Sabtu, 31 Maret 2012

Pragmatisme dalam Filsafat Kontemporer: Pembacaan atas pemikiran Charles S. Peirce1 Oleh Ragwan Albaar

MAAF SAYA MENJIPLAK
Pragmatisme dalam Filsafat Kontemporer:
Pembacaan atas pemikiran Charles S. Peirce1
Oleh Ragwan Albaar
Abstrak: Dalam bidang filsafat ilmu, pemikiran Charles Sanders Peirce
merupakan suatu hal yang mendasar bagi siapa saja yang berminat mengkaji
Islam, karena akar pemikiran studi agama terdapat dalam struktur pemikiran
Peirce. Dikenal sebagai perintis dan tokoh utama aliran filsafat pragmatisme.
Pierce juga termasuk salah satu pioner dalam logika matematika abad ke-19.
Secara profesional, ia adalah seorang ilmuwan praktisi ahli geodesi, astronomi,
dan kimia. Epistemologi Peirce berlatar belakang prgamatis dan ahli logika,
epistemologinya banyak disampaikan melalui logikanya, oleh karenanya
epitemologi Peirce digolongkan sebagai epistemologi kontemporer. Peirce dengan
filsafat pragmatisme (filsafat bertindak), memandang bahwa; suatu hipotesa
dianggap benar apabila mendatangkan manfaat. Pragmatisme dikatagorikan dalam
teori kebenaran. Peirce membagi kebenaran menjadi dua, yakni kebenaran
transendental dan kebenaran kompleks. Kebenaran kompleks terdiri dari
kebenaran etis (psikologis) yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diyakini
si pembicara, dan kebenaran logic (literal) yaitu keselarasan pernyataan dengan
realitas yang didefinisikan. Dari kritiknya terhadap tiga filosof Eropah Rene
Descartes, John Locke dan Darwin, Peirce menggagas teori baru The New Logic
dan The Logic of Inquiry, ia menggagas lima konstruksi pemikiran, yaitu; belief,
habit of mind, doubt, inquiry (research), and the new logic of theory. Sedangkan
usaha mencari keyakinan yang benar dengan cara a priori, trial and error, otoritas,
serta melalui metode ilmiah dan investigasi.
Kata kunci: pragmatism, filsafat kontemporer, Charles S. Peirce
Pendahuluan
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran
ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan
seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap perkembangan itu
kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah perkembangan ilmu; sejak
dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.2
Zaman klasik meliputi filsafat yunani dan romawi pada abad ke-6 SM dan berakhir
pada 529 M. Zaman pertengahan meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad
ke-6 M dan berakhir pada abad ke-15 M. Zaman modern didahului oleh pemikiran tokohtokoh
Renaissance, Pada filsafat Rene Descartes(1596-1650) dan berakhir pada pemikiran
1Makalah ini adalah salah satu tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam pada S3 Pascasarjana IAIN Sunan
Ampel Surabaya semester I.
2 Milton K. Munitz,Contemporery Analitic Philosophy (New York; Macmillan Publishing Co.Inc. 1981), 1.
2
Friedrich Nietzsche (1844-1900), dan zaman kontemporer yang meliputi seluruh filsafat
abad ke-20 hingga saat ini.
Para penulis merasa kesulitan ketika hendak menulis filsafat kontemporer, hal ini
dikarenakan mereka harus mengambil jarak terhadap obyek zamannya sendiri sehingga
mereka sangat berhati-hati ketika berbicara perkembangan filsafat.3
Makalah ini mencoba menguraikan filsafat pragmatisme Charles S Peirce tentang
keyakinan, cara memperoleh keyakinan dan teori tentang arti. Namun sebelumnya akan
diuraikan secara ringkas sejarah mata rantai pemikiran barat agar diperoleh gambaran
komperhensif tentang posisi pragmatisme dalam kontelasi sejarah pemikiran barat.
Asal Usul Pragmatisme
Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja
yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu
gerakan yang berkisar antara tahun 1400-1600 M. untuk menghidupkan kembali
kebudayaan klasik Yunani dan Romawi. Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang
hanya mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah
Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran
Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang
mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat
Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang menonjol di Abad Pertengahan, yang
mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal
lahirnya Renaissance.
Semangat Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari
kekangan dan belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan,
tidak terletak pada filsafat Yunani itu sendiri.
Dalam hal ini Barat hanya mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani,
yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal
untuk berkreasi. Ini terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti
Nicolaus Copernicus4 (1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung
3Tholhatul Choir, Ahwan Fanani (ed), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer (Yogyakarta; Pustaka
Pelajar, 2009), 4.
4 Nicolaus Copernicus adalah seorang tokoh gereja Ortodoks, ia menemukan bahwa matahari berada di
pusat jagat raya, dan bumi memiliki dua macam gerak yaitu perputara sehari-hari pada porosnya dan gerak
tahunan mengelilingi matahari. Teori ini disebut dengan Heliosentris. Lihar Rijal Mustanshir dan Misnan
Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Oustaka Pelajar, 2002), 70.
3
oleh Johanes Keppler5 (1571-1630) dan Galileo Galilei6 (1564-1643). Juga Francis Bacon
(1561-1626) dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduktif
Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad Pertengahan. Jadi,
Barat tidak mengambil filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah
yang menjadi dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-
1000 M) dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus
(354-430), maupun periode Scholastik (1000 - 1400 M) dengan filsafat Thomisme yang
bersandar pada Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak
membahas fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat
Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri.
Renaissance juga diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan
terhadap dominasi gereja Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517).
Gerakan ini bertolak dari korupsi umum dalam gereja --seperti penjualan Surat Tanda
Pengampunan Dosa (Afllatbrieven)--, penindasannya yang telanjang, dan dominasinya
terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut
memperjuangkan apa yang disebut "pembebasan akal", tetapi gerakan ini secara tak sadar
telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama (Protestan)
dan telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan Gereja menjadi dua
aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil di Jerman sekitar abad XVII
juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, Gereja
Katholik dan tokoh Reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni
menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh Reformasi di
Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol
(1553), yang menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi juga sama-sama
menolak ide Copernicus (1543) tentang matahari sebagai pusat tatasurya, seraya
mempertahankan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tata surya.
Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran
pemikiran yang berbeda: aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene
5Johanes Keppler adalah pembantu Tycho dan seorang ahli matematika. Ia juga mengembangkan astrologi
untuk memelihara perkembangan astronomi.
6Galileo Galilei adalah salah seorang penemu lintas peluru, hukum pergerakan dan penemu tata bulan planet
Jupiter. Penemuannya ini memperkokoh keyakinan Galileo bahwa tata bumi bersifat Heloisentris. Ia juga
dianngap sebagai pelopor perkembangan ilmu dan penemu dasar ilmu modern yang hanya berpegang pada
soal-soal yang obyektif saja. Lihat Slamet Imam Santoso, Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan
(Jakarta: Sinar Hudaya, 1977) , 68.
4
Descartes7 (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran
Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-
1704). Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah
rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri,
atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya.
Kemudian datanglah Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis
oleh Isaac Newton (1642-1727), sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme dan
Empirisme dari abad sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya adalah
pemberian interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada Masa
Aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia,
seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan
sebagainya.
Bertolak dari prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753)
mengembangkan "immaterialisme", sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada
pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi
sebenarnya (hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa
substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang diamati.
Pandangan Locke dan Berkeley dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776),
dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan) ekstrim bahwa
filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan keyakinan bahwa
"pengetahuan tentang manusia" akan dapat menjelaskan hakikat pengetahuan yang
dimiliki manusia.
Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804) juga
dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni
aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke
yang bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai
menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan para pemikir Rasionalisme yang
7Rene Descartes, Baruch Spinoza dan Pascal, ketiganya adalah tokoh yang hidup pada tahap awal Masa
Modern menyikapi cara kerja apriori dan aposteori filsafat dan pengetahuan secara umum. Descartes
mengusung postulatnya yang masyhur “Cogito Ergo Sum” untuk menyanggah kaum skeptisme yang
mengingkari realitas. Lihat C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1995), 100. Sebenarnya Descartes bukanlah rasionali murni yang berfikir bahwa semua pengetahuan dapat
diperoleh dengan apriori. Tetapi ia juga bukanlah seorang empirisme karena ia tidak mengakui bahwa
pengetahuan dapat diperoleh dengan pengalaman. Lihat Theo A.F Knipers (ed.) General Phylosophy of
Science. (Oxford, 2007) h. 102.
5
mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai
Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari
pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh
indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman
tersebut.
Pada abad XIX, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J.
Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831). Namun yang
mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan ideide,
yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran mereka
disebut dengan Idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang menonjol, karena
banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan murid-muridnya, baik
langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu pengikut Hegel
aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey (1859-1952), salah seorang
peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya Amerika (baca : Kapitalisme) saat ini,
dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan
Engels dengan ide Materialisme yang merupakan dasar ideologi Komunisme di Rusia.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi
beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai
Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim,
adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah
"data-data yang nyata/empirik", atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan
sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang
diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik
dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis
atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam
suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.
Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala
sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-
1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel,
tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan mengambil
Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika
6
Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis
yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan
sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi
inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar ideologi
Sosialisme-Komunisme (Marxisme).
Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme,
kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh
Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John
Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles S.Peirce dan William James.
Ringkasnya titik penting yang membedakan empat periode di atas yaitu
digantinya metode silogistik dan rasional pada filsafat kuno dengan metode empiris dan
eksperimental pada filsafat modern. Sedangkan yang membedakan filsafat modern dengan
filsafat kontemporer yaitu bergesernya dominasi topik-topik epistimologi oleh topik-topik
logika linguistic.
Riwayat Hidup Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Peirce dilahirkan pada 10 September 1839 di Cambridge,
Massachusetts, Amerika Serikat. Dia menulis dari tahun 1857 sampai menjelang wafat,
kira selama 57 tahun. Publikasinya mencapai 12.000 halaman dan manuskrip yang tidak
dipublikasikan mencapai 80.000 halaman catatan tangan. Topik yang dibahas dalam
karya-karya Peirce sangat luas, dari matematika dan ilmu fisika, ekonomi dan ilmu sosial,
serta masalah lainnya.8
Benjamin Peirce, ayah Charles Sanders Peirce adalah professor matematika di
Universitas Harvard dan salah seorang pendiri “U.S. Coast and Geodetic Survey”. Peran
Benjamin sangat besar dalam membangun Departemen Matematika di Harvard. Dari
ayahnya, Charles Sanders Peirce memperoleh pendidikan awal yang mendorong dan
menstimulus kiprah intelektualnya. Benjamin mengajar dengan melalui pendekatan
kasus/problem yang meminta jawaban dari sang anak. Hal ini membekas dalam pemikiran
filosofis dan masalah ilmu yang dihadapi Peirce di kemudian hari.
Peirce lulus dari Harvard pada tahun 1859 dan menerima gelar Bachelor of Science
dalam bidang Kimia pada tahun 1863. Dari tahun 1859 sampai 1891 dia bekerja di U. S.
Coast and Geodetic Survey, terutama menyurvei dan investigasi geodesi. Dari tahun 1879
8Milton K Munizt, Contemporary Analitic Philosophy,17.
7
sampai 1884, dia juga mengajar Logika di Departemen Matematika Universitas Johns
Hopkins. Pada masa itu Departemen Matematika dipimpin oleh matematikawan terkenal,
J. J. Sylvester. Peirce meninggal pada 19 April 1914 di Milford, Pennsylvania Amerika
Serikat.
Diantara karya-karnya adalah Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols.
Edited by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University Press,
Cambridge, Massachusetts, 1931-1958); Pragmatism as a Principle and Method of Right
Thinking: the 1903 Harvard Lectures on Pragmatism by Charles Sanders Peirce. Edited by
Patricia Ann Turrisi (State University of New York Press, Albany, New York, 1997);
Reasoning and the Logic of Things: the Cambridge Conferences Lectures of 1898. Edited
by Kenneth Laine Ketner (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts,
1992).Writings of Charles S. Peirce: a Chronological Edition, Volume I 1857-1866,
Volume II 1867-1871, Volume III 1872-1878, Volume IV 1879-1884, Volume V 1884-
1886. Edited by the Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington,
Indiana, 1982, 1984, 1986, 1989, 1993).9
Filsafat Kontemporer dan Pragmatisme
Dalam filsafat kontemporer, terdapat banyak aliran dan mazhab yang berbedabeda,
tetapi bahasa telah menjadi fokus penelitian filosofis. Wittgensteins (filsuf
bahasa”terbesar” abad ke 20) mengatakan: Alle Philosopie ist sprachkritik (setiap filsafat
adalah kritik atau bahasa), (tractatus,4.0031). kalau dalam filsafat pada abad ke-19 yang
mencolok adalah tema-tema epistemology, maka abad ke-20 di alihkan ke metodologi
bahasa dimana kita berbicara tentang knowledge dan belief.10 karena kita dapat
menemukan upaya sungguh-sungguh terhadap persoalan yang terkait dengan logika
penelitian (logic inquiry) atau metodologi dan sekaligus dengan memperjelas makna atau
arti bahasa (language) yang kita gunakan untuk mengonsepsi pengetahuan dan
kepercayaan. jadi bukan pada pertanyaan apakah mungkin kita memperoleh pengetahuan,
tetapi pada bagaimana menunjukkan cara-cara pengetahuan tersebut di peroleh, yakni
9Gunawan (ed.) http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/18/kajian-epistemologi-charles-sanders-pierce-
1839-1914. dipublikasi pertama kali pada tanggal 18 Desember 2008.
10 Milton K. Munitz. Contemporery Analitic Philosophy,7.
8
syarat-syarat (condition) dan cara-cara (procedures) untuk memperoleh pengetahuan
tersebut.11
Adanya perhatian terhadap bahasa ini meniscahayakan lahirnya kembali logika
yang kemudian terkenal sebagai logika modern. Pada abad ke-19, ada sejumlah untuk
memutakhirkan logika oleh filsuf-filsuf seperti George Boyle, Ernst Schroder, Gotlob
Frege, Bertrand Russell dan A. N. Whitehead dan tentunya Charles S. Peirce. Logika
modern di dasarkan pada hubungan logis di antara seluruh kalimat. Pusat perhatiannya
bukan lagi silogisme tetapi argumen-argumen yang hipotetikal dan disjungtif. Logika
yang semula dari istilah Greek logos, bisa berarti macam-macam, sesuai kompleksitas
penggunanya: logika bisa bersangkut paut dengan kemampuan yang khas dimiliki
manusia, yakni kemampuan untuk berbicara (power of speech), kemampuan mengambil
kesimpulan (inference), kemampuan menyusun pemikiran konseptual (conceptual
thought), dan lebih-lebih kemampuan melakukan penilitian rasional (rational inquiry).
Pada pokoknya, pengertian logika yang baru adalah ingin mencari jawaban bagaimana
disiplin logika yang telah diperbaharui dan telah di kembangkan secara teliti tersebut
dapat membimbing dan mengarahkan penggunaan akal pemikiran dalam bidang ilmu
pengetahuan secara umum.
Salah satu tradisi filsafat kontemporer yang mempunyai minat besar terhadap
science of linguistic ini adalah pragmatisme. Pragmatisme pada dasarnya merupakan
gerakan filsafat Amerika yang sangat dominan selama satu abad terakhir dan
mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dengan
Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan
yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam bagi kehidupan intelektual
di Amerika. Pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakikat serta hal-hal metafisis
bagi mayoritas orang Amerika menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat hanya
bersifat teoretis. Pada umumnya mereka membutuhkan hasil yang konkret, sesuatu yang
penting dapat dilihat kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyaan what is dieliminer dengan
what for dalam filsafat praktis.12
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan
(action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya,
11Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integrative Interkonektif (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2006), 29.
12 Lihat Tholhatul Choir, Ahwan Fanani (ed), Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, 14.
9
yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti
ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah "faedah" atau
"manfaat". Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa
suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori
kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan
William James (1842-1910),terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).13
Menurut filsafat tersebut, Istilah pragmatisme ini kemudian di angkat pada tahun
1865 oleh Charles S. Peirce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme.14 Doktrin itu
selanjutnya di umumkan pada tahun 1978 paham tersebut menetapkan aspek-aspek
praktis sebagai parameter benar salahnya suatu pemikiran atau konsep. Doktrin ini
diangkat dalam sebuah makalah yang dimunculkan pada tahun 1878 dengan tema How to
Make Our Ideas Clear yang kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat Amerika
diantaranya John Dewey (1859 – 1952).15 Chambers everyday dictionary merumuskan
pragmatisme sebagai a philosophy or philosophycal method thats makes practical
consequences the test of truth, yaitu suatu filsafat atau metode filsafat yang menetapkan
hasil-hasil praktis sebagai standar kebenaran.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, memang tidak
dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Peirce, William James, dan John
Dewey di atas. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok
pragmatisme, namun di antara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda.
Charles S. Peirce lebih dekat di sebut filsuf ilmu16, sedangkan William James disebut
filsuf agama17, dan John Dewey dikelompokkan pada filsuf sosial18.
13 Kebenaran menurut William James adalah sesuatu yang terjadi pada ide yang sifatnya tidak pasti.
Kebenaran bukan suatu yang statis, tetapi selalu berubah sejalan dengan perkembangan pengalaman.James
mengartikan keberan itu mengandung tiga aspek, pertama; kebenaran merupakan suatu postulat,
kedua;kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta dan ketiga; kebenaran merupakan kesimpulan yang
telah digeneralisasi dari pernyataan fakta.Dengan demikian James sebagai penganjur empirisme dengan
cara berpikir induktif.
14Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000),
56.
15Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali, 2010), 119.
16 Peirce lebih menekankan penerapan pragmatism ke dalam bahasa yaitu menerangkan arti-arti kalimat
sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain.Pierce menggunakan
pendekatan matemetik dan logika symbol (bahasa).
17 James menggunakan pendekatan psikologi untuk memecahkan masalah individual.
10
Kebenaran menurut Charles S. Peirce
Pierce membagi kebenaran menjadi dua, pertama; Kebenaran Transendental
(Trancendental Truth), yaitu kebenaran yang menetap pada benda itu sendiri.kedua;
kebenaran kompleks (Complex Truth), yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran
kompleks dibagi menjadi kebenaran etis atau psikologis yaitu keselarasan pernyataan
dengan apa ya ng diimani pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan
pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini harus
diuji dengan konsekuensi praktis melalui pengalaman.
Langkah awal yang harus dilakukan dalam memahami pandangan besar peirce
tentang kebenaran adalah memahami adanya tiga sifat dasar yang ada keyakinan; pertama
adanya proposi, kedua adanya penilaian, dan yang ketiga adanya kebiasaan dalam pikiran.
Untuk mencapai sebuah keyakinan akan suatu, minimal harus ada tiga sifat dasar
di atas. Pada gilirannya, keyakinan akan menghasilkan kebiasaan dalam pikiran (habit of
mind). Berbagai kepercayaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan dalam
pikiran yang dihasilkan. Dari situ, peirce kemudian membedakan antara keraguan dan
keyakinan. Orang yang yakin pasti berbeda dengan orang ragu minimal dari dua hal:
feeling and behavior. Orang yang ragu selalu merasa tidak nyaman dan akan berupaya
untuk menghilangkan keraguan itu untuk menemukan keyakinan yang benar.
Gagasan Peirce tentang keyakinan dan pencarian keyakinan yang benar, ia
mengemukakan dua tipologi, yakni; fixation of belief, usaha untuk meneguhkan
keyakinan yang telah dimiliki,agar bisa survive, dan Clarification of idea yang mencakup
metafisika, etika dan logika. Pierce mengembangkan dalam bidang logika yang
digagasnya dalam teori baru The New Logic (cara berfikir baru) dan The Logic of Inquiry
(logika penelitian). Bagi Pierce, logic tidak statis tapi bersifat dinamis, sehingga dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, apa yang nampak sebagai fenomena dibaca dan dicerna
dengan pembacaan yang kritis dan produktif.
Selanjutnya Peirce mengajukan lima konstruksi pemikiran yaitu, pertama; belief,
berupa tatanan sosial yang dipegangi dan moral, kedua; habit of mind, kebiasaan dalam
pikiran yakni adat istiadat yang turun temurun dan mengkristal, ketiga; doubt, keragu-
18 Dewey mengembangkan teori problem solving, yaitu mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi
masalah sosial. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis.
11
raguan akan apa yang selama ini dianggap mapan karena adanya benturan antara turath
(warisan keilmuan Islam) dengan al-hadathah (modernitas). Untuk memperoleh
keyakinan, menurut Pierce seorang peneliti perlu menggunakan empat, yakni; tenasitas,
otoritas, apriori, dan investigasi. Keempat; Inquiry (penelitian), yang dicari adalah
meaning (nilai) bukan truth (kebenaran)dan yang kelima;the logic of theory. Peirce
menegaskan bahwa kebenaran teks adalah sebagian kebenaran yang tertutup dalam
kebenaran absolut. Dari sini, Peirce menewarkan perlunya Commonity of Research
sehingga masing-masing kebenaran relatif tersebut masih dapat diapresiasi dan dikritik. 19
Peirce mengakui bahwa dalam sejarah manusia, usaha-usaha untuk mencari
keyakinan yang benar itu setidaknya dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya:
1. A priori, yang berasal dari bahasa latin: a (dari) dan prior (yang mendahului). A priori
digunakan, kontras dengan a posteriori, untuk mengacu pada kesimpulan-kesimpulan
kepada apa yangt sudah di tentukan, bukan dari pengalaman. Oleh karena itu, a priori
mengacu kepada apa yang dapat kita asalkan dari definisi dan apa yang tersirat dalam
makna ide yang sudah diterima. A priori berarti tidak bergantung padav pengalaman
indrawi. Barangkali ilustrasi yang tepat untuk a priori tersebut aedalah kasus
penemuan obat malaria yang terjadi sedcara kebetulan. Seorang indian yang sakit
minum air dikolam dan ahirnya mendapatkan kesembuhan. Hal ini terjadi berulang
kali pada beberapa orang. Akhirnya, diketahui bahwa di sekitar kolam tersebut
tumbuh sejenis pon yang kulitnya bisa digunakan sebagai obat malaria yang kemudian
berjatuhan di kolam tersebut. Penemuan pon yang kelak di kemudian hari dikenal
sebagai pon kina tersebut adalah terjadi secara kebetulan saja.
2. Trial and Error, artinya coba-coba. Metode ini bersifat untung-untungan. Salah satu
contoh ialah model percobaab problem box Thorndike. Percobaan tersebut adalah
seperti berikut: seekor kucing yang kelaparan dimasukkan ke dalam problem box,
suatu ruangan yang hanya dapat di buka apabila kucing berhasil menarik ujung tali
dengan membuka pintu. Karena rasa lapar dan melihat makanan di luar maka kucing
berusaha keluar dari kotak tersebut dengan berbagai cara. Akhirnya dengan tidak
sengaja si kucing berhasil menyentuh simpul tali yang membuat pintu jadi terbuka dan
dia pun berhasil keluar. Percobaan tersebut berdasarkan pada hal yang belum pasti,
yaitu kemampuan kucing tersebut untuk membuka pintu kotak masalah.
19 Milton K. Munitz, Contemporary Analytic Philosophy, 34.
12
3. Melalui otoritas. Kebenaran bisa didapati melalui otoritas seseorang yang memegang
kekuasaan, seperti seorang raja atau pejabat pemerintah yang setiap keputusan dan
kebijaksanaan dianggap benar oleh bawahannya. Dalam filsafat jawa dikenal dengan
istilah sabda pandita ratu, ucapan pendeta atau ratu selalu benar dan tidak boleh di
banta lagi.
4. Melalui metode ilmiah dan investigasi. Metode ilmiah merupakan prosedur yang
mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk
memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada.
Selanjutnya dalam sebuah makalah yang terbit pada 1878, yang berjudul How I
Make Our Ideas Clear, Peirce menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan di ukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Suatu pernyataan adalah benar apabila pernyataan dari konsekuensi dari pernyataan itu
dipercaya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Kepercayaan atau
keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik adalah yang menjadi justifikasi dari
segala tindakan. Keyakinan yang meningkatkan suatu kesuksesan adalah kebenaran.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh peirce
memang digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini: menurut teori pragmatis
tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku
atau memuaskan, berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh
para pengamat teori tersebut.
Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value.
James kemudian menyatakan: ide-ide yang benar menurut James, adalah ide-ide yang
dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan, dan kita periksa. Sebaliknya
ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan
pragmatisme, sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari
filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Dewey merumuskan instrumentalisme
pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good
excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, dewey
pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan
experimentalisme. Menurut aliran tersebut, ide gagasan, pikiran dan intelegent merupakan
alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
13
Peirce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran bisa menjadi ilmiah,
tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalahmasalah
metafisik dan agama. Lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of
meaning dan theory of truth.
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut practicalismesebenarnya
merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari pragmatisme peirce.
Hanya saja, peirce lebih menakankan pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk
menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan perbedaannya
dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol yang
pada gilirannya mengangkat namanya sebagai bapak semiotika modern, berbeda dengan
James yang menggunakan pendekatan psikologi. Dengan semangat logika positivistik
inilah, menurut beberapa tulisan, kemudian muncul sikap skeptis peirce terhadap
kemungkinan pengetahuan metafisik. Semangat logika positivistik menganggap semua
pernyataan yang tidak terkait dengan benda-benda fisik- misalnya pernyataan etika dan
metafisika- sebagai meaningless, tak bermakna atau omong kosong. John Passmore,
misalnya, mengatakan bahwa kaum positivis menolak metafisika transendental atasdasar
bahwa pernyataan-pernyataan itu tidak bermakna sama sekali. Namun demikian, kajian
metafisika ini tetap diyakini pierce dapat didiskusikan dan diselesaikan melalui filsafat.
Salah satu masukan yang disumbangkan oleh telaah dan kajian pragmatisme, juga
filsafat analitik adalah analisisnya yang tajam tentang corak pemikiran metafisik yang
terkait dengan world view (pandangan dunia) adalah monistic and pluralistic.
Penutup
Pragmatisme merupakan filsafat bertindak dalam menghadapi berbagai persoalan,
baik yang bersifat psikologis, epistemologis, metafisis, maupun religious. Pragmatisme
selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya, selalu dikaitkan dengan
kegunaannya dalam hidup manusia. Konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan
manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu kritik terhadap pendekatan ideologis dan
prinsip pemecahan masalah. Sebagai kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme
mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan.
Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusanrunmusan
abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuensi praktis. Bagi kaum
14
pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada
pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai prinsip pemecahan masalah,
pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila
memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan penuh
keresahan sedemikian rupa sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang. Teori
sebagai alat untuk bertindak, teori yang tepat adalah teori yang berguna yang siap pakai
Dari kedua sifat tersebut di atas, maka segi positifnya tampak pada penolakan
kaum pragmatis terhadap perselisihan teoretis, pertarungan ideologis serta pembahasan
nilai-nilai yang berkepanjangan, demi segera mungkin mengambil tindakan langsung.
Sedangkan dari sisi negatifnya ada tiga hal, yaitu ;pertama pragmatisme
mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu
ide adalah satu kondisi, sedang kegunaan praktis ide itu adalah kondisi yang lain.
Kebenaran sebuah ide diukur antara kesesuaian ide dengan realitas. Sedang kegunaan
praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, diukur dari kebenaran ide yang
diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi
hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia.
Kedua, Pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran
sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu.
Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah
identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan
manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide.
Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya
dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan
keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif.
Ketiga, Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai
dengan perubahan subjek penilai ide (individu, kelompok, dan masyarakat) dan perubahan
konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat
dibuktikan sesuai dengan pragmatisme itu sendiri, sehingga pragmatisme berarti telah
menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
15
Daftar Rujukan:
Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integrative
Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali, 2010.
Choir, Tholhatul dan Fanani, Ahwan (ed.). Islam dalam berbagai pembacaan kontemporer.
Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009.
Gunawan (ed.) http://grelovejogja.wordpress.com/2008/12/18/kajian-epistemologicharles-
sanders-pierce-1839-1914. dipublikasi pertama kali pada tanggal 18
Desember 2008.
Knipers, Theo A.F (ed.) General Phylosophy of Science. Oxford, 2007.
Munitz, Milton K.. Contemporery Analitic Philosophy. New York; Macmillan Publishing
Co.Inc. 1981.
Mustanshir, Rijal dan Munir, Misnan. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Santoso, Slamet Imam. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Sinar Hudaya,
1977.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2000.
Verhaak, C. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Novel Hati Suhita

KETEGUHAN HATI WANITA REVIEW NOVEL HATI SUHITA Judul: Hati Suhita Penulis: Khilma Anis Editor: Akhiriyati Sundari Penyunting:...