A. Pendahuluan
Sastra merupakan refleksi lingkungan budaya dan merupakan satu teks dialektis antara pengarang dan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Sehubungan dengan ini sering dikatakan bahwa syair merupakan antologi kehidupan masyarakat Arab (Diwān al-`Arab). Artinya, semua aspek kehidupan yang berkembang pada masa tertentu tercatat dan terekam dalam sebuah karya sastra (syair).
Penyair bukanlah satu-satunya komunitas yang amat peduli kepada pendidikan syair. Secara umum anggota masyarakat juga memiliki kepedulian yang sama. Untaian kata-kata dalam syair bagi masyarakat Arab bukanlah semata-mata bunyi yang disuarakan lisan yang tanpa makna (absurd), melainkan sarana yang ampuh untuk membakar semangat, menarik perhatian, dan meredam emosi yang bergejolak di tengah kehidupan masyarakat. Bisa dipahami kalau masyarakat meyakini bahwa para penyair memiliki pengetahuan magis[1] yang terekspresikan dalam syair dan keberadaan syair ini sangat diperhatikan dan dipatuhi substansinya karena ia merupakan realitas kehidupan kabilah. Nampaknya inilah alasan yang diyakini masyarakat ketika mereka menempatkan para penyair pada posisinya yang terhormat. Mereka menjadi simbol kejayaan suatu kabilah dan penyambung lidah yang mampu melukiskan kebaikan dan kemenangan kabilah sebagaimana mereka mampu mendeskripsikan kejelekan dan kekalahan perang yang diderita kabilah lain.
Dalam kajian keislaman, pengetahuan tentang sastra mempunyai posisi yang strategis, hal itu karena sumber induk (Al-Qur’an) menggunakan bahasa sastrawi yang begitu indah membuat takjub sastrawan di kawasan itu, selain itu pemahaman terhadap sastra juga merupakan salah satu kunci dalam memahami wahyu Allah, baik yang matluw (Al-Quran) maupun ghair al-matluw (Hadis). Untuk memahami tentang sastra tentunya kita harus memahami sejarah serta perkembangnya sehingga kita tidak ahistoris serta menghasilkan pemahaman yang objektif.
B. Pengertian Sastra
Sastra yang dalam ungkapan arab di sebut al-Adab, pada awalnya merupakan undangan untuk menyantap makanan. Tradisi semacam ini merupakan perbuatan yang terpuji dan menunjukan moralitas yang tinggi.[2] Sejalan dengan berjalannya waktu kata adab dipakai sebagai kata yang mencakup pendidikan baik lisan atau budi pekerti sebagaimana dalam hadis : Addabani Rabbi fa Ahsana Ta’dibi. Pada masa umayyah kata adab berarti pengajaran selanjutnya pengertian adab diringkas menjadi sebuah tulisan yang indah dan mempunyai makna puisi dan syair.[3]
Dalam mendefinisikan adab (sastra) para Udaba’ berbeda-beda :
الادب صياغة فنية لتجربة بشرية
ungkapan puitis tentang pengalaman manusia
sebagian mendefinisikan
الادب تعبير عن الحياة وسيلته اللغة
ungkapan puitis tentang pengalaman yang indah dengan menggunakan media bahasa
الادب من مولدات الفكر البشري المعبرعنها بأسلوب فني جميل
hasil pemikiran manusia yang diungkapkan dengan ungkapan yang mengandung seni dan keindahan atau seni ungkapan yang indah.[4]
Dari berbagai macam definisi ini dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan seni ungkapan yang indah.
C. Periodesasi
Ada beberapa pendapat dalam membagi periode sastra, mayoritas membagi menjadi 5 periode, yaitu :
1. al-asr al-jahili, dimulai 2 abad sebelum islam lahir sampai islam lahir.
2. al-Shadr al-Islam, dimulai sejak islam lahir sampai runtuhnya bani umayyah 132 H.
3. al-Shadr al-Abbasi, sejak berdirinya dinasti abbasiyah samapai runtuhnnya kota Baghdad tahun 656 H.
4. al-Shadr al-Turki al-Ustmani, sejak runtuhnya Baghdad samapai timbulnya kebangkitan arab di abad modern.
5. al-Shadr al-Hadis (modern), sejak timbulnya nasionalisme bangsa arab.[5]
Sebagian membagi menjadi 4 fase, yaitu :
a. al-Adab al-Qadim , sejak sebelum islam sampai runtuhnya dinasti umayyah.
b. al-Adab al-Muhdas, sejak keruntuhan dinasti umawi sampai berdirinya dinasti abbasi 656H.
c. al-Adab al-Turki, sampai kerunttuhan ottoman.
d. al-Adab al-Hadis.[6]
Sedangkan team dosen-dosen dari Negara Arab, membagi menjadi 4, yaitu :
i. al-Adab al-arabi al-Qadim,
ii. al-Adab al-arabi al-muwallad
iii. al-Adab al-arabi al-minhar
iv. al-Adab al-arabi al-jadid[7]
Dari berbagai pendapat diatas, sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan, perbedaanya hanya terletak pada pengunaan istilah saja.
D. Macam-macam sastra
Sastra arab terbagi menjadi dua, syair dan natsar. Syair (puisi) adalah kata-kata yang berirama dan berqafiyah yang mengungkapkan imajinasi nan indah dan bentuk ungkapan yang mempunyai kesan mendalam.[8] Sedangkan prosa kebalikan dari puisi.
Jenis-jenis syair atau tujuan pengungkapannya pada masa jahiliyah :
1. Al-Madh pujian.
2. Al-Hija’ ejekan.
3. Al-Fakhr membanggakan.
4. Al-Hammasah semangat yakni untuk membangkitkan semangat ketika ada suatu peristiwa semacam perang atau membangun sesuatu
5. Al-Hikmah/ghazal atau ungkapan cinta bagi sang kekasih
6. Al-I’tidzar permohonan maaf.
7. Ar-Ratsa’ belasungkawa
8. Al-Washf pemberian yaitu penjelasan perhadap sesuatu dengan sangat simbolistik dan ekspresionistik[9]
Tingkatan penyair :
a) Jahili seperti , Umru al-Qais, Zuhair bin Abi Sulma
b) Mukhadramun, mereka yang dikenal dengan puisinya di masa jahiliyah dan Islam seperti, Khansa’ dan Hasan bin Tsabit.
c) Islamiyun, penyair yang hidup di masa islam tetapi masih memegang tradisi arab seperti penyair-penyair pada masa umawi.
d) Muwalladun yaitu yang bahasanya telah rusak tetapi berusaha memperbaikinya seperti penyair yang hidup di masa abbasiyah.[10]
Jika di lihat dari sisi kualitas, penyair jahili terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1. Umru’ al-Qais, Nabighah, Zuhair.
2. Al-A’sya Qais, Labid bin Rabiah, Tharafah bin al-Abd
3. Antarah, Urwah bin al-Ward, Numair bin Taulab, Duraid bin Shammah dan Muraqqas al-Akbar.[11]
Sedangkan Natsr pada masa jahiliyah terdapat beberapa macam,: Khutbah, wasiat , Hikmah dan Matsal.
Khutbah: Yaitu serangkaian perkataan yang jelas dan lugas yang disampaikan kepada khalayak ramai dalam rangka menjelaskan suatu perkara penting.
Sebab-sebab munculnya khutbah pada periode Jahiliyah
Wasiat : yaitu nasihat seorang yang akan meninggal dunia atau akan berpisah kepada seorang yang dicintainya dalam rangka permohonan untuk mengerjakan sesuatu, seperti wasiat Hasyim bin Abdi Manaf kepada kaum Quraisy untuk memuliakan jamaah haji.
Hikmah : Yaitu kalimat yang ringkas yang menyentuh yang bersumber dari pengalaman hidup yang dalam, didalamnya terdapat ide yang lugas dan nasihat yang bermanfaat. Seprti :[15]
آفة الرأي الهوى
“Perusak akal sehat manusia adalah hawa nafsunya
Matsal : Yaitu kalimat singkat yang diucapkan pada keadaan atau peristiwa tertentu, digunakan untuk menyerupakan keadaan atau peristiwa tertentu dengan keadaan atau peristiwa asal dimana matsal tersebut diucapkan. seperti :[16]
سبق السيف العذل
“Pedang telah mendahului celaan.”
E. Ciri Umum Sastra Jahily
Ketinggian bahasa sastra Jahily saat itu memang tak diragukan lagi oleh banyak pengamat kebudayaan, hal karena dikarenakan kondisi sosio-historis yang melatarbelakanginya serta event pasar sastra dan ayyam al-arab turut memberikan andil yang tidak sedikit. Dari sisi makna sastra jahily adalah sebagai berikut :
1. Kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan tanpa ungkapan yang berlebihan.
2. susunan kalimat yang ringkas
3. sederhana dalam struktur kalimat hal ini dilatarbelakangi kondisi sosiologis, cara mereka hidup menciptakan karakter manusia yang sederhana sehingga mempengaruhi ketika menyusun sebuah ungkapan.
4. Romantis, bahasa yang romantis ketika mengungkapkan jiwa perasaan penyair.[17]
5. al-Muhdhar menambahkan karakteristik sastra jahili adalah mengungkapkan kejantanan dan keperwiraan, menceritakan pengalaman baik yang butuk maupun yang jelek.[18]
Dari berbagai karakter di atas dapat disimpulkan bahwa corak sastra jahily sangaat sederhana hal itu dipengaruhi cara hidup mereka yang sangat sederhana sehingga membentuk jiwa yang sederhana, begitupun dalam mengungkapan sesuatu.
Sastra merupakan refleksi lingkungan budaya dan merupakan satu teks dialektis antara pengarang dan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Sehubungan dengan ini sering dikatakan bahwa syair merupakan antologi kehidupan masyarakat Arab (Diwān al-`Arab). Artinya, semua aspek kehidupan yang berkembang pada masa tertentu tercatat dan terekam dalam sebuah karya sastra (syair).
Penyair bukanlah satu-satunya komunitas yang amat peduli kepada pendidikan syair. Secara umum anggota masyarakat juga memiliki kepedulian yang sama. Untaian kata-kata dalam syair bagi masyarakat Arab bukanlah semata-mata bunyi yang disuarakan lisan yang tanpa makna (absurd), melainkan sarana yang ampuh untuk membakar semangat, menarik perhatian, dan meredam emosi yang bergejolak di tengah kehidupan masyarakat. Bisa dipahami kalau masyarakat meyakini bahwa para penyair memiliki pengetahuan magis[1] yang terekspresikan dalam syair dan keberadaan syair ini sangat diperhatikan dan dipatuhi substansinya karena ia merupakan realitas kehidupan kabilah. Nampaknya inilah alasan yang diyakini masyarakat ketika mereka menempatkan para penyair pada posisinya yang terhormat. Mereka menjadi simbol kejayaan suatu kabilah dan penyambung lidah yang mampu melukiskan kebaikan dan kemenangan kabilah sebagaimana mereka mampu mendeskripsikan kejelekan dan kekalahan perang yang diderita kabilah lain.
Dalam kajian keislaman, pengetahuan tentang sastra mempunyai posisi yang strategis, hal itu karena sumber induk (Al-Qur’an) menggunakan bahasa sastrawi yang begitu indah membuat takjub sastrawan di kawasan itu, selain itu pemahaman terhadap sastra juga merupakan salah satu kunci dalam memahami wahyu Allah, baik yang matluw (Al-Quran) maupun ghair al-matluw (Hadis). Untuk memahami tentang sastra tentunya kita harus memahami sejarah serta perkembangnya sehingga kita tidak ahistoris serta menghasilkan pemahaman yang objektif.
B. Pengertian Sastra
Sastra yang dalam ungkapan arab di sebut al-Adab, pada awalnya merupakan undangan untuk menyantap makanan. Tradisi semacam ini merupakan perbuatan yang terpuji dan menunjukan moralitas yang tinggi.[2] Sejalan dengan berjalannya waktu kata adab dipakai sebagai kata yang mencakup pendidikan baik lisan atau budi pekerti sebagaimana dalam hadis : Addabani Rabbi fa Ahsana Ta’dibi. Pada masa umayyah kata adab berarti pengajaran selanjutnya pengertian adab diringkas menjadi sebuah tulisan yang indah dan mempunyai makna puisi dan syair.[3]
Dalam mendefinisikan adab (sastra) para Udaba’ berbeda-beda :
الادب صياغة فنية لتجربة بشرية
ungkapan puitis tentang pengalaman manusia
sebagian mendefinisikan
الادب تعبير عن الحياة وسيلته اللغة
ungkapan puitis tentang pengalaman yang indah dengan menggunakan media bahasa
الادب من مولدات الفكر البشري المعبرعنها بأسلوب فني جميل
hasil pemikiran manusia yang diungkapkan dengan ungkapan yang mengandung seni dan keindahan atau seni ungkapan yang indah.[4]
Dari berbagai macam definisi ini dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan seni ungkapan yang indah.
C. Periodesasi
Ada beberapa pendapat dalam membagi periode sastra, mayoritas membagi menjadi 5 periode, yaitu :
1. al-asr al-jahili, dimulai 2 abad sebelum islam lahir sampai islam lahir.
2. al-Shadr al-Islam, dimulai sejak islam lahir sampai runtuhnya bani umayyah 132 H.
3. al-Shadr al-Abbasi, sejak berdirinya dinasti abbasiyah samapai runtuhnnya kota Baghdad tahun 656 H.
4. al-Shadr al-Turki al-Ustmani, sejak runtuhnya Baghdad samapai timbulnya kebangkitan arab di abad modern.
5. al-Shadr al-Hadis (modern), sejak timbulnya nasionalisme bangsa arab.[5]
Sebagian membagi menjadi 4 fase, yaitu :
a. al-Adab al-Qadim , sejak sebelum islam sampai runtuhnya dinasti umayyah.
b. al-Adab al-Muhdas, sejak keruntuhan dinasti umawi sampai berdirinya dinasti abbasi 656H.
c. al-Adab al-Turki, sampai kerunttuhan ottoman.
d. al-Adab al-Hadis.[6]
Sedangkan team dosen-dosen dari Negara Arab, membagi menjadi 4, yaitu :
i. al-Adab al-arabi al-Qadim,
ii. al-Adab al-arabi al-muwallad
iii. al-Adab al-arabi al-minhar
iv. al-Adab al-arabi al-jadid[7]
Dari berbagai pendapat diatas, sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan, perbedaanya hanya terletak pada pengunaan istilah saja.
D. Macam-macam sastra
Sastra arab terbagi menjadi dua, syair dan natsar. Syair (puisi) adalah kata-kata yang berirama dan berqafiyah yang mengungkapkan imajinasi nan indah dan bentuk ungkapan yang mempunyai kesan mendalam.[8] Sedangkan prosa kebalikan dari puisi.
Jenis-jenis syair atau tujuan pengungkapannya pada masa jahiliyah :
1. Al-Madh pujian.
2. Al-Hija’ ejekan.
3. Al-Fakhr membanggakan.
4. Al-Hammasah semangat yakni untuk membangkitkan semangat ketika ada suatu peristiwa semacam perang atau membangun sesuatu
5. Al-Hikmah/ghazal atau ungkapan cinta bagi sang kekasih
6. Al-I’tidzar permohonan maaf.
7. Ar-Ratsa’ belasungkawa
8. Al-Washf pemberian yaitu penjelasan perhadap sesuatu dengan sangat simbolistik dan ekspresionistik[9]
Tingkatan penyair :
a) Jahili seperti , Umru al-Qais, Zuhair bin Abi Sulma
b) Mukhadramun, mereka yang dikenal dengan puisinya di masa jahiliyah dan Islam seperti, Khansa’ dan Hasan bin Tsabit.
c) Islamiyun, penyair yang hidup di masa islam tetapi masih memegang tradisi arab seperti penyair-penyair pada masa umawi.
d) Muwalladun yaitu yang bahasanya telah rusak tetapi berusaha memperbaikinya seperti penyair yang hidup di masa abbasiyah.[10]
Jika di lihat dari sisi kualitas, penyair jahili terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1. Umru’ al-Qais, Nabighah, Zuhair.
2. Al-A’sya Qais, Labid bin Rabiah, Tharafah bin al-Abd
3. Antarah, Urwah bin al-Ward, Numair bin Taulab, Duraid bin Shammah dan Muraqqas al-Akbar.[11]
Sedangkan Natsr pada masa jahiliyah terdapat beberapa macam,: Khutbah, wasiat , Hikmah dan Matsal.
Khutbah: Yaitu serangkaian perkataan yang jelas dan lugas yang disampaikan kepada khalayak ramai dalam rangka menjelaskan suatu perkara penting.
Sebab-sebab munculnya khutbah pada periode Jahiliyah
- Banyaknya perang antar kabilah.
- Pola hubungan yang ada pada masyarakat Jahiliyyah seperti saling mengucapkan selamat, belasungkawa dan saling memohon bantuan perang.
- Kesemrawutan politik yang ada kala itu.
- Menyebarnya buta huruf, sehingga komunikasi lisan lebih banyak digunakan daripada tulisan.
- Saling membanggakan nasab dan adat istiadat.[12]
- Kalimat yang ringkas
- Lafadz yang jelas.
- Makna yang mendalam.
- Sajak (berakhirnya setiap kalimat dengan huruf yang sama).
- Sering dipadukan dengan syair, hikmah dan matsal[13]
Wasiat : yaitu nasihat seorang yang akan meninggal dunia atau akan berpisah kepada seorang yang dicintainya dalam rangka permohonan untuk mengerjakan sesuatu, seperti wasiat Hasyim bin Abdi Manaf kepada kaum Quraisy untuk memuliakan jamaah haji.
Hikmah : Yaitu kalimat yang ringkas yang menyentuh yang bersumber dari pengalaman hidup yang dalam, didalamnya terdapat ide yang lugas dan nasihat yang bermanfaat. Seprti :[15]
آفة الرأي الهوى
“Perusak akal sehat manusia adalah hawa nafsunya
Matsal : Yaitu kalimat singkat yang diucapkan pada keadaan atau peristiwa tertentu, digunakan untuk menyerupakan keadaan atau peristiwa tertentu dengan keadaan atau peristiwa asal dimana matsal tersebut diucapkan. seperti :[16]
سبق السيف العذل
“Pedang telah mendahului celaan.”
E. Ciri Umum Sastra Jahily
Ketinggian bahasa sastra Jahily saat itu memang tak diragukan lagi oleh banyak pengamat kebudayaan, hal karena dikarenakan kondisi sosio-historis yang melatarbelakanginya serta event pasar sastra dan ayyam al-arab turut memberikan andil yang tidak sedikit. Dari sisi makna sastra jahily adalah sebagai berikut :
1. Kejujuran dalam mengungkapkan apa yang dirasakan tanpa ungkapan yang berlebihan.
2. susunan kalimat yang ringkas
3. sederhana dalam struktur kalimat hal ini dilatarbelakangi kondisi sosiologis, cara mereka hidup menciptakan karakter manusia yang sederhana sehingga mempengaruhi ketika menyusun sebuah ungkapan.
4. Romantis, bahasa yang romantis ketika mengungkapkan jiwa perasaan penyair.[17]
5. al-Muhdhar menambahkan karakteristik sastra jahili adalah mengungkapkan kejantanan dan keperwiraan, menceritakan pengalaman baik yang butuk maupun yang jelek.[18]
Dari berbagai karakter di atas dapat disimpulkan bahwa corak sastra jahily sangaat sederhana hal itu dipengaruhi cara hidup mereka yang sangat sederhana sehingga membentuk jiwa yang sederhana, begitupun dalam mengungkapan sesuatu.
* disampaikan dalam Kajian Rutin kelas PKBA, 09-03-2011
[1] Ahmad Amin, Fadjrul Islam, (Kairo : Maktabah Nahdiyah, 1975), 55.
[1] Ahmad Amin, Fadjrul Islam, (Kairo : Maktabah Nahdiyah, 1975), 55.
[2] Syauqi Dhaif, Tarikh al-Adab al-Arabi : al-Ashru al-Jahili, ( Kairo : Dar al-Ma’arif, 2001), 7-10.
[3] Lajnah, al-Mujaz di al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, (Beirut : Dar al-Ma’arif, 1962), 5.
[4] Judzif al-Hasyim, al-Mufid fi al-Adab al-Araby, (Beirut : Maktabah al-Tijari, tt), 14.
[5] Ahmad Hasan Zayyat, Tarikh Adab al-Arabi, (Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1996), 8, Ahmad, al-Iskandari, Mustafa Anani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu, (Kairo : Dal Al-Ma’rifah, 1916), 10..
[6] Umar Farukh, al-Manhaj al-Jadid fi al-Adab al-Arabi, (Beirut : Dar al-Ilm l al-malayin, tt), 24.
[7] Lajnah, al-Mujaz…,
[8] Zayyat, Tarikh…, 25.
[9] Wildan Wargadinata, Laily Fitriani, Sastra Arab dan Lintas Budaya, (Malang : UIN Press, 2008), 101.
[10] Ahmad bin Ibrahim al-Hasyimi, Jawahir al-Adab, Juz 2, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1971), 254.
[11] ibid
[12] al-Hasyimi, Jawahir…, 245.
[13] Wildan, Sastra Arab…, 164-166.
[14] al-Hasyimi, Jawahir…, 245-246
[15] ibid, 252.
[16] Syauqi, Tarikh…, 404.
[17] Wildan, Sastra Arab…, 212-213.
[18] Yunus Ali al-Muhdar, Bey Arifin, Sejarah Kesusastraan Arab, (Surabaya : Bina Ilmu, 1983), 77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar