Gelar Ash-Shiddiq diperoleh Abu Bakar ketika
beliau membenarkan berita tentang peristiwa Isra Mi’raj yang dialami oleh
Rasulullah SAW. Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar pada saat itu seolah-olah
tidak masuk akal. Beliau begitu saja mempercayai peristiwa perjalanan
Rasulullah SAW dari Mekkah ke Palestina yang dilanjutkan dengan mi’raj ke
langit ke tujuh hanya dalam tempo semalam saja. Sesuatu yang sangat mustahil
pada masa itu, bahkan sampai sekarang.
Dengan sudut pandang yang lain, apa yang dilakukan
oleh Abu Bakar justru sangat masuk akal. Jika premis awalnya adalah Rasulullah
SAW seseorang yang sama sekali tidak pernah berbohong selama hidupnya, maka
mempercayai perkataannya adalah logis. Kebenaran adalah sesuatu yang keluar
dari lisan Rasulullah SAW secara konsisten.
Dari sudut pandang yang
lebih luas, Isra Mi’raj adalah peristiwa ilahiyah yang melibatkan
campur tangan Allah. Di ranah ini tidak ada yang tidak mungkin. Salah satu
analogi yang sering digunakan oleh para ulama adalah cerita tentang semut yang
terbang bersama pesawat dari Jakarta ke Surabaya hanya dalam waktu kurang dari
satu jam. Padahal jika semut itu pergi dengan kekuatan sendiri, dia memerlukan
waktu bertahun-tahun untuk menempuh jarak yang sama.
Di kalangan ilmuwan, peristiwa Isra dan Mi’raj
dipahami dengan dua cara yang berbeda. Beberapa filsuf Islam seperti Al Farabi
dan Ibnu Sina meyakini bahwa yang diperjalankan oleh Allah pada malam mulia itu
adalah ruh Rasulullah SAW. Dengan menggunakan pendekatan empiris saat itu,
tidak mungkin seseorang secara fisik melakukan perjalanan sejauh itu dengan
waktu yang sangat cepat. Pendapat kedua yang diwakili oleh para ilmuwan syariah
Islam seperti Imam Syafi’i mempercayai bahwa Rasulullah SAW benar-benar
diperjalankan secara fisik.
Saya lebih setuju dengan pendapat kedua.
Rasulullah SAW adalah manusia biasa, namun beliau adalah makhluk istimewa.
“Mutiara di antara bebatuan,” kata pepatah Arab. Sebelum penciptaan jagad raya,
makhluk pertama yang diciptakan adalah nur Muhammad. Beliau adalah
makhluk terbaik yang diciptakan Allah. Perjalanan untuk menemui Allah secara
fisik adalah merupakan bagian dari keistimewaan Rasulullah SAW.
Isra Mi’raj sendiri merupakan peristiwa istimewa.
Dengan segala keajaibannya, Isra Mi’raj mengajarkan kepada kita untuk
mengkombinasikan antara iman dan logika. Dengan kacamata iman, kita tentu harus
percaya apa saja yang tertulis dalam Al-Quran, termasuk peristiwa dahsyat ini.
Dengan kacamata logika, kita akan mengafirmasi pemahaman logis bahwa tidak ada yang
tidak mungkin, bahwa ilmu pengetahuan selalu berkembang.
Sebelum penemuan teori tentang siklus air,
bencana banjir adalah peristiwa mistik dan ghaib. Bahkan beberapa kelompok
masyarakat menganggap banjir adalah kutukan. Maka lahirlah ritual-ritual penolak
banjir seperti pengorbanan hewan bahkan manusia untuk menolak bencana ini.
Meski ritual itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pencegahan banjir,
namun pada saat itu ritual dianggap relevan untuk mencegah banjir.
Ilmu pengetahuan kemudian berhasil menguak
fenomena siklus air. Bahwa air yang turun dari hujan dan keluar dari mata air
akan mengalir melalui sungai dan bermuara di laut. Dengan proses
penguapan, air itu kembali ke langit dalam bentuk awan yang akan turun kembali
dalam bentuk hujan. Ilmu pengetahuan juga menjelaskan tentang bagaimana
pepohonan dapat menyerap dan menyimpan air. Perusakan pepohonan akan mengurangi
daya serap alam terhadap air. Akibatnya bencana banjir. Pencegahan bencana
banjir dilakukan dengan berhenti merusak hutan, bukan dengan pengorbanan
binatang, apalagi manusia.
Sampai saat ini ilmu pengetahuan manusia modern
belum dapat menjelaskan fenomena Isra Mi’raj. Ini adalah bukti bahwa
pengetahuan manusia memang benar-benar sedikit (Q.S. Al-Isra : 85). Bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan masih sangat terbatas dan masih bisa berkembang.
Dalam perjalanannya, bukan tidak mungkin pengetahuan dapat menjelaskan
peristiwa dahsyat itu. Al-Quran memerintahkan manusia selalu berpikir dan
melakukan riset untuk menemukan dan menjelaskan kebenaran.
Peristiwa Isra Mi’raj tidak untuk kita peringati
sebagai cerita keajaiban sejarah dan mukjizat Rasulullah saja. Isra Mi’raj
bukan dogma. Peristiwa ini tidak pernah mengajarkan kita untuk percaya begitu
saja tanpa proses berpikir. Justru Isra Mi’raj mengajarkan manusia menggunakan
akalnya untuk selalu berpikir.
Berpijak dari keajaiban Isra Mi’raj, seharusnya
menjadi pelajaran bagi kita untuk selalu berpikir inovatif. Para pendahulu kita
telah berhasil menemukan transportasi. Penemuan ini memungkinkan kita untuk
melakukan perjalanan dengan jauh lebih cepat daripada sebelumnya. Secara
bertahap sepeda, mobil dan pesawat semakin mempercepat pergerakan manusia di
atas permukaan bumi. Menjadi tantangan kita untuk mengembangkan inovasi-inovasi
baru yang lebih bermanfaat bagi umat manusia.
Dengan logika Isra Mi’raj, seharusnya kita
belajar untuk lebih terbuka. Bukan hanya pada tradisi dan budaya tetapi juga
pada paradigma dan pemikiran baru. Bahkan untuk hal-hal yang saat ini kita
anggap tidak mungkin. Bahwa pengetahuan adalah proses panjang tesis – anti
tesis pergulatan pemikiran manusia yang terus berkembang mencari kebenaran.
Bukan lagi masanya kita menganggap bahwa diri kita yang paling benar kemudian
menganggap tabu pada hal-hal yang baru dan berbeda.
Dengan mengimani peristiwa Isra Mi’raj, seorang
muslim seharusnya menjadi pribadi yang progresif. Rasanya tidak salah kita
belajar kepada Imam Abu Hanifah. Beliau sering membuat bingung murid-muridnya.
Tak jarang beliau membahas permasalahan-permasalahan yang belum terbayang pada
saat itu. Jauh sebelum kapal selam ditemukan, ahli fikih yang satu ini sudah
membahas mengenai cara shalat di dasar laut. Ketika ditanya mengapa beliau
membahas sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada saat itu, beliau menjawab bahwa
hal itu ia lakukan agar bila nanti masalah itu benar-benar terjadi kita sudah
mengerti masalah itu, syukur-syukur sudah menemukan jalan keluarnya.
Wallahu a’lam bish showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar