Selasa, 18 September 2012

Herbert Spencer



Spencer lahir di Derby, Inggris pada tanggal 27 April 1820. Ia tak belajar seni dan humaniora, tetapi di bidang teknik dan bidang- bidang utilitarian. Tahun 1837 ia mulai bekerja sebagai insinyur sipil jalan kereta api, jabatan yang dipegangnya hingga tahun 1846. Selama periode ini Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri dan mulai menerbitkan karya ilmiah dan politik. Tahun 1848 Spencer ditunjuk sebagai redaktur The Economist dan gagasan intelektualnya mulai mantap. Tahun 1850 ia menyelesaikan karya besar pertamanya, Social Statics. Selama menulis karya ini Spencer untuk pertama kali mulai mengalami insomnia (tak bisa tidur) dan dalam beberapa tahun berikutnya masalah mental dan fisiknya ini terus meningkat. Ia menderita gangguan saraf sepanjang sisa hidupnya.
Tahun 1853 Spencer menerima harta warisan yang memungkinkannya berhenti bekerja dan menjalani sisa hidupnya sebagai seorang sarjana bebas. Ia tak pernah memperoleh gelar kesarjanaan universitas atau memangku jabatan akademis. Karena ia makin menutup diri, dan penyakit fisik dan mentalnya makin parah, produktivitasnya makin menurun. Akhirnya Spencer mulai mencapai kemasyhuran tak hanya di Inggris tetapi juga reputasi internasional. Richard Hofstadter mengatakan, “Selama tiga dekade sesudah perang saudara, orang tak mungkin aktif berkarya di bidang intelektual apapun tanpa menguasai (perkiraan) Spencer.” (1959:33).
Namun, nasib Spencer ternyata tak seperti itu. Salah satu watak Spencer paling menarik yang menjadi penyebab kerusakan intelektualnya adalah keengganannya membaca buku orang lain. Dalam hal ini ia sama dengan tokoh sosiologi awal Auguste Comte yang juga mengalami gangguan otak. Mengenai keengganannya membaca buku orang lain itu, Spencer berkata : “Aku telah menjadi pemikir sepanjang hidupku, bukan menjadi pembaca, aku sependapat dengan yang dikatakan Hobbes bahwa jika aku membaca sebanyak yang dibaca orang lain, aku hanya akan mengetahui sedikit yang mereka ketahui itu” (Wiltshire, 1978:67). Temannya pernah meminta pendapatnya buku, dan “jawabannya adalah bila membaca buku ia melihat asumsi fundamental buku itu keliru dan karena itulah ia tak mau membaca buku” (Wiltshire, 1978:67). Seorang pengarang menulis tentang “cara Spencer dalam menyerap pengetahuan melalui kekuatan kulitnya…ia rupanya tak pernah membaca buku” (Wiltshire, 1978:67)
Bila tak pernah membaca karya sarjana lain, lalu darimana gagasan dan pemahaman Spencer berasal. Menurut Spencer, ide-idenya muncul tanpa sengaja dan secara intiutif dari pikirannya. Ia mengatakan bahwa gagasannya muncul “sedikit demi sedikit, secara rendah hati tanpa disengaja atau tanpa upaya yang keras” (Wiltshire, 1978:66). Institusi seperti itu dianggap Spencer jauh lebih efektif ketimbang upaya berpikir dan belajar tekun : “Pemecahan yang dicapai melalui cara yang dilukiskan itu mungkin lebih benar ketimbang yang dicapai pemikiran” (Wiltshire, 1978:66).
Spencer menderita karena enggan membaca secara serius karya orang lain. Sebenarnya, jika ia membaca karya orang lain, itu dilakukannya hanya sekedar untuk menemukan pembenaran pendapatnya sendiri. Ia mengabaikan gagasan orang lain yang tak mengakui gagasannya. Demikianlah, Charles Darwin, pakar sezamannya, berkata tentang Spencer, “Jika ia mati melatih dirinya untuk mengamati lebih banyak, dengan risiko kehilangan sebagian dari kekuatan berpikirnya sekalipun, tentulah ia telah menjadi seorang manusia yang sangat hebat” (Wiltshire, 1978:70) pengabaian Spencer terhadap aturan ilmu pengetahuan menyebabkan ia membuat serentetan gagasan kasar dan pernyataan yang belum dibuktikan  kebenarannya mengenai evolusi kehidupan manusia. Karena itulah sosiolog abad 20 menolak gagasan Spencer dan riset empiris yang tekun. Spencer meninggal 8 Desember 1903.
Tokoh yang satu ini mamang hampir saja membingungkan kita, antara mana teori Herbert Spencer dan mana teori Auguste Comte karena keduanya memiliki kesamaan yang sulit dibedakan. Salah satu pandangannya adalah mengenai hubungan negara dengan persoalan individual, menurutnya negara tidak perlu ikut campur dalam persoalan individu kecuali dalam fungsi pasif untuk melindungi rakyatnya. Bahkan ia tidak tertarik terhadap bentuk reformasi sosial, ia menginginkan kehidupan sosial berkembang bebas dari kontrol eksternal.
Spencer pantas dibilang sebagai “Darwinis Sosial” mengacu pada pandangan-pandangan teori evolusinya. Ia mempercayai akan kehidupan maasyarakat yang akan tumbuh progresif menuju keadaan yang lebih baik, untuk itu masyarakat harus dibiarkan bekembang sendiri. masyarakat harus dilepas dari campur tangan eksternal yang diyakini justru memperburuk keadaan.
Spencer menyetujui akan adanya evolusi darwin dalam konteks sosial, yaitu apabila dibiarkan dengan sendirinya teori itu akan berlaku dimana individu yang layak bertahan hidup akan berkembang, sedangkan individu yang yang tidak layak maka ia akan tersingkir.
Letak perbedaan Spencer dengan Comte adalah, Spencer memusatkan perhatiannya pada individu, sedangkan Comte pada unit yang lebih luas, misalnya keluarga. Namun dibalik itu lebih banyak kesamaan diantara keduanya, keduanya memiliki orientasi dan interprestasi yang sama   dalam sosiologi. Disamping keduanya sama-sama memandang masyarakat sebagai sebuah organisme. Teori keduanya terinspirasi ilmu biologi mengenai sistem organisme yang saling berhubungan.
Perbedaan keduanya nampak jelas saat Spencer menolak gagasan Comte tentang tiga tingkatan cara berfikir karena comte dinilainya menjelaskan evolusi dalam dunia gagasan bukan dari kehidupan nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Novel Hati Suhita

KETEGUHAN HATI WANITA REVIEW NOVEL HATI SUHITA Judul: Hati Suhita Penulis: Khilma Anis Editor: Akhiriyati Sundari Penyunting:...