Marzuki Mustamar
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Humaniora dan Budaya, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
e-mail: <
marzuki.gasek@gmail.com>
Abstract
“Ayyam
al-Arab” and “al-Ansab” which recorded, both in the form of genre prosa
and genre poetry is an authentic evidence that show jahiliyah society
have produced literary works. Those two sources were dig up by hammad
al-Rawiyyah when he codified jahili’s literary works.
Keywords
Codification, Jahili’s literary
Pendahuluan
Secara
sosiologis sastra merupakan refleksi lingkungan budaya dan merupakan
satu teks dialektis antara pengarang dan situasi sosial yang
membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang
dikembangkan dalam karya sastra. Sehubungan dengan ini sering dikatakan
bahwa syair merupakan antologi kehidupan masyarakat Arab (Diwan al-`Arab) (Khafajy, 1973:195). Artinya, semua aspek kehidupan yang berkembang pada masa tertentu tercatat dan terekam dalam sebuah karya sastra (syair).
Kalangan
penyair bukanlah satu-satunya komunitas yang amat peduli kepada
pendidikan syair. Secara umum anggota masyarakat (kabilah) juga memiliki
kepedulian yang sama. Untaian kata-kata dalam syair bagi masyarakat
Arab bukanlah semata-mata bunyi yang disuarakan lisan yang tanpa makna (absurd), melainkan sarana yang ampuh (sakral)
untuk membakar semangat, menarik perhatian, dan meredam emosi yang
bergejolak di tengah kehidupan masyarakat. Bisa dipahami kalau
masyarakat meyakini bahwa para penyair memiliki pengetahuan magis
(Amin, 1975:55) yang terekspresikan dalam syair dan keberadaan syair
ini sangat diperhatikan dan dipatuhi substansinya karena ia merupakan
realitas kehidupan kabilah. Nampaknya inilah alasan yang diyakini
masyarakat ketika mereka menempatkan para penyair pada posisinya yang
terhormat (Khafajy, 1973:195).
Mereka menjadi simbol kejayaan suatu kabilah dan penyambung lidah yang
mampu melukiskan kebaikan dan kemenangan kabilah sebagaimana mereka
mampu mendeskripsikan kejelekan dan kekalahan perang yang diderita
kabilah lain. Itulah di antara beberapa sebab mengapa syair pada periode
jahili didominasi oleh jenis madah (pujian/ode) dan hija’ (ejekan/satire) (Al-Iskandary, 1952:65).
Eksistensi Sastra Arab Jahily
Seorang
pemikir Islam dan juga seorang sastrawan, adalah Thaha Husein dengan
sejumlah argumen untuk membangun teorinya -melalui pendekatan
sosiologis/ekstrinsik- merasa keberatan (“menolak”) akan keberadaan
sastra Arab jahili. Dari hasil penelitiannya ia mengajukan tiga tesis
yang amat tajam. Tesis pertama, sebagian besar dari apa yang
disebut syair Arab jahili bukan lahir pada masa jahiliyah, melainkan
diciptakan pada zaman Islam (Husein, tt:65). Tesis kedua,
adanya kesenjangan antara gaya intelektual yang ada pada sastra (syair)
jahili dan kondisi intelektual masyarakat Arab jahiliyah (Husein,
tt:67). Tesis ketiga, keberadaan syair lebih awal dari pada
prosa, karena prosa membutuhkan bahasa rasional yang amat perlu kepada
ketrampilan dan kepandaian menulis. Dimaklumi, pada saat itu masyarakat jahiliyah adalah masyarakat ummi (tidak bisa membaca dan menulis) (Husein, tt:326-329).
Munculnya
statemen di atas, membuat ulama konservatif Mesir marah, ia harus
dikeluarkan dari lingkungan akademik Universitas al-Azhar dan bahkan ia
dituduh “kafir”. Baik dalam bentuk buku maupun tulisan lepas, kritik
arus balik bermunculan guna mengkritisi pikiran-pikiran dan teori-teori
yang dibangun Thaha Husein. Mereka khawatir metode kritik yang
ditransformasi dari “Barat” itu akan menggugurkan dasar-dasar struktur
tradisional penafsiran al-Qur`an dan pengajaran sastra Arab.
Menurut
sebagian sastrawan, sastra Arab telah ada beberapa abad sebelum Masehi.
Akan tetapi karya sastra (syair) tersebut yang ada sampai sekarang
adalah karya sastra yang lahir dua abad sebelum Islam. Hal ini bukan
berarti bahwa sebelum itu orang Arab tidak mengenal sastra, tetapi yang
dapat direkam hanya sampai pada zaman Muhalhil saja. Oleh sebab itu ia
dianggap sebagai perintis pertama sastra Arab jahiliyah.
Masyarakat Arab jahiliyah dikenal sebagai masyarakat yang tidak bisa membaca dan menulis (ummi).
Maka satu-satunya yang dapat diandalkan ketika mereka menerima
informasi adalah kekuatan hafalan. Di samping itu, juga adanya faktor
eksternal yang sangat dominan, yaitu mereka terdorong untuk menghafal al-Ayyam (peristiwa penting) dan al-Ansab (genealogi) yang menjadi kebanggaan. Dua jenis pengetahuan ini banyak tersimpan dalam karya sastra baik berupa syair maupun
berupa prosa (Yatim, 1997:29-39). Maka amat wajar kalau pada masa
jahiliyah karya sastra disosialisasikan melalui sarana tradisi oral.
Dengan kata lain, seorang penyair meriwayatkan gubahan syair kepada
generasi penyair lainnya, kemudian penyair tersebut meriwayatkannya
kepada penyair berikutnya. Pada akhirnya proses penyampaian semacam ini
mengenal istilah riwayah yang sekaligus terkait dengan sanad (transmisi), matan (materi/isi), dan al-`ardh wa al-ada` (penyampaian).
Karakteristik Sastra Arab Jahily
Seperti yang dikemukakan Syauqi Dhaif, ada beberapa persyaratan dalam penyampaian (al-`ardh wa al-ada`) sebuah karya sastra. Pertama, al-tamatstsul yaitu memberikan contoh pengungkapan karya sastra dengan susunan yang baik. Kedua, al-diqqah yaitu sifat ketelitian dalam penyampaian karya sastra. Ketiga, al-ada` al-sadid, yaitu penyampaian yang benar dengan memberikan penjelasan beberapa kata asing dan penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra (Dhaif, tt:7).
Adapun sanad dalam sastra terdiri dari orang-orang yang tsiqah (kapasitas intelektualnya dapat dipercaya), dan orang-orang yang semasa (syahadah al-zaman). Hal ini dilakukan supaya informan dan yang menerima –rawi- bisa bertemu langsung (liqa`), dan harus disampaikan secara lisan/oral (musyafahah) yang diikuti dengan ungkapan haddatsana atau akhbarana (Dhaif,
tt:163). Bahkan lebih dari itu, kepekaan pendengaran dan ketajaman
pandangan menjadi persyaratan bagi seorang perawi (Hasan, 1990:175).
Apabila terjadi perselisihan di antara dua riwayat, maka solusi yang ditawarkan adalah tarjih,
yaitu memilih di antara keduanya yang lebih kuat dan yang dapat
dipercaya. Maka tidak mengherankan kalau Abu al-Farj melakukan hal yang
sama seperti yang dilakukan Muhadditsin yaitu al-Ta`dil wa al-Tarjih (mengkritisi para perawi yang dianggap jujur dan dusta) (Al-Rafi’i, 1974:287). Dengan demikian, maka informasi yang diterima menjadi valid (shahih) dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan riwayat dalam
karya sastra. Di antaranya: (1) para perawi berpegang teguh kepada
tradisi hafalan, (2) untuk memperkuat argumentasi, (3) terjadinya
kesalahan dalam ucapan, dan (4) bertambahnya jumlah perawi (Al-Rafi’i, 1974:327).
Periwayatan karya sastra memiliki dua tujuan yang urgen. Pertama,
karya sastra merupakan pangkal atau rujukan periwayatan ilmu
pengetahuan. Maka adanya riwayat sastra berfungsi untuk: (1).
Menghindari pembengkakan riwayat, misalnya dalam bidang pembacaan
al-Qur`an, Hadits, berita, bahasa dan sebagainya yang pada akhirnya akan berakibat munculnya informasi-informasi pubrikatif (palsu). (2). Mengetahui penjelasan dan maksud dari bidang-bidang di atas. Kedua, karya sastra dapat dijadikan bukti (syahid) dan contoh (Al-Rafi’i, 1974:401).
Hammad al-Rawiyah (w. 155 H) adalah orang yang pertama kali (pioner) yang mengkodifikasi syair-syair Arab, dan karena keluasannya ia mendapat gelar atau sebutan dengan istilah bi al-rawiyah
(orang yang profesional dalam periwayatan). Ia hidup di Basrah pada
masa khalifah Marwan bin al-Hakam (khilafah Umayah). Metode al-sima`
(mendengar) yang dikembangkannya juga disosialisasikan oleh muridnya
yang bernama Khalf al-Ahmar (w. 180 H) di Kufah. Walaupun keduanya
sangat berjasa dalam bidang kesusastraan, tetapi belakangan banyak yang
mengkritisi dan menuduhnya sebagai orang yang memanipulasi gaya bahasa
sastra (sastra Arab jahili) (Brockelmann, tt:67).
Menanggapi kritikan di atas, Syauqi Dhaif menyatakan dengan tegas bahwa keduanya termasuk orang tsiqah
dan orang yang memiliki potensi dalam mengungkapkan fenomena kehidupan
jahiliyah yang sebenarnya. Berbeda dengan al-A`sya, al-Mufaddhal
al-Dhabi, dan al-Ashma`i yang dapat digolongkan kepada kelompok rawi pubrikatif (palsu/dusta) (Brockelmann, tt:3).
Sekalipun mereka termasuk para perawi yang tsiqah
kita tidak akan menemukan satu riwayat pun yang sanadnya benar-benar
bersambung kepada penyair jahili. Namun perlu diketahui, bahwa mereka
adalah generasi pertama yang mengetahui sejarah periwayatan. Mereka
lebih banyak meriwayatkan tentang situasi kehidupan jahiliyah dari pada orang-orang yang hidup semasa (Al-Rafi’i, 1974:288).
Mengutip
Thaha Husein, Husein al-Hajj Hasan mengatakan, ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya pemalsuan dan pencurian (al-wadh`u wa al-nahl)
karya sastra. Di antaranya: (1) faktor politik, (2) faktor agama, (3)
faktor cerita, (4) faktor nasionalisme, dan (5) faktor perawi (Hasan,
1990:100-101).
Para sastrawan, kritikus sastra, dan sejarawan dalam memberikan penilaian keshahihan sanad dan matan karya sastra pada prinsipnya mengikuti jejak atau metodologi seperti yang dikembangkan para ahli Hadits. Misalnya, tanda-tanda kepalsuan dalam sanad Hadits
di antaranya: (1) Pengakuan perawi bahwa dirinya adalah pendusta, atau
membuat-buat berita. (2) Adanya bukti kepalsuan, misalnya perawi
meriwayatkan dari gurunya tetapi ia tidak pernah bertemu, atau
meriwayatkan dari gurunya tetapi ia lahir setelah sang guru meninggal,
atau masih berusia muda yang tidak menyaksikan kematian gurunya, dan
lain-lain. (3) Seorang perawi yang dikenal pendusta dalam periwayatan
hadits. (4). Adanya beberapa bukti yang menetapkan bahwa perawi tersebut
tidak memiliki kredibilitas.
Sedangkan tanda-tanda kepalsuan dalam matan hadits di antaranya: (1) Bahasanya lemah, tidak fasih dan baligh.
(2) Menyalahi kaidah universal dalam rasio, hukum, dan akhlak. (3)
Menyalahi kaidah kedokteran. (4) Menyimpang dari aqidah, hukum, sunnatullah, al-Qur`an, sunnah Nabi. (5).
Bertentangan dengan hakikat sejarah. (6) Seorang diri dalam
periwayatan. (7) Berlebih-lebihan dalam periwayatan. (8) Ada sebagian
kalimat yang terbuang (Hasan, 1990:114).
Diwan (Antologi) Para Sastrawan Arab
Beberapa diwan
(antologi) yang memuat karya para sastrawan masa jahiliyah dan masa
Islam banyak dinisbatkan kepada para rawi Basrah dan Kufah. Karena
mereka sangat memperhatikan kriteria-kriteria ketsiqahan seorang rawi.
Misalnya al-Ashma`i, ia menulis enam diwan; (1) Diwan Umru` al-Qais, (2) Diwan al-Nabighah, (3) diwan Zuhair, (4) Diwan Tharafah, (5) Diwan `Antarah, dan (6) Diwan `Alqamah bin `Abadah.
Adapun diwan (kodifikasi sastra) yang dapat dijadikan rujukan dan referensi adalah diwan Dzi al-Rummah. Dalam diwannya ia menyebutkan dua macam riwayat, masing-masing mempunyai dua jalur:
Riwayat pertama; dari Tsa`lab dari Abi Nashr Ahmad bin Hatim (murid al-Ashma`i). Jalur pertama;
dari Abu al-Husein `Ali bin Ahmad al-Muhalbi (w. 385 H) dari Abi
al-`Abbas Ahmad bin Muhammad bin Wallad (w. 332 H) dari ayahnya Muhammad
bin Wallad (w. 298 H) dari Tsa`lab dari Abi Nashr Ahmad bin Hatim. Jalur kedua; dari Ja`far bin Syadzan al-Qummi dari Abi `Umar al-Zahid (pembantu Tsa`lab) dari Tsa`lab dari Abi Nashr Ahmad bin Hatim.
Riwayat kedua; dari Ibrahim bin al-Mundzir (w. 236 H) dari Aswad bin Dhab`an dari Dzi al-Rummah. Jalur pertama; dari Abu al-Husein `Ali bin Ahmad al-Muhalbi dari Ibrahim bin `Abdullah (w.
355 H) dari Ahmad bin Ibrahim dari Hilal al-Raqi (w. 280 H) dari
Ibrahim bin al-Mundzir dari Aswad bin Dhab`an dari Dzi al-Rummah. Jalur kedua;
dari Abu `Imran bin Rabbah dari Ibrahim bin `Abdullah dari Ahmad bin
Ibrahim dari Hilal al-Raqi dari Ibrahim bin al-Mundzir dari Aswad bin
Dhab`an dari Dzi al-Rummah.
Diwan di atas dijadikan rujukan Abu Ya`qub (w. 423 H ). Dalam biografinya, Ibn Khillikan (Syamsyani, 1990) mengomentari mengenai diwan
yang dipegang Abu Ya`qub, ia berkata, “Referensi klasik yang memuat
syair-syair Arab dan peristiwa-peristiwa penting di Mesir banyak
diriwayatkan dari Abu Ya`qub, ia adalah seorang rawi yang alim” (Dhaif,
tt:165-167).
Di samping diwan di atas, juga ada sejumlah rawi sastra ternama yang telah mengkodifikasi sastra Arab. Mereka ialah;
1. Abu `Amr al-Syaibani (w. 213 H), ia mengumpulkan syair-syair sebanyak seratus delapan puluh kabilah. Dan ia menulis lima diwan, yaitu diwan Umru` al-Qais, al-Huthaiah, Labid, Duraid bin al-Shimmah, dan al-A`sya.
2. Al-Ashma`i (w. 215 H), ia menulis beberapa diwan, di antaranya diwan Umru` al-Qais, al-Huthaiah, Labid, al-Nabighah, al-A`sya, Bisyr bin Abi Hazim, al-Muhalhil, al-Musayyab, dan al-Mutalammis.
3. Ibn al-Sikkit (w. 245 H), ia menulis lebih dari dua puluh diwan, di antaranya diwan
Umru` al-Qais, al-Huthaiah, Labid, al-A`sya, Bisyr bin Abi Hazim,
al-Muhalhil, al-Mutalammis, al-Musayyab, `Adi bin Zaid, al-Khansa`, Qais
bin al-Khatim, Tamim bin Muqbil, dan lain-lainnya.
4. Abu al-Farj al-Ashfahani (w. 245 H), ia menulis sepuluh kitab, yaitu kitab Fi Akhbar al-Qabail Wa Ansabuha, kitab al-Akhbar Wa al-Nawarid, kitab Majmu` al-Akhbar Wa al-Atsar, kitab Ayyam al-`Arab, kita al-Aghani, dan lain-lain.
Proses penulisan dawawin
atau kitab-kitab di atas melalui salah satu dari beberapa metode antara
lain: (1) Metode dikte, yaitu guru membacakan kepada murid. (2) Metode
menulis, yaitu murid menulis setelah mendengar dari guru. (3)
Memindahkan dari beberapa kitab yang telah ada. (4) Seorang guru menulis
sendiri (Hasan, 1990:87).
Melihat
keberadaan sastra Arab jahili, seorang pemikir Islam dan juga seorang
sastrawan bernama Thaha Husein dalam karya monumentalnya Fi al-Adab al-Jahili
mengajukan tiga tesis yang sangat keras. Dengan sejumlah argumen dan
teori “keragu-raguan” yang dikembangkan pada akhirnya ia berkesimpulan
untuk menolak keberadaan sastra Arab jahili.
Tesis pertama,
sebagian besar dari apa yang disebut sebagai syair jahili itu bukan
lahir pada masa jahiliyah, melainkan diciptakan pada masa Islam.
Terjemahan redaksinya berbunyi sebagai berikut:
Sebagian
besar dari karya sastra yang disebut-sebut sebagai sastra (syair)
jahiliyah, sedikitpun tidak berasal dari zaman jahiliyah, melainkan
muncul setelah zaman Islam, karya tersebut lebih banyak menggambarkan
kehidupan dan keinginan kaum muslim dari pada kehidupan jahiliyah. Saya
hampir tidak meragukan bahwa hanya sebagian kecil saja sisa dari karya
sastra jahilyah yang benar-benar otentik. Karya-karya tersebut hanya
manipulasi rawi, rekayasa orang Arab badui, produk linguis, pubrikasi
pedongeng, dan argumentasi para mufassir, muhaddits, dan teolog.(Husein, tt:65)
Tesis kedua, adalah
adanya kesenjangan antara gaya intelektual yang ada pada sastra (syair)
jahili dengan kondisi intelektual masyarakat Arab jahiliyah. Terjemahan
redaksinya berbunyi sebagai berikut:
Dilihat
dari aspek bahasa dan seni bahwa syair yang disandarkan kepada Umru`
al-Qais, al-A`sya atau sastrawan lainnya tidak mungkin milik mereka dan
diciptakan sebelum turunnya al-Qur`an (Husein, tt:326).
Tesis ketiga,
keberadaan syair lebih awal dari pada prosa, karena prosa membutuhkan
bahasa rasional yang amat perlu kepada ketrampilan dan kepandaian
menulis. Dan dimaklumi, pada saat itu masyarakat jahiliyah adalah
masyarakat ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Terjemahan redaksinya berbunyi sebagai berikut:
Prosa
adalah bahasa rasional, fenomena intelektual, pengaruh kemauan terhadap
prosa lebih besar dari pada terhadap syair. Demikian pula pengaruh cara
berfikirnya. Jika
kita mencari sejarah prosa Arab jahiliyah berdasarkan teori tersebut
maka sangat sulit -jika tidak mustahil- untuk memperoleh sesuatu yang
berharga. Karena kita terpaksa bersikap terhadap keberadaan prosa
jahili, sebagaimana sikap kita menanggapi keberadaan syair jahili. Kita
(hampir) tidak mengetahui sejarah penulisan di kalangan orang-orang
Muhdhar, kita terpaksa untuk mengasumsikan sebagian besar genre prosa
jahili yang disandarkan kepada orang-orang Mudhar itu sebelum Islam (Husein, tt:326-329).
Keberatan
Thaha Husein untuk menjadikan syair jahili sebagai referensi untuk
mengetahui kehidupan masyarakat jahiliyah, di samping deskripnya tidak fair
dan tidak realistis, secara historis memang sangat beralasan, sebab
dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, dan melewati
peristiwa-peristiwa penting di Arab, syair tersebut boleh jadi
dipalsukan.
Sebagaimana
diketahui bahwa salah satu ilmu yang dibanggakan orang Arab pra-Islam
adalah syair. Namun setelah Islam datang perhatian mereka menjadi
berkurang disebabkan karena kesibukan melakukan jihad dalam peperangan,
khususnya dengan Persia dan Romawi.
Setelah daerah Islam meluas dan banyak daerah yang ditundukkan, maka
keinginan untuk meriwayatkan syair tumbuh kembali. Tetapi dalam
semangat yang baru ini, mereka dihadapkan kepada persoalan baru pula,
yaitu tidak adanya sumber-sumber, baik dalam bentuk buku maupun dalam
bentuk kumpulan syair yang tercatat. Sementara para penyair sudah banyak
yang meninggal. Bukankah ini merupakan penyebab adanya kecenderungan
sekelompok orang untuk mengklaim syair yang diciptakan pada zaman Islam
sebagai syair jahili.
Dengan teori
kritik sastranya, Thaha Husein mencurigai akan keontetikan syair jahili
yang dianggap sebagai syair jahiliyah itu tidak merefleksikan perbedaan
linguistik yang terdapat di jazirah Arab, seperti yang digambarkan
al-Qur`an. Setelah melalui pengujian dalam penelitiannya sampailah ia
pada kesimpulan bahwa dalam syair-syair jahili itu terdapat
inkonsistensi antara bahasa, gaya, dan ide dengan kondisi jazirah Arab
yang pada saat itu masih belum bersatu. Hanya ada beberapa syair saja
yang dapat disebut syair jahili yang otentik.
Atas
keberatan Thaha Husein dalam menjadikan sastra (syair) sebagai rujukan
untuk mengetahui kehidupan masyarakat jahiliyah, terbitlah beberapa buku
karya ulama (intelektual) untuk mengkritisi pikiran-pikiran Thaha
Husein. Di antaranya ialah al-Ru`yah al-Hadhariyah Wa al-Naqdiyah Fi Adab Thaha Husein, karya Dr. Yusuf Nur `Iwadh, dan al-Syi`r al-Jahili,
karya Muhammad `Abd al-Mun`im Khafaji. Mereka menjawab panjang lebar,
dengan argumen-argumen yang rasional dan bisa dipertanggungjawabkan.
Namun Penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
Pertama,
tidak diragukan bahwa karya sastra selalu terkait dengan kehidupan
sosial. Akan tetapi sangat keliru, kalau dikatakan bahwa karya sastra
mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, apalagi membicarakannya secara
rinci.
Kedua, ada pendapat yang mengatakan bahwa bahasa Arab fusha
resmi menjadi bahasa bangsa Arab setelah Islam lahir, bukan sebelumnya.
Jika statemen ini diterima, maka bagaimana bisa dipahami bahwasanya
al-Qur`an diturunkan dengan bahasa kaumnya. Dan apakah nilai urgensinya
tantangan al-Qur`an terhadap bangsa Arab jika al-Qur`an diturunkan bukan
dengan bahasa kaumnya ? Bagaimana bisa terjadi al-Qur`an sebagai kitab
dakwah, kitab hukum, dan kitab undang-undang bagi kaum yang tidak
memiliki bahasa yang baik (fusha)? (’Iwadh, tt:104-114).
Ketiga,
jika bangsa terdahulu seperti Persia, India, dan Mesir Kuno memiliki
karya sastra (prosa) beberapa abad sebelum Masehi, mengapa bangsa Arab
(masyarakat jahiliyah) tidak memiliki genre prosa setelah lima abad Masehi? Kalau persoalannya masyarakat jahiliyah itu ummi,
perlu diketahui bahwa ketrampilan menulis itu dibutuhkan pada saat
kodifikasi, bukan pada awal perkembangannya (Al-Khafajy, 1973:129-133).
Barangkali
apa yang diinginkan Thaha Husein tersebut agar umat Islam tidak
memandang sastra Arab jahili dan penafsiran para ulama sebagai sesuatu
yang sakral (tidak boleh digugat). Ketika umat Islam kembali kepada ajaran yang sebenarnya, yaitu al-Qur`an dan Hadits maka
akan terjadi hubungan dialogis yang tidak putus. Dengan demikian dalam
tubuh umat Islam selalu ada dinamika, kreativitas, dan produktifitas
yang bisa membawa kemajuan. Sebagaimana yang dikatakan Syahrin Harahap:
Sesungguhnya
kalau dikaji secara filosofis, sebenarnya yang diinginkan Thaha Husein
itu bukan hanya sekedar mempraktekkan metode kritik sejarah dan semantik
yang diperolehnya dari Barat. Melainkan ia terdorong agar umat Islam
tidak memandang sakral bahasa dan sastra Arab (syair jahili), dan juga
tidak menganggap sakral penafsiran para ulama dalam berbagai kajian
keislaman, termasuk kehidupan pra-Islam. Ia mengajak umat Islam agar
kembali kepada ajaran dasar Islam (al-Qur`an dan Hadits), dan
selanjutnya melakukan ijtihad (Harahap, 1994:138).
Penutup
Walaupun
masyarakat jahiliyah dikenal dengan sebutan masyarakat “ummi”, yaitu
masyarakat yang tidak bisa membaca dan menulis hal ini tidak memberikan
justifikasi bahwa mereka tidak melahirkan karya sastra. Ada dua jenis
pengetahuan yang bisa dijadikan bukti autentik tentang keberadaan sastra
arab jahili, yaitu Ayyam al-`Arab dan al-Ansab (genealogi). Ayyam al-`Arab berisi tentang peristiwa-peristiwa (peperangan) bersejarah yang menimpa masyarakat jahiliyah, sedangkan al-ansab membicarakan silsilah keturunan. Dua jenis pengetahuan ini banyak dimuat dalam karya sastra, baik genre
prosa maupun syair. Secara emosional mereka dituntut untuk
menghafalnya, karena kemenangan dalam peperangan dan memiliki keturunan
yang mulia menjadi kebanggaan tersendiri di tengah kehidupan masyarakat
(kabilah). Rupanya faktor inilah yang mendukung kekuatan hafalan mereka
ketika menerima informasi (karya sastra) yang disampaikan secara oral
(lisan).
Hammad al-Rawiyah (w. 155 H) adalah orang pertama kali (pioner)
mengkodifikasi karya sastra Arab (jahili). Namun yang lebih sempurna
kumpulan karya sastra Arab banyak ditulis Dzi al-Rummah. Kemudian diwan
ini dijadikan referensi dan rujukan oleh para pencinta sastra lainnya
seperti Abu `Amr al-Syaibani (w. 213 H), Al-Ashma`i (w. 215 H), Ibn
al-Sikkit (w. 245 H), Abu al-Farj al-Ashfahani (w. 245 H).
DAFTAR PUSTAKA
’Athawy, Ali Najib. 1994. Dzu al-Rummah Sya’ir al-Thabi’ah wa al-Hubb. Bairut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.
’Iwadh, Yusuf Nur. Tanpa tahun. Al-Ru’yah al-Hadhariyyah wa al-Naqdiyyah fii Adab Thaha Husain. Bairut: Dar al-Qalam.
Ahmad, Amin. 1975. Fajr al-Islam. Tanpa Tempat: Tanpa tahun.
Al-Iskandary, Ahmad dan Musthofa Inany. 1952. Al-Wasith fii al-Adab al-‘Araby wa Tarikhuhu. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Al-Rafi’i, Musthafa Shadiq. 1974. Tarikh Adab al-’Arab. Bairut: Dar al-Kitab al-’Araby.
Brochelmann, Carl. Tanpa tahun. Tarikh al-Adab al-‘Araby. Terjemahan Abdul Hakim al-Najjar. Bairut: Dar al-Ma’arif.
Dhaif, Syauqy. Tanpa tahun. Al-Bahts al-Adaby Thabi’atuhu Manahijuhu Ushuluhu Mashadiruhu. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Harahap, Syahriin. 1994. Al-Qur'an dan Sekuralisme: Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hasan, Husein al-Hajj. 1990. Adab al-’Arab fii Ashr al-Jahiliyyah. Bairut: Tanpa Penerbit.
Husein, Thaha. Tanpa tahun. Fii al-Adab al-Jahily. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Khafajy, Muhammad Abdul Mun’im. 1973. Al-Syi’r al-Jahily. Bairut: Dar al-Kitab.
Syamsyani, Hasan. 1990. Ibnu Khillikan. Bairut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.
Yatim, Badri. 1997. Historiografi Islam. Jakarta: Logos.