentum, dan mengesankan
sesuatu. Di samping itu, kuning juga melambangkan kesan hangat, kegembiraan,
keceriaan, kemeriahan, dan pencerahan.
6) Biru, melambangkan kesan tenang, sendu dan ilmu pengetahuan.
Warna ini juga menimbulkan kesan dalamnya sesuatu (dediepte), sifat yang tak
terhingga dan transenden. Di samping itu, warna ini juga memiliki sifat tantangan.
28
7) Hijau, mempunyai sifat keseimbangan dan selaras, membangkitkan
ketenangan dan tempat mengumpulkan daya-daya baru.
8) Oranye melambangkan kesan kekuatan, kehangatan, aktivitas,
keramah-tamahan, dan kegembiraan.
2.6.4 Garis
Garis merupakan benda dua dimensi tipis memanjang. Garis memiliki
kemampuan untuk mengungkapkan suasana. Suasana yang tercipta dari sebuah
garis terjadi karena proses stimulasi dari bentuk-bentuk sederhana yang sering kita
lihat di sekitar kita, yang terwakili dari bentuk garis tersebut.
Menurut James Craig (dalam Kasali, 1995: 56) garis mempunyai makna
beserta asosiasi yang ditimbulkannya.
1) Horizon : memberi sugesti ketenangan atau hal yang tak
bergerak.
2) Vertikal : stabilitas, kekuatan atau kemegahan.
3) Diagonal : tidak stabil, sesuatu yang bergerak atau dinamika.
4) Lengkung S : grace, keanggunan.
5) Zig-zag : bergairah, semangat, dinamika atau gerak cepat.
6) Pyramid : stabil, megah, dan kuat.
7) Spiral : kelahiran atau generative forces.
8) Rounded Arch : lengkung bulat mengesankan kekokohan.
29
2.7 Pengaruh Komunikasi Periklanan
Dampak komunikasi periklanan adalah dampak pada reorganisasi kognisi
yang terjadi dalam proses semiosis, yaitu komponen interpretan yang membentuk
opini seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu produk atau jasa yang
diiklankan. Menurut Hoed (2001: 142), apabila pembentukan opini ini terjadi
tentang suatu jenis produk atau jasa dan kekerapannya cukup tinggi maka dapat
dikatakan mulai terjadi suatu proses transformasi budaya. Dampak komunikasi
periklanan bermacam-macam, tetapi di antara beberapa yang penting adalah
totemisme, individualisme semu, penerjemahan budaya, dan transformasi budaya.
2.7.1 Totemisme
Totemisme adalah suatu konsep dalam antropologi yang mengemukakan
bahwa sekelompok orang dalam suatu masyarakat mengidentifikasikan diri
mereka dengan suatu benda (totem) yang dengan demikian merasa mempunyai
satu rujukan bersama.
Lebih lanjut Hoed (2001: 154) menjelaskan bahwa totem adalah unsur
budaya yang ada dalam masyarakat primitif, biasanya berbentuk patung tanaman
atau hewan yang terbuat dari kayu yang diukir. Fungsi totem adalah sebagai
tanda bagi suatu keluarga atau suku yang biasanya menjadi peringatan akan asal
usul suku atau nenek moyang keluarga atau suku itu. Jadi, totem adalah tanda
jenis simbol karena merujuk pada makna tertentu (misalnya,’keperkasaan’) yang
membentuk ikatan pada sekelompok masyarakat secara konvensional. Totemisme
adalah sistem konvensional yang hidup dan berkembang berdasarkan kepercayaan
pada totem sebagai rujukan suatu ikatan kekerabatan.
30
Iklan mempunyai fungsi memperkenalkan barang atau jasa yang ditawarkan
kepada masyarakat, baik untuk dibeli ataupun untuk dipakai tanpa dibeli. Iklan
mewakili suatu makna tertentu yang oleh pembuatnya ingin disampaikan kepada
khalayak sasaran, yakni kelompok tertentu dalam masyarakat.
Totemisme yang dimaksud di sini tidak sama dengan pengertian seperti
yang ada pada zaman primitif. Namun, pada prinsipnya terdapat keserupaan
dalam hal sifatnya yang ‘mengikat’ kelompok masyarakat dengan suatu simbol.
Seperti telah dikemukakan, kita akan melihat produk yang diiklankan sebagai
tanda jenis simbol. Namun, konvensi mendasari simbol ini dibentuk melalui
sugesti yang ditimbulkan sehingga diharapkan menimbulkan kesepakatan yang
menjadi dasar bagi suatu konvensi untuk menerima suatu merek menjadi
semacam ‘totem’.
Ditinjau dari proses semiosis maka totem merupakan representamen yang
mengacu kepada objek dan interpretan tertentu. Konsep pembentukan totem gaya
baru adalah dengan mengaitkan simbol-simbol yang mengungkapkan simbol
komoditas A dengan makna ‘jadilah anggota kelompok pemakai komoditas A’.
Jadi, A adalah merek atau sifat-sifat khas komoditas tertentu yang akan dijadikan
pusat perhatian dan dijadikan ‘simbol ikatan’ calon konsumen dalam suatu
‘keluarga’ penggemar komoditas A itu. Jika upaya ini berhasil maka A akan
berfungsi sebagai totem bagi para penggemarnya.
2.7.2 Individualisme Semu
Sejumlah iklan seolah-olah menggiring kita pada individualisme. Apakah
sebenarnya individualisme itu? KBBI (halaman 329) mendefinisikan sebagai
31
“paham yang menganggap manusia secara pribadi perlu diperhatikan
(kesanggupan dan kebutuhannya tidak boleh disamaratakan)”.
Dalam memandang individualisme, Hoed (2001: 159) melihatnya dari
beberapa segi. Pertama, individualisme sebenarnya bukan suatu konsep yang
statis. Ia mengandung pengertian kemampuan untuk membentuk jati diri dan
kemampuan seseorang dalam berinteraksi di masyarakat. Jadi, inti individualisme
pada manusia mengandung makna kadar otonomi yang tinggi menghadapi
konsep-konsep supraindividual. Kedua, dalam masyarakat modern yang kapitalis,
individualisme bertentangan dengan sifat kapitalisme yang akhirnya cenderung
menyeragamkan masyarakat. Ditinjau dari segi ini, kapitalisme tampaknya tidak
berbeda dengan komunisme.
2.7.3 Penerjemahan Budaya
Penerjemahan budaya (cultural translation atau intercultural translation)
dikemukakan Finnegan dan Horton (Hoed, 2001: 161), yakni penafsiran suatu
konsep asing oleh suatu masyarakat dengan konsepnya sendiri. Ini terjadi pada
beberapa iklan yang kemudian terpaksa ditarik dari peredaran.
2.5.4 Transformasi Budaya
Istilah transformasi budaya menurut Hoed (2001: 162) mengandung arti
bahwa kehidupan dalam masyarakat kita telah dan/atau sedang mengalami
perubahan. Sepanjang sejarah, manusia dalam masyarakatnya menjalani
pengalaman, dalam pengalaman itu manusia merasakan realitas fisik dan
menerima pengetahuan.
32
Di dalam masyarakat, manusia berinteraksi satu sama lain dan interaksi itu
menambah pengalamannya. Akan tetapi, manusia tidak selalu mengalami realitas
fisik dan menerima pengetahuan itu secara langsung. Ia menerima pengalamannya
melalui suatu perantara (medium). Jadi, pengalaman itu diterimanya secara tidak
langsung melalui apa yang disebut medium (komunikasi) itu. Dengan adanya
kemajuan teknologi, khususnya komunikasi elektronik, yakni televisi maka
penyampaian realitas melalui medium itu menjadi lebih cepat dan, yang sangat
penting, semakin lebih mendekati pengalaman aslinya.
Lepas dari tingkat pendidikan seseorang, teralihnya pengalaman melalui
medium komunikasi itu membuat setiap orang menggunakan kemampuan
kognitifnya, yaitu kemampuan untuk menangkap pengalaman dengan otaknya
sehingga ia dikatakan mempunyai pengetahuan tentang realitas tertentu.
Pengetahuan itu, pada gilirannya, dapat menentukan corak prilakunya.
Transformasi budaya merupakan perubahan pola tingkah laku yang
disebabkan oleh adanya sejumlah pengalaman baru yang langsung atau tidak
langsung menjadi pengetahuan sekelompok orang yang menjadi anggota suatu
masyarakat. Jadi, pengetahuan baru itu telah mengakibatkan perubahan pada
tingkat kognisi yang dimiliki secara kolektif oleh suatu masyarakat budaya.
Sistem nilai juga erat hubungannya dengan totemisme. Iklan tidak jarang
mencoba mengubah sistem nilai sekelompok orang dalam masyarakat. Ini
merupakan persuasi iklan, yakni agar tercapai reorganisasi kognitif pada
kelompok sasaran iklan. Jika reorganisasi kognitif terjadi pada sekelompok
33
anggota masyarakat maka dapat dikatakan bahwa transformasi budaya telah
terjadi.
Iklan sebagai sebuah objek semiotika, mempunyai perbedaan mendasar
dengan desain yang bersifat tiga deminsional, khususnya desain produk. Iklan,
seperti media komunikasi massa pada umumnya, mempunyai fungsi “komunikasi
langsung”, sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi yang
tidak langsung. Oleh sebab itu, di dalam iklan aspek-aspek komunikasi seperti
“pesan” (messege) merupakan unsur utama iklan yang di dalam sebuah desain
produk hanya merupakan salah satu aspek saja dari berbagai aspek utama lainnya
(fungsi, manusia, produksi). Metode analisis semiotika iklan secara khusus telah
dikembangkan oleh para ahli periklanan, misalnya oleh Gillian Dyer, Torben
Vestergaard, dan judith Williamson (Christomy, 2004: 96).
Dari pandangan ahli-ahli semiotika periklanan di atas, dapat dilihat bahwa
ada dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara
semiotis dari objek-objek desain lainnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu
berisikan unsur-unsur tanda berupa objek (object) yang diiklankan; konteks
(context) berupa lingkungan, orang, atau mahkluk lainnya yang memberikan
makna pada objek; serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna
(anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan.
Eco (dalam Hoed, 2001: 143) mengemukakan bahwa suatu teks
merupakan suatu : Karya terbuka (opera aperta), yang terbuka pada berbagai
interpretasi memlalui proses semiosis. Namun, Nöth (1987b, dan 1990)
berpendapat bahwa teks iklan adalah sebuah “teks tertutup” karena apa yang
34
berada di balik teks tersebut sudah dapat dipahami oleh penerima iklan. Jadi,
meskipun teks berbunyi belilah A. Namun, selanjutnya proses semiosis akan
membawa kita pada pengertian bahwa iklan adalah sebuah “teks yang terbuka”.
Hal yang sama dapat terjadi pada unsur nonverbal, misalnya ikon. Dengan
demikian, iklan akan didekati dan diterangkan dengan ancangan semiotik yang
prinsip-prinsipnya dikemukakan diatas, yakni sebagai gabungan pemakaian tanda
dengan representamen yang verbal dan nonverbal.

Tinjauan Teoritik tentang Semiotik

Tinjauan Teoritik tentang Semiotik
Ni Wayan Sartini
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Airlangga
Abstract
Although interests in signs and the way people communicate have had a long history, modern semiotic
analysis can be said to have begun with two names, namely Swiss linguist Ferdinand de Saussure and
American philosopher Charles Sanders Peirce. Although both were concerned with signs, they differed to
each other in some respect. Saussure, for example, divided sign into two compon ents, the signifier and the
signified, and suggested that the relationship between signifier and signified was crucial and important for
the development of semiotics.
Keyword: semiotic, semiology, sign, signifier, signified.
Sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan
masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling memahami
tentang suatu hal. Apa yang perlu dipahami? Banyak hal salah satunya adalah tanda. Supaya
tanda itu bisa dipahami secara benar dan sama mem-butuhkan konsep yang sama supaya tidak
terjadi misunderstanding atau salah pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak
selamanya bisa dipahami secara benar dan sama di antara masyara -kat. Setiap orang memiliki
interpretasi makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai alasan yang melatar -belakangi-nya.
Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik ( the study of signs). Masyarakat selalu
bertanya apa yang dimaksud dengan tanda? Banyak tanda dalam kehidupan sehari -hari kita
seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda -tanda lainnya.
Semiotik meliputi studi seluruh tanda -tanda tersebut sehingga masyarakat berasumsi bahwa
semiotik hanya meliputi tanda-tanda visual (visual sign). Di samping itu sebenarnya masih
banyak hal lain yang dapat kita jelaskan seperti tanda yang dapat berupa gambaran, lukisan dan
foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni dan fotografi. Atau tanda juga bisa mengacu pada
kata-kata, bunyi-bunyi dan bahasa tubuh (body language). Untuk memahami semiotik lebih jauh
ada baiknya kita membahas beberapa tokoh semiotik dan pemikiran -pemikirannya dalam
semiotik.
Tokoh Semiotik
Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada,hampir sebagian besar menyebutkan
bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure
(1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak
dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).
Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914)
seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan
behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah
Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993),
Christian Metz (193 - 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de
Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan
Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan
Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal i tu
didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan
sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan
unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur
dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Semiotik
sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan -
hubungan internal bagian-bagian dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan
penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme dalam
konteks perkem-bangan kajian budaya harus dilakukan dalam kontek s perkembangannya ke
semiotik yang seolah-olah lahir sesu-dahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam
kuliah-kuliah Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotik (oleh
de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat)
(Hoed, 2002:1). Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak
dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan budaya. Perkembangan dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yakni yang
sifatnya melanjutkan sehingga ciri -ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan
yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan ke -budayaan
sebagai sistem tanda (evolusi).
Makna Kata ‘Tanda’
Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem
dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi
yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh
kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas
dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang
mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada
hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini
disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubung -an itu adalah mufakat
(konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by society to enable members of society
to use their language faculty (de Saussure, 1986:10).
Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemu -fakatan
(konvensi) di atas dasar yang tak beralasan ( unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai
contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi
dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adany a batas-batas
(boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang
mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi
bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda selalu akan lepas dar i jang-kauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat
sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda
lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran para -digmatik
maupun sintagmatik. Ini dimung-kinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de
Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak
diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is
not (Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing.
Dengan demikian ilmu yang mempe -lajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is
concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotics adalah studi yang tidak hanya
merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang
merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects. Sementara
de Saussure me-nyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda -tanda
sebagai bagian dari kehidupan sosial ( a science which studies the role of signs as a part of social
life). Bagi Peirce (1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to
logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some
respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign.
van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda. Pertama, tanda harus dapat diamati agar
dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada
orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding
pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang -kerang yang sedemikian rupa
sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk
orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa
kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita mengangg ap dan menginterpretasikannya
sebagai tanda.
Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat
ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera
kecil atau kita dengar dari orang lain.
Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg
merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’,
‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’.
Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung
dengan sifat inter-pretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat
adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk -duduk orang
Jerman’.
Kelima, sesuatu hanya dapat merupa -kan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya
dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena
kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu
membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di
Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan
peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud
dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas
dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau
berdasarkan pengalaman pribadi.
Semiotik
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang
berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau
asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95).
Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara
terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi
tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek -
obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984:6)
mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian
disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan
aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam
masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan
tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada
abad kedua puluh.
Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah di -warnai
dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de de
Saussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839 -
1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah
menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure
berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda. Seperti
telah disebut-kan di depan bahwa de Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in
General Linguistics (1913).
Dalam buku itu de Saussure memba -yangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda -tanda dalam
masyarakat. Ia juga menjelas -kan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah
satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the
linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign . Kombinasi
antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign). Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua
yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa
hubungan antara keduanya adalah arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia
membawa makna atau selama berfung si sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan
dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (de
Saussure, 1988:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat
berperan sebagai model untuk se-miologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan
konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang
sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain -lainya.
Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya
filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada
tulisan de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih l azim dalam
dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental.
Siapakah Peirce? Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal
dan multidimensioanl. Bagi teman -teman sejamannya ia terlalu orisional. Dalam kehidupan
bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam
kemiskin-an Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman -temannya.
Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian
besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul
Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of Charles
Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid
yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce.
Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia
itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka
diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika.
Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat
tanda sebagai unsur dalam komunikasi.
Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya sesuai
cara eksistensi dari apa yang mungkin (van Zoest, 1993:10). Dalam analisis semiotiknya Peirce
membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan
legisigns. Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh,
sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Sinsigns
adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampiln ya dalam kenyataan. Semua pernyataan
individual yang tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan,
keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar
suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah
sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan
sebagainya.
Untuk tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik,
indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang
serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang
melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya, sedangkan simb ol
adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah
lazim digunakan dalam masyarakat. Tabel berikut menunjukkan hubungan ketiganya.
Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, d an tidak memiliki ciriciri
struktural sama sekali (Hoed, 2002:21). Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat
reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represent
ssomething else). Proses pemakna-an tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu
representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi
secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Ke -mudian I
adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O.
Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga inter -pretattif. Teori
Peirce tentang tanda mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan
sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa
Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed (2002:25),
apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan,
maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu
cerobong pabrik (O).
Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik ban mobil. Tanda seperti
itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam
pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang
membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjut -nya adalah
menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut
ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas.
Akhirnya apabila di tepi pantai se -seorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya
ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa ‘adalah
berbahaya untuk berenang disitu’ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara
R dan O bersifat konvensional.
Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap -tahap. Ada tahap
kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness
adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain , keberadaan dari
kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai
secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda dimaknai secara tetap sebagai
kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudaya -an kadar
pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut.
Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah Roland
Barthes (1915 - 1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang karya -
karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes komponen -
komponen tanda penanda - petanda terdapat juga pada tanda -tanda bukan bahasa antara lain
terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan si stem citra dan kepercayaan yang dibentuk
masyarakat untuk memp-ertahankan dan menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988).
Selanjutnya Barthes (1957 dalam de Saussure) menggunakan teori signifiant - signifie yang
dikembangkan menjadi teori tentang metabaha sa dan konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi
(E) dan signifie menjadi isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada
relasi (R) ter-tentu, sehingga membentuk tanda ( sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori ten -
tang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut
Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu
dengan isi yang sama. Pengem-bangan ini disebut sebagai gejala meta -bahasa dan membentuk
apa yang disebut kesinoniman (synonymy).
Setiap tanda selalu memperoleh pe -maknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi
dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangan -nya disebut sistem sekunder.
Sistem sekunder ke arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut
konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak
hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai tanda dan
situasi pemahamannya.
Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan sebagai (aspek
emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes demikian juga model
De de Saussure tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan,
tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan.
Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya
juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semios is, tetapi juga
menerapkan pendekatan konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia
mencari arti ’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993:4).
Aliran semiotik yang dipelopori oleh Julia Kristeva dise but semiotika eksplanatif. Ciri aliran
ini adalah adanya sasaran akhir untuk mengambil alih kedudukan filsafat. Karena begitu
terarahnya pada sasaran, semiotik ini terkadang disebut ilmu total baru ( de nieuwe
totaalwetwnschap). Dalam semiotik ini pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya. Tempat
itu diduduki oleh pengertian produksi arti.
Penelitian yang menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionalis,
diganti oleh penelitian yang disebut praktek arti ( betekenis praktijk). Para ahli semiotika jenis ini
tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurkan analisis mereka dengan
pengertian-pengertian dari dua aliran hermeutika yang sukses zaman itu, yakni psikoanalisis dan
marxisme (van Zoest, 1993:5).
Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture is constructed as a
hierarchy of semantic systems (Lotman, 1971:61). Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena
hirarki sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam konteks
sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai dunia
simbolik yang menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau
pemakaian, (5) wilayah makna. Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu masyarakat
bahasa salah satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem kode yang
digunakannya.
Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode dan pemakaiannya, lebih
lanjut juga menjadi dasar dalam komunikasi antar -anggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam
kegiatan komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, pastilah
dilakukan identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak terbatas pada tanda kebahasaan,
tetapi juga terhadap tanda berupa b unyi prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri.
Dengan adanya identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik
bagi penutur maupun bagi penanggapnya.
Macam-macam Semiotik
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang
(Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif,
faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.
Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan
bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat
dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang
mengacu pada obyek tertentu.
Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami
sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Semiotik
faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang
dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas
sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore). Semiotik natural atau
semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif
merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang
berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang
rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
Bahasa Sebagai Sistem Semiotik
Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena
keberadaan makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan hubungan antar -lambang kebahasaan itu
sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya.
Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal.
Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan
komunikasi, juga untuk mengolah informasi dan dialog antar -diri sendiri.
Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1) karakteristik hubungan
antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya, (2) hubungan antar -bentuk
kebahasaan dengan dunia luar yang di -acunya, (3) hubungan antara kode dengan pemakainya.
Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda kebahasaan
maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam komunikasi masuk dalam ruang
lingkup semiotik (Aminuddin, 1988:37).
Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam
sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut adalah: (1)
sintaktik, yakni komponen yang be rkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya,
(2) semantik, yakni unsur yang ber -kaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan
dunia luar yang diacunya, (3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan
dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia dapat
dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media non -bahasa atau nonverbal.
Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel dibedakan
pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud kalimat perintah
dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan lewat pemakaian bunyi suprasegmental atau
pemunculan kinesik, yakni gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah
penataan kalimat selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah
penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu
bahasa. Pada sisi lain makna sebagai label yang mengacu realitas tertentu juga memiliki sistem
hubungannya sendiri (Aminuddin, 1988:38).
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai ( user atau interpreter),
menjadi bagian dari sistem semiotik sehi ngga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena
keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih luas lagi keberadaan
suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat
pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan pernyataan
bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s
(1981: 171) mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the underlying system of
language, not on the parole.
Daftar Pustaka
Abrams, M.H., A Glosary of Literary Term (New York: Holt, Rinehart and Wiston, 1981)
Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna (Bandung: Sinar Baru, 1988)
Budiman, Manneke, “Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak (Jakarta:
Wedatama Widya Sastra, 2002)
de De de Saussure, F., Course in General Linguistics , (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1988)
Hoed, Benny H., “Strukturalisme, Prag -matik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam
Indonesia: Tanda yang Retak (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002)
Pateda, Mansoer, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta)
Sobur, Alex, Analisis Teks Media (Ban-dung: Remaja Rosdakarya, 2004)
Teew, A., Khasanah Sastra Indonesia (Ja-karta: Balai Pustaka, 1984)
Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan
Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)

Gambaran Umum Ilmu Bahasa (Linguistik) Oleh: Deny A. Kwary


Gambaran Umum Ilmu Bahasa (Linguistik)
Oleh: Deny A. Kwary

I. Pendahuluan

Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of English (2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:
The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.”
Program studi Ilmu Bahasa mulai jenjang S1 sampai S3, bahkan sampai post-doctoral program telah banyak ditawarkan di universitas terkemuka, seperti  University of California in Los Angeles (UCLA), Harvard University, Massachusett Institute of Technology (MIT), University of Edinburgh, dan Oxford University. Di Indonesia, paling tidak ada dua universitas yang membuka program S1 sampai S3 untuk ilmu bahasa, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Katolik Atma Jaya.

II. Sejarah Perkembangan Ilmu Bahasa

Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang bahasa sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi tentang bahasa dapat dibedakan antara (1) tata bahasa tradisional dan (2) linguistik modern.
2. 1 Tata Bahasa Tradisional
Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa – apakah bahasa mirip realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.
Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke masalah keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut pendapat adanya keteraturan bahasa adalah kaum analogis yang pandangannya tidak berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang berpendapat adanya ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan kaum anomalis mempengaruhi pengikut aliran Stoic. Kaum Stoic lebih tertarik pada masalah asal mula bahasa secara filosofis. Mereka membedakan adanya empat jenis kelas kata, yakni nomina, verba, konjungsi dan artikel.
Pada awal abad 3 SM studi bahasa dikembangkan di kota Alexandria yang merupakan koloni Yunani. Di kota itu dibangun perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan. Para ahli dari kota itu yang disebut kaum Alexandrian meneruskan pekerjaan kaum Stoic, walaupun mereka sebenarnya termasuk kaum analogis. Sebagai kaum analogis mereka mencari keteraturan dalam bahasa dan berhasil membangun pola infleksi bahasa Yunani. Apa yang dewasa ini disebut "tata bahasa tradisional" atau " tata bahasa Yunani" , penamaan itu tidak lain didasarkan pada hasil karya kaum Alexandrian ini.
Salah seorang ahli bahasa bemama Dionysius Thrax (akhir abad 2 SM) merupakan orang pertama yang berhasil membuat aturan tata bahasa secara sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia, partisipel, pronomina dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibuat oleh kaum Stoic. Di samping itu sarjana ini juga berhasil mengklasifikasikan kata-kata bahasa Yunani menurut kasus, jender, jumlah, kala, diatesis (voice) dan modus.
Pengaruh tata bahasa Yunani sampai ke kerajaan Romawi. Para ahli tata bahasa Latin mengadopsi tata bahasa Yunani dalam meneliti bahasa Latin dan hanya melakukan sedikit modifikasi, karena kedua bahasa itu mirip. Tata bahasa Latin dibuat atas dasar model tata bahasa Dionysius Thrax. Dua ahli bahasa lainnya, Donatus (tahun 400 M) dan Priscian (tahun 500 M) juga membuat buku tata bahasa klasik dari bahasa Latin yang berpengaruh sampai ke abad pertengahan.
Selama abad 13-15 bahasa Latin memegang peranan penting dalam dunia pendidikan di samping dalam agama Kristen. Pada masa itu gramatika tidak lain adalah teori tentang kelas kata. Pada masa Renaisans bahasa Latin menjadi sarana untuk memahami kesusastraan dan mengarang. Tahun 1513 Erasmus mengarang tata bahasa Latin atas dasar tata bahasa yang disusun oleh Donatus.
Minat meneliti bahasa-bahasa di Eropa sebenarnya sudah dimulai sebelum zaman Renaisans, antara lain dengan ditulisnya tata bahasa Irlandia (abad 7 M), tata bahasa Eslandia (abad 12), dan sebagainya. Pada masa itu bahasa menjadi sarana dalam kesusastraan, dan bila menjadi objek penelitian di universitas tetap dalam kerangka tradisional. Tata bahasa dianggap sebagai seni berbicara dan menulis dengan benar. Tugas utama tata bahasa adalah memberi petunjuk tentang pemakaian "bahasa yang baik" , yaitu bahasa kaum terpelajar. Petunjuk pemakaian "bahasa yang baik" ini adalah untuk menghindarkan terjadinya pemakaian unsur-unsur yang dapat "merusak" bahasa seperti kata serapan, ragam percakapan, dan sebagainya.
Tradisi tata bahasa Yunani-Latin berpengaruh ke bahasa-bahasa Eropa lainnya. Tata bahasa Dionysius Thrax pada abad 5 diterjemahkan ke dalam bahasa Armenia, kemudian ke dalam bahasa Siria. Selanjutnya para ahli tata bahasa Arab menyerap tata bahasa Siria.
Selain di Eropa dan Asia Barat, penelitian bahasa di Asia Selatan yang perlu diketahui adalah di India dengan ahli gramatikanya yang bemama Panini (abad 4 SM). Tata bahasa Sanskrit yang disusun ahli ini memiliki kelebihan di bidang fonetik. Keunggulan ini antara lain karena adanya keharusan untuk melafalkan dengan benar dan tepat doa dan nyanyian dalam kitab suci Weda.
Sampai menjelang zaman Renaisans, bahasa yang diteliti adalah bahasa Yunani, dan Latin. Bahasa Latin mempunyai peran penting pada masa itu karena digunakan sebagai sarana dalam dunia pendidikan, administrasi dan diplomasi internasional di Eropa Barat. Pada zaman Renaisans penelitian bahasa mulai berkembang ke bahasa-bahasa Roman (bahasa Prancis, Spanyol, dan Italia) yang dianggap berindukkan bahasa Latin, juga kepada bahasa-bahasa yang nonRoman seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Swedia, dan Denmark.

2. 2 Linguistik Modern
2. 2. 1 Linguistik Abad 19
Pada abad 19 bahasa Latin sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam pemerintahan atau pendidikan. Objek penelitian adalah bahasa-bahasa yang dianggap mempunyai hubungan kekerabatan atau berasal dari satu induk bahasa. Bahasa-bahasa dikelompokkan ke dalam keluarga bahasa atas dasar kemiripan fonologis dan morfologis. Dengan demikian dapat diperkirakan apakah bahasa-bahasa tertentu berasal dari bahasa moyang yang sama atau berasal dari bahasa proto yang sama sehingga secara genetis terdapat hubungan kekerabatan di antaranya. Bahasa-bahasa Roman, misalnya secara genetis dapat ditelusuri berasal dari bahasa Latin yang menurunkan bahasa Perancis, Spanyol, dan Italia.
Untuk mengetahui hubungan genetis di antara bahasa-bahasa dilakukan metode komparatif. Antara tahun 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya. Pada tahun 1870 itu para ahli bahasa dari kelompok Junggramatiker atau Neogrammarian berhasil menemukan cara untuk mengetahui hubungan kekerabatan antarbahasa berdasarkan metode komparatif.
Beberapa rumpun bahasa yang berhasil direkonstruksikan sampai dewasa ini antara lain:
1.      Rumpun Indo-Eropa: bahasa Jerman, Indo-Iran, Armenia, Baltik, Slavis, Roman, Keltik, Gaulis.
2.      Rumpun Semito-Hamit: bahasa Arab, Ibrani, Etiopia.
3.      Rumpun Chari-Nil; bahasa Bantu, Khoisan.
4.      Rumpun Dravida: bahasa Telugu, Tamil, Kanari, Malayalam.
5.      Rumpun Austronesia atau Melayu-Polinesia: bahasa Melayu, Melanesia, Polinesia.
6.      Rumpun Austro-Asiatik: bahasa Mon-Khmer, Palaung, Munda, Annam.
7.      Rumpun Finno-Ugris: bahasa Ungar (Magyar), Samoyid.
8.      Rumpun Altai: bahasa Turki, Mongol, Manchu, Jepang, Korea.
9.      Rumpun Paleo-Asiatis: bahasa-bahasa di Siberia.
10.  Rumpun Sino-Tibet: bahasa Cina, Thai, Tibeto-Burma.
11.  Rumpun Kaukasus: bahasa Kaukasus Utara, Kaukasus Selatan.
12.  Bahasa-bahasa Indian: bahasa Eskimo, Maya Sioux, Hokan
13.  Bahasa-bahasa lain seperti bahasa di Papua, Australia dan Kadai.
Ciri linguistik abad 19 sebagai berikut:
1)          Penelitian bahasa dilakukan terhadap bahasa-bahasa di Eropa, baik bahasa-bahasa Roman maupun nonRoman.
2)          Bidang utama penelitian adalah linguistik historis komparatif. Yang diteliti adalah hubungan kekerabatan dari bahasa-bahasa di Eropa untuk mengetahui bahasa-bahasa mana yang berasal dari induk yang sama. Dalam metode komparatif itu diteliti perubahan bunyi kata-kata dari bahasa yang dianggap sebagai induk kepada bahasa yang dianggap sebagai keturunannya. Misalnya perubahan bunyi apa yang terjadi dari kata barang, yang dalam bahasa Latin berbunyi causa menjadi chose dalam bahasa Perancis, dan cosa dalam bahasa Italia dan Spanyol.
3)          Pendekatan bersifat atomistis. Unsur bahasa yang diteliti tidak dihubungkan dengan unsur lainnya, misalnya penelitian tentang kata tidak dihubungkan dengan frase atau kalimat.

2. 2. 2 Linguistik Abad 20
Pada abad 20 penelitian bahasa tidak ditujukan kepada bahasa-bahasa Eropa saja, tetapi juga kepada bahasa-bahasa yang ada di dunia seperti di Amerika (bahasa-bahasa Indian), Afrika (bahasa-bahasa Afrika) dan Asia (bahasa-bahasa Papua dan bahasa banyak negara di Asia). Ciri-cirinya:
1)      Penelitian meluas ke bahasa-bahasa di Amerika, Afrika, dan Asia.
2)      Pendekatan dalam meneliti bersifat strukturalistis, pada akhir abad 20 penelitian yang bersifat fungsionalis juga cukup menonjol.
3)      Tata bahasa merupakan bagian ilmu dengan pembidangan yang semakin rumit. Secara garis besar dapat dibedakan atas mikrolinguistik, makro linguistik, dan sejarah linguistik.
4)      Penelitian teoretis sangat berkembang.
5)      Otonomi ilmiah makin menonjol, tetapi penelitian antardisiplin juga berkembang.
6)      Prinsip dalam meneliti adalah deskripsi dan sinkronis
Keberhasilan kaum Junggramatiker merekonstruksi bahasa-bahasa proto di Eropa mempengaruhi pemikiran para ahli linguistik abad 20, antara lain Ferdinand de Saussure. Sarjana ini tidak hanya dikenal sebagai bapak linguistik modern, melainkan juga seorang tokoh gerakan strukturalisme. Dalam strukturalisme bahasa dianggap sebagai sistem yang berkaitan (system of relation). Elemen-elemennya seperti kata, bunyi saling berkaitan dan bergantung dalam membentuk sistem tersebut.
Beberapa pokok pemikiran Saussure:
(1)   Bahasa lisan lebih utama dari pada bahasa tulis. Tulisan hanya merupakan sarana yang mewakili ujaran.
(2)   Linguistik bersifat deskriptif, bukan preskriptif seperti pada tata bahasa tradisional. Para ahli linguistik bertugas mendeskripsikan bagaimana orang berbicara dan menulis dalam bahasanya, bukan memberi keputusan bagaimana seseorang seharusnya berbicara.
(3)   Penelitian bersifat sinkronis bukan diakronis seperti pada linguistik abad 19. Walaupun bahasa berkembang dan berubah, penelitian dilakukan pada kurun waktu tertentu.
(4)   Bahasa merupakan suatu sistem tanda yang bersisi dua, terdiri dari signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Keduanya merupakan wujud yang tak terpisahkan, bila salah satu berubah, yang lain juga berubah.
(5)   Bahasa formal maupun nonformal menjadi objek penelitian.
(6)   Bahasa merupakan sebuah sistem relasi dan mempunyai struktur.
(7)   Dibedakan antara bahasa sebagai sistem yang terdapat dalam akal budi pemakai bahasa dari suatu kelompok sosial (langue) dengan bahasa sebagai manifestasi setiap penuturnya (parole).
(8)   Dibedakan antara hubungan asosiatif dan sintagmatis dalam bahasa. Hubungan asosiatif atau paradigmatis ialah hubungan antarsatuan bahasa dengan satuan lain karena ada kesamaan bentuk atau makna. Hubungan sintagmatis ialah hubungan antarsatuan pembentuk sintagma dengan mempertentangkan suatu satuan dengan satuan lain yang mengikuti atau mendahului.
Gerakan strukturalisme dari Eropa ini berpengaruh sampai ke benua Amerika. Studi bahasa di Amerika pada abad 19 dipengaruhi oleh hasil kerja akademis para ahli Eropa dengan nama deskriptivisme. Para ahli linguistik Amerika mempelajari bahasa-bahasa suku Indian secara deskriptif dengan cara menguraikan struktur bahasa. Orang Amerika banyak yang menaruh perhatian pada masalah bahasa. Thomas Jefferson, presiden Amerika yang ketiga (1801-1809), menganjurkan agar supaya para ahli linguistik Amerika mulai meneliti bahasa-bahasa orang Indian. Seorang ahli linguistik Amerika bemama William Dwight Whitney (1827-1894) menulis sejumlah buku mengenai bahasa, antara lain Language and the Study of Language (1867).
Tokoh linguistik lain yang juga ahli antropologi adalah Franz Boas (1858-1942). Sarjana ini mendapat pendidikan di Jerman, tetapi menghabiskan waktu mengajar di negaranya sendiri. Karyanya berupa buku Handbook of American Indian languages (1911-1922) ditulis bersama sejumlah koleganya. Di dalam buku tersebut terdapat uraian tentang fonetik, kategori makna dan proses gramatikal yang digunakan untuk mengungkapkan makna. Pada tahun 1917 diterbitkan jurnal ilmiah berjudul International Journal of American Linguistics.
Pengikut Boas yang berpendidikan Amerika, Edward Sapir (1884-1939), juga seorang ahli antropologi dinilai menghasilkan karya-karya yang sangat cemerlang di bidang fonologi. Bukunya, Language (1921) sebagian besar mengenai tipologi bahasa. Sumbangan Sapir yang patut dicatat adalah mengenai klasifikasi bahasa-bahasa Indian.
Pemikiran Sapir berpengaruh pada pengikutnya, L. Bloomfield (1887-1949), yang melalui kuliah dan karyanya mendominasi dunia linguistik sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1914 Bloomfield menulis buku An Introduction to Linguistic Science. Artikelnya juga banyak diterbitkan dalam jurnal Language yang didirikan oleh Linguistic Society of America tahun 1924. Pada tahun 1933 sarjana ini menerbitkankan buku Language yang mengungkapkan pandangan behaviorismenya tentang fakta bahasa, yakni stimulus-response atau rangsangan-tanggapan. Teori ini dimanfaatkan oleh Skinner (1957) dari Universitas Harvard dalam pengajaran bahasa melalui teknik drill.
Dalam bukunya Language, Bloomfield mempunyai pendapat yang bertentangan dengan Sapir. Sapir berpendapat fonem sebagai satuan psikologis, tetapi Bloomfield berpendapat fonem merupakan satuan behavioral. Bloomfield dan pengikutnya melakukan penelitian atas dasar struktur bahasa yang diteliti, karena itu mereka disebut kaum strukturalisme dan pandangannya disebut strukturalis.
Bloomfield beserta pengikutnya menguasai percaturan linguistik selama lebih dari 20 tahun. Selama kurun waktu itu kaum Bloomfieldian berusaha menulis tata bahasa deskriptif dari bahasa-bahasa yang belum memiliki aksara. Kaum Bloomfieldian telah berjasa meletakkan dasar-dasar bagi penelitian linguistik di masa setelah itu.
Bloomfield berpendapat fonologi, morfologi dan sintaksis merupakan bidang mandiri dan tidak berhubungan. Tata bahasa lain yang memperlakukan bahasa sebagai sistem hubungan adalah tata bahasa stratifikasi yang dipelopori oleh S.M. Lamb. Tata bahasa lainnya yang memperlakukan bahasa sebagai sistem unsur adalah tata bahasa tagmemik yang dipelopori oleh K. Pike. Menurut pendekatan ini setiap gatra diisi oleh sebuah elemen. Elemen ini bersama elemen lain membentuk suatu satuan yang disebut tagmem.
            Murid Sapir lainnya, Zellig Harris, mengaplikasikan metode strukturalis ke dalam analisis segmen bahasa. Sarjana ini mencoba menghubungkan struktur morfologis, sintaktis, dan wacana dengan cara yang sama dengan yang dilakukan terhadap analisis fonologis. Prosedur penelitiannya dipaparkan dalam bukunya Methods in Structural Linguistics (1951).
            Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam Chomsky. Sarjana inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures (1957), yang kemudian disebut classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melalui Aspects of the Theory of Syntax (1965) disebut standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun 1980 government and binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.

III. Paradigma

Kata paradigma diperkenalkan oleh Thomas Khun pada sekitar abad 15. Paradigma adalah prestasi ilmiah yang diakui pada suatu masa sebagai model untuk memecahkan masalah ilmiah dalam kalangan tertentu. Paradigma dapat dikatakan sebagai norma ilmiah. Contoh paradigma yang mulai tumbuh sejak zaman Yunani tetapi pengaruhnya tetap terasa sampai zaman modern ini adalah paradigma Plato dan paradigma Aristoteles. Paradigma Plato berintikan pendapat Plato bahwa bahasa adalah physei atau mirip dengan realitas, disebut juga non-arbitrer atau ikonis. Paradigma Aristoteles berintikan bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip dengan realitas, kecuali onomatope, disebut arbitrer atau non-ikonis. Kedua paradigma ini saling bertentangan, tetapi dipakai oleh peneliti dalam memecahkan masalah bahasa, misalnya tentang hakikat tanda bahasa.
Pada masa tertentu paradigma Plato banyak digunakan ahli bahasa untuk memecahkan masalah linguistik. Penganut paradigma Plato ini disebut kaum naturalis. Mereka menolak gagasan kearbitreran. Pada masa tertentu lainnya paradigma Aristoteles digunakan mengatasi masalah linguistik. Penganut paradigma Aristoteles disebut kaum konvensionalis. Mereka menerima adanya kearbiteran antara bahasa dengan realitas.
Pertentangan antara kedua paradigma ini terus berlangsung sampai abad 20. Di bidang linguistik dan semiotika dikenal tokoh Ferdinand de Saussure sebagai penganut paradigma .Aristoteles dan Charles S. Peirce sebagai penganut paradigma Plato. Mulai dari awal abad 19 sampai tahun 1960-an paradigma Aristoteles yang diikuti Saussure yang berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer digunakan dalam memecahkan masalah-masalah linguistik. Tercatat beberapa nama ahli linguistik seperti Bloomfield dan Chomsky yang dalam pemikirannya menunjukkan pengaruh Saussure dan paradigma Aristoteles. Menjelang pertengahan tahun 60-an dominasi paradigma Aristoteles mulai digoyahkan oleh paradigma Plato melalui artikel R. Jakobson "Quest for the Essence of Language" (1967) yang diilhami oleh Peirce. Beberapa nama ahli linguistik seperti T. Givon, J. Haiman, dan W. Croft tercatat sebagai penganut paradigma Plato.

IV. Cakupan dan Kemaknawian Ilmu Bahasa

            Secara umum, bidang ilmu bahasa dibedakan atas linguistik murni dan linguistik terapan. Bidang linguistik murni mencakup fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan bidang linguistik terapan mencakup pengajaran bahasa, penerjemahan, leksikografi, dan lain-lain. Beberapa bidang tersebut dijelaskan dalam sub-bab berikut ini.
4. 1 Fonetik
            Fonetik mengacu pada artikulasi bunyi bahasa. Para ahli fonetik telah berhasil menentukan cara artikulasi dari berbagai bunyi bahasa dan membuat abjad fonetik internasional sehingga memudahkan seseorang untuk mempelajari dan mengucapkan bunyi yang tidak ada dalam bahasa ibunya. Misalnya dalam bahasa Inggris ada perbedaan yang nyata antara bunyi tin dan thin, dan antara they dan day, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak. Dengan mempelajari fonetik, orang Indonesia akan dapat mengucapkan kedua bunyi tersebut dengan tepat.
            Abjad fonetik internasional, yang didukung oleh laboratorium fonetik, departemen linguistik, UCLA, penting dipelajari oleh semua pemimpin, khususnya pemimpin negara. Dengan kemampuan membaca abjad fonetik secara tepat, seseorang dapat memberikan pidato dalam ratusan bahasa. Misalnya, jika seorang pemimpin di Indonesia mengadakan kunjungan ke Cina, ia cukup meminta staf-nya untuk menerjemahkan pidatonya ke bahasa Cina dan menulisnya dengan abjad fonetik, sehingga ia dapat memberikan pidato dalam bahasa Cina dengan ucapan yang tepat. Salah seorang pemimpin yang telah memanfaatkan abjad fonetik internasional adalah Paus Yohanes Paulus II. Ke negara manapun beliau berkunjung, beliau selalu memberikan khotbah dengan menggunakan bahasa setempat. Apakah hal tersebut berarti bahwa beliau memahami semua bahasa di dunia? Belum tentu, namun cukup belajar fonetik saja untuk mampu mengucapkan bunyi ratusan bahasa dengan tepat.

4. 2 Fonologi
            Fonologi mengacu pada sistem bunyi bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris, ada gugus konsonan yang secara alami sulit diucapkan oleh penutur asli bahasa Inggris karena tidak sesuai dengan sistem fonologis bahasa Inggris, namun gugus konsonan tersebut mungkin dapat dengan mudah diucapkan oleh penutur asli bahasa lain yang sistem fonologisnya terdapat gugus konsonan tersebut. Contoh sederhana adalah pengucapan gugus ‘ng’ pada awal kata, hanya berterima dalam sistem fonologis bahasa Indonesia, namun tidak berterima dalam sistem fonologis bahasa Inggris. Kemaknawian utama dari pengetahuan akan sistem fonologi ini adalah dalam pemberian nama untuk suatu produk, khususnya yang akan dipasarkan di dunia internasional. Nama produk tersebut tentunya akan lebih baik jika disesuaikan dengan sistem fonologis bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional.

4. 3 Morfologi
            Morfologi lebih banyak mengacu pada analisis unsur-unsur pembentuk kata. Sebagai perbandingan sederhana, seorang ahli farmasi (atau kimia?) perlu memahami zat apa yang dapat bercampur dengan suatu zat tertentu untuk menghasilkan obat flu yang efektif; sama halnya seorang ahli linguistik bahasa Inggris perlu memahami imbuhan apa yang dapat direkatkan dengan suatu kata tertentu untuk menghasilkan kata yang benar. Misalnya akhiran -­en dapat direkatkan dengan kata sifat dark untuk membentuk kata kerja darken, namun akhiran -­en tidak dapat direkatkan dengan kata sifat green untuk membentuk kata kerja. Alasannya tentu hanya dapat dijelaskan oleh ahli bahasa, sedangkan pengguna bahasa boleh saja langsung menggunakan kata tersebut. Sama halnya, alasan ketentuan pencampuran zat-zat kimia hanya diketahui oleh ahli farmasi, sedangkan pengguna obat boleh saja langsung menggunakan obat flu tersebut, tanpa harus mengetahui proses pembuatannya.

4. 4 Sintaksis
            Analisis sintaksis mengacu pada analisis frasa dan kalimat. Salah satu kemaknawiannya adalah perannya dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Beberapa teori analisis sintaksis dapat menunjukkan apakah suatu kalimat atau frasa dalam suatu peraturan perundang-undangan bersifat ambigu (bermakna ganda) atau tidak. Jika bermakna ganda, tentunya perlu ada penyesuaian tertentu sehingga peraturan perundang-undangan tersebut tidak disalahartikan baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

4. 5 Semantik
            Kajian semantik membahas mengenai makna bahasa. Analisis makna dalam hal ini mulai dari suku kata sampai kalimat. Analisis semantik mampu menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, setiap kata yang memiliki suku kata ‘pl’ memiliki arti sesuatu yang datar sehingga tidak cocok untuk nama produk/benda yang cekung. Ahli semantik juga dapat membuktikan suku kata apa yang cenderung memiliki makna yang negatif, sehingga suku kata tersebut seharusnya tidak digunakan sebagai nama produk asuransi. Sama halnya dengan seorang dokter yang mengetahui antibiotik apa saja yang sesuai untuk seorang pasien dan mana yang tidak sesuai.
4. 6 Pengajaran Bahasa
Ahli bahasa adalah guru dan/atau pelatih bagi para guru bahasa. Ahli bahasa dapat menentukan secara ilmiah kata-kata apa saja yang perlu diajarkan bagi pelajar bahasa tingkat dasar. Para pelajar hanya langsung mempelajari kata-kata tersebut tanpa harus mengetahui bagaimana kata-kata tersebut disusun. Misalnya kata-kata dalam buku-buku Basic English. Para pelajar (dan guru bahasa Inggris dasar) tidak harus mengetahui bahwa yang dimaksud Basic adalah B(ritish), A(merican), S(cientific), I(nternational), C(ommercial), yang pada awalnya diolah pada tahun 1930an oleh ahli linguistik C. K. Ogden. Pada masa awal tersebut, Basic English terdiri atas 850 kata utama.
Selanjutnya, pada tahun 1953, Michael West menyusun General Service List yang berisikan dua kelompok kata utama (masing-masing terdiri atas 1000 kata) yang diperlukan oleh pelajar untuk dapat berbicara dalam bahasa Inggris. Daftar tersebut terus dikembangkan oleh berbagai universitas ternama yang memiliki jurusan linguistik. Pada tahun 1998, Coxhead dari Victoria University or Wellington, berhasil menyelesaikan suatu proyek kosakata akademik yang dilakukan di semua fakultas di universitas tersebut dan menghasilkan Academic Wordlist, yaitu daftar kata-kata yang wajib diketahui oleh mahasiswa dalam membaca buku teks berbahasa Inggris, menulis laporan dalam bahasa Inggris, dan tujuannya lainnya yang bersifat akademik.
            Proses penelitian hingga menjadi materi pelajaran atau buku bahasa Inggris yang bermanfaat hanya diketahui oleh ahli bahasa yang terkait, sedangkan pelajar bahasa dapat langung mempelajari dan memperoleh manfaatnya. Sama halnya dalam ilmu kedokteran, proses penelitian hingga menjadi obat yang bermanfaat hanya diketahui oleh dokter, sedangkan pasien dapat langsung menggunakannya dan memperoleh manfaatnya.

4. 7 Leksikografi
            Leksikografi adalah bidang ilmu bahasa yang mengkaji cara pembuatan kamus. Sebagian besar (atau bahkan semua) sarjana memiliki kamus, namun mereka belum tentu tahu bahwa penulisan kamus yang baik harus melalui berbagai proses.
Dua nama besar yang mengawali penyusunan kamus adalah Samuel Johnson (1709-1784) dan Noah Webster (1758-1843). Johnson, ahli bahasa dari Inggris, membuat Dictionary of the English Language pada tahun 1755, yang terdiri atas dua volume. Di Amerika, Webster pertama kali membuat kamus An American Dictionary of the English Language pada tahun 1828, yang juga terdiri atas dua volume. Selanjutnya, pada tahun 1884 diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume.
Saat ini, kamus umum yang cukup luas digunakan adalah Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Mengapa kamus Oxford? Beberapa orang mungkin secara sederhana akan menjawab karena kamus tersebut lengkap dan cukup mudah dimengerti. Tidak banyak yang tahu bahwa (setelah tahun 1995) kamus tersebut ditulis berdasarkan hasil analisis British National Corpus yang melibatkan cukup banyak ahli bahasa dan menghabiskan dana universitas dan dana negara yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, definisi yang diberikan dalam kamus tersebut seharusnya dapat mudah dipahami oleh pelajar karena semua entri dalam kamus tersebut hanya didefinisikan oleh sekelompok kosa kata inti. Bagaimana kosa-kata inti tersebut disusun? Tentu hanya ahli bahasa yang dapat menjelaskannya, sedangkan para sarjana dan pelajar dapat langsung saja menikmati dan menggunakan berbagai kamus Oxford yang ada dipasaran.

V. Penutup

Penelitian bahasa sudah dimulai sejak abad ke 6 SM, bahkan perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan sudah dibangun sejak awal abad 3 SM di kota Alexandria. Kamus bahasa Inggris, Dictionary of the English Language, yang terdiri atas dua volume, pertama kali diterbitkan pada tahun 1755; dan pada tahun 1884 telah diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume. Antara 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya.
Salah satu buku awal yang menjelaskan mengenai ilmu bahasa adalah buku An Introduction to Linguistic Science yang ditulis oleh Bloomfield pada tahun 1914. Jurnal ilmiah internasional ilmu bahasa, yang berjudul International Journal of American Linguistics, pertama kali diterbitkan pada tahun 1917.
Ilmu bahasa terus berkembang dan semakin memainkan peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan semakin majunya program pascasarjana bidang linguistik di berbagai universitas terkemuka (UCLA, MIT, Oxford, dll). Buku-buku karya ahli bahasa pun semakin mendapat perhatian. Salah satu buktinya adalah buku The Comprehensive Grammar of the English Langauge, yang terdiri atas 1778 halaman, yang acara peluncurannya di buka oleh Margareth Thatcher, pada tahun 1985. Respon yang luar biasa terhadap buku tersebut membuatnya dicetak sebanyak tiga kali dalam tahun yang sama. Buku tata bahasa yang terbaru, The Cambridge Grammar of the English Language, tahun 2002, yang terdiri atas 1842 halaman, ditulis oleh para ahli bahasa yang tergabung dalam tim peneliti internasional dari lima negara.


Pustaka Acuan
Robins, R.H. 1990. A Short History of Linguistics. London: Longman.
Fromkin, Victoria & Robert Rodman. 1998. An Introduction to Language (6th Edition). Orlando: Harcourt Brace College Publishers.
Hornby, A.S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary (5th edition). Oxford: Oxford University Press.
Matthews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford University Press.





Review Novel Hati Suhita

KETEGUHAN HATI WANITA REVIEW NOVEL HATI SUHITA Judul: Hati Suhita Penulis: Khilma Anis Editor: Akhiriyati Sundari Penyunting:...