Senin, 08 Oktober 2012

Sastra Arab

BAB I
PENDAHULUAN
Sabagaimana yang kita ketahui, kita telah mengenal yang namanya teori sastra, secara otomatis jika ada teori sastra, maka ada yang namanya sastra, yang menjadi objek kajian teori tersebut. Oleh karena itu pada makalah ini akan membahas tentang sastra, dari mulai ta'rif (definisi) nya, sejarah, dan jenis-jenis sastra. Namun yang dibahas disina lebih dispesifikkan kepada sastra Arab.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Adab dari Masa ke Masa
Dalam sejarah kesusastraan Arab kata "Adab" mengalami perkembangan yang cukup panjang. Perkembangan kata "Adab" sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa Arab. Pengambilan kata itu dari masyarakat Arab Badui sampai masyarakat Arab perkotaan yang telah mempunyai peradaban. Mengenai maknanya, kata "Adab" terdapat banyak perbedaan, dan perbedaan makna itu sangat dekat dengan makna aslinya. Perubahan itu diketahui sampai sekarang melalui perkataan-perkataan dan tulisan-tulisan.
Kata "Adab" pada zaman Jahiliyyah berarti "الدعوة إلى الطعام " (mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan), dan arti ini sudah jarang digunakan, kecuali pada kata "Ma'dubah" dari akar kata yang sama yaitu "Adab". Kata "Ma'dubah" berarti jamuan atau hidangan, dengan kata kerja "Adaba-ya'dibu" yang berarti menjamu atau menghidangkan makanan. Sebagaimana yang terdapat dalam perkataan Tharafah bin Abdul Bakri al-Wa'illi:

نحن فى المشتاة ندعو الجفلى  ¤    لا ترى الآدب فينا ينتفر

"Pada musim paceklik (musim kesulitan pangan), kami mengundang orang-orang ke perjamuan makan, dan engkau tidak akan melihat para penjamu dari kalangan kami memilih-milih orang yang diundang"

Kata "Adab" juga digunakan dalam arti "prilaku yang terpuji atau terhormat dan sifat\sifat yang mulia" seperti yang terdapat di dalam dialoq antara ‘Atabah dengan Hindun, puterinya. ‘Atabah berkata kepada puterinya tentang Abu Sufyan yang datang melamarnya:

"... .بدر أرومته وعزّ عشيرته يؤدب أهله ولا يؤدبونه..."

".... Asal-usulnya mulia, keluarganya terhormat, dia sopan dan hormat kepada keluarganya, meski diantara keluarganya ada yang tidak menghormatinya....".

Akhirnya Hindun pun setuju menikah dengan Abu Sufyan sambil berkata:

"إنى لأخلاق هذا لوامقة, وإنى له الموافقة, وسآخذه بأدب البعل مع لزوم قبتى وقلة تلفتى..." 

 "Sungguh, aku benar-benar menyukai akhlak dan perilaku yang demikian, dan aku setuju menikah dengannya dan akan kujadikan ia suami yang dihormati, dan dengan kesetiaan aku akan selalu berada di rumah, dan tidak akan berselingkuh dibelakangnya".  

Seperti yang dikemukakan oleh Bakalla (1984:34-36) bahwa pada zaman Pemulaan Islam, ketika agama Islam datang dengan membawa ajaran-ajaranya yang menyeru kepada akhlak mulia, maka kata "Adab" berarti "الدعوة إلى المحامد ومكارم الأخلاق" (ajakan untuk memuji dan berakhlak baik), dan juga mempunyai arti at-Tahdzib (pendidikan atau pengajaran), dan al-Khulqu (budi pekerti), seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:

"أدبنى ربّى فأحسن تأديبى..."

"Tuhanku telah mendidikku, maka baiklah pendidikanku/akhlak"

Beliau SAW juga bersabda:

"إن هذا القرآن مأدبة الله فى الأرض فتعلموا من مأدبته"

"Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah sumber peradaban Allah di muka bumi, oleh karena itu belajarlah kalian pada sumber peradaban-Nya"

Umar bin Khattab berkata kepada puteranya:

"يا بنى انسب نفسك تصل رحمك, واحفظ محاسن الشعر يحسن أدبك..."

"Wahai anakku, nisbatkanlah (hubungkanlah silsilah keturunan) dirimu, niscaya akan bersambung hubungan dengan keluargamu, dan hafalkanlah puisi-puisi indah, niscaya akan menjadi lembut budi pekertimu"

Pada zaman Umayyah, kata Adab mempunyai arti at-Ta'lim (pengajaran), sehingga dari kata itu lahir kata turunan al-Mu'addibun yaitu sebutan bagi orang-orang yang masa itu bertugas memberikan pelajaran tentang puisi, khutbah, sejarah orang-orang Arab, mulai dari keturunan mereka sampai pada peristiwa-peristiwa yang mereka alami di zaman Jahiliyyah dan zaman permulaan Islam kepada putera-putera khalifah.
Sementara pada zaman Abbasiyyah yang terkenal dengan zaman kebangkitan ilmu pengetahuan, kata Adab mempunyai arti at-Tahdzibu wa at-Ta'liimu ma'an (pendidikan sekaligus pengajaran), atau berarti semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan umat manusia dan juga tata cara yang perlu diikuti dalam suatu disiplin tertentu. Arti "Adab" pada masa ini lebih mengacu pada kebudayaan. Seperti yang pernah ditulis oleh Ibn al-Muqaffa (wafat 142 H.) dalam bukunya yang berhudul al-Adab al-Kabir yang berisikan kumpulan-kumpulan surat-surat panjang Ibn al-Muqaffa' yang terbagi menjadi dua bagian yaitu khusus mengenai sultan, politik, dan pemerintahannya, dan yang berhubungan dengan persahabatan dan sejenisnya. Dan al-Adab al-Shaqir yang berisikan surat-surat pendek Ibn al-Muqaffa' yang berisi kumpulan wasiat mengenai budi pekerti, kemasyarakatan, dan mengenai apa yang harus dipersiapkan oleh manusia dalam kehidupannya seperti bagaimana bergaul dengan atasan, bawahan, dan sesamanya. Selain itu, kata "Adab" telah meluas artinya dan sering diterapkan pada puisi, prosa, peribahasa, dan balaghah, juga diterapkan pada bidang ilmu nahwu, sharf, ushul, dan sebagainya.
Pada Abad ke-4 H, kata "Adab" semakin memiliki arti yang luas, sehingga terkadang dari kata itu difahami sebagai segala sesuatu yang keberadaannya mengandung nilai pendidikan, peningkatan intelektual dan moral manusia baik dari segi sosial maupun budaya, serta pembentukan seseorang menjadi cemerlang, memiliki keistimewaan yang cocok bagi penampilan figur kelas elit dalam kehidupan intelektul sekaligus kehidupan material.  Kata "Adiib" yang berarti satrawan, mengarah kepada makna yang kita sekarang dari kata "mutsaqqif" yang berarti budayawan atau orang yang memiliki intelektual tinggi.
Seiring dengan berkembangnya ilmu bahasa dan sastra, kata "Adab" mengandung pengertian ungkapan-ungkapan yang indah, baik dalam bentuk puisi maupun prosa, dan ungkapan-ungkapan yang memerlukan penafsiran dan penjelasan yang bekenaan dengan segi-segi baik dan buruk yang terdapat didalamnya. Makna "Adab" yang demikian itu, masih dapat difahami dan digunakan pada masa sekarang (modern). Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa kata "Adab" memiliki dua makna yang berbeda. Pertama, kata "Adab" dalam pengertian yang khusus berarti perkataan indah yang menimbulkan kenikmaan seni dalam jiwa pembaca atau pendengarnya, baik perkataan itu berbentuk puisi maupun prosa. Kedua, kata "Adab" dalam pengertian umum, yaitu hasil cipta rasa akal yang dilukiskan dalam kata-kata yang ditulis dalam buku-buku.
Sementara itu, dalam referensi Barat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "Adab" dalam pengertian literature adalah kumpulan peninggalan baik prosa atau puisi yang terdapat pada bahasa dan bangsa tertentu dan mempunyai keistimewaan dalam gaya dan idenya; Peninggalan yang berbentuk naskah atau cetakan khusus yang terdapat dalam sebuah bahasa atau bangsa tertentu; Semua tulisan yang membicarakan topik-topik tertentu; atau sesuatu yang dihasilkan manusia dalam bentuk naskah atau cetakan, seperti buku tentang ilmu Fikih, Nahwu, Sharf, filsafat, termasuk kata "Adab" dalam pengertian umum, karena itu merupakan gambaran atau konsepsi berbagai pengetahuan yang dihasilkan manusia, terlepas ketika membacanya akan menimbulkan kenikmatan seni dalam diri kita atau tidak.[1]
Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sanskerta, yang berarti teks yang mengandung instruksi.[2] Akar kata sas- berarti insturksi, mengarahkan, mengajarkan, atau memberi petunjuk. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga kata sastra dapat diartikan alat untuk mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran. Adapun menurut Renne Wellek & Austin Warren, Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni.[3]
Begitu banyak definisi tentang satra, sehingga sulit untuk menemukan titik akhir dari definisi sastra. Namun dari definisi diatas setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa sastra adalah suatu kegiatan yang bersifat kreatif, imajinatif dan mengandung pesan yang bersifat relatif.

B. Periodesasi Sejarah Sastra Arab
Berbicara mengenai periodesasi kesusastraan Arab, terdapat perbedaan, dan adanya perbedaan penulisan periodesasi yang ditulis masing-masing penulis sejarah kesusastraan Arab, baik dari segi peristilahannya maupun dari segi waktunya ini seringkali membuat kita bingung.
Pada umumnya, periodesasi kesusastraan dibagi sesuai dengan perubahan politik. Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi sosial atau politik suatu negara dan permasalahan menentukan periode diberikan pada sejarawan politik dan sosial, dan pembagian sejarah yang ditentukan oleh mereka  itu biasanya diterima begitu saja tanpa dipertanyakan lagi.[4] Di bawah ini akan dipaparkan bentuk penulisan periodesasi yang dilakukan oleh para ahli kesusastraan Arab, antara lain:
Hana al-Fakhuriyyah membaginya ke dalam lima periodesasi, yaitu:
1.      Periode Jahiliyyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini dibagi atas dua bagian, yaitu masa sebelum abad ke-5, dan masa sesudah abad ke-5 sampai dengan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah (1 H/622 M).
2.      Periode Islam, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak tahun 1 H/622 M hinggga 132 H/750 M, yang meliputi: masa Nabi Muhammad SAW dan Khalifah ar-Rasyidin (1-40 H/662-661 M), dan masa Bani Umayyah (41-132 H/661-750 M).
3.      Periode Abbasiyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.
4.      Periode kemunduran kesusastraan Arab (656-1213 H/1258-1798 M), periode ini di mulai sejak Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, pemimpin bangsa Mongol, pada tahun 1258 M, sampai Mesir dikuasai oleh Muhammad Ali Pasya (1220 H/1805 M).
5.      Periode kebangkitan kembali kesusastraan Arab; periode kebangkitan ini dimulai dari masa pemerintahan Ali Pasya (1220 H/1805 M) hingga masa sekarang.

Adapun Muhammad Sa'id dan Ahmad Kahil (1953: 5-6) membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam enama periode sebagai berikut:
1.      Periode Jahiliyyah, dimulai sekitar satu tengah abad sebelum kedatangan Islam sekitar dan berakhir sampai kedatangan Islam.
2.      Periode permulaan Islam (shadrul Islam); dimulai sejak kedatangan Islam dan berakhir sampai kejatuhan Daulah Umayyah tahun 132 H.
3.      Periode Abbasiyah I, dimulai sejak berdirinya Daulah Abbasiyah tahun 132 H dan berakhir sampai banyak berdirinya daulah-daulah atau negara-negara bagian pada tahun 334 H.
4.      Periode Abbasiyah II, dimulai sejak berdirinya daulah-daulah dalam pemerintahan Abbasiyah dan berakhir dengan jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Tartar atau Mongol pada tahun 656 H.
5.      Periode Turki, dimulai sejak jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol dan berakhir dengan datangnya kebangkitan modern sekitar tahun 1230 H.
6.      Periode Modern, dimulai sejak datangnya kebangkitan modern sampai sekarang.

Sedangkan Ahmad Al-Iskandari dan Mustafa Anani  membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam lima periode, yaitu:[5]
1.      Periode Jahiliyah, periode ini berakhir dengan datangnya agama Islam, dan rentang waktunya sekitar 150 tahun.
2.      Periode permulaan Islam atau shadrul Islam, di dalamnya termasuk juga periode Bani Umayyah, yakni dimulai dengan datangnya Islam dan berakhir dengan berdirinya Daulah Bani Abbas pada tahun 132 H.
3.      Periode Bani Abbas, dimulai dengan berdirinya dinasti mereka dan berakhir dengan jatuhnya Bagdad di tangan bangsa Tartar pada tahun 656 H.
4.      Periode dinasti-dinasti yang berada di bawah kekuasaan orang-orang Turki, di mulai dengan jatuhnya Baghdad dan berakhir pada permulaan masa Arab modern.
5.      Periode Modern, dimulai pada awal abad ke-19 Masehi dan berlangsung sampai sekarang ini.
Adanya Perbedaan istilah dalam penulisan periodesasi kesusastraan Arab seperti contoh di atas, merupakan suatu hal yang wajar, seperti yang dikemukakan Teeuw (1988: 311-317) bahwa penyebab perbedaan itu adalah empat pendekatan utama, yaitu:
1.      Mengacu pada perkembangan sejarah umum, politik atau budaya.
2.      Mengacu pada karya atau tokoh agung atau gabungan dari kedua hal tersebut.
3.      Mengacu pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang zaman.
4.      Mengacu pada asal-usul karya sastra.

C. Pembagian Kesusastraan Arab
Secara garis besar, kesusastraan Arab di bagi menjadi dua bagian, yaitu prosa (an-Natsr) dan puisi (syi'r). Prosa terdiri atas beberapa bagian, yaitu: kisah (Qishshah), peribahasa (amtsal) atau kata-kata mutiara (al-hikam), sejarah (tarikh) atau riwayat (sirah), dan karya ilmiah (abhats 'ilmiyyah).
Kisah (Qishshah) adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik. Kisah terdiri dari 4 macam yaitu:
1.      Riwayat adalah yaitu cerita panjang yang didasarkan atas kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.
2.      Hikayat, yaitu cerita yang mungkin didasarkan atas fakta maupun rekaan (fiksi).
3.      Qishah qasirah, yaitu cerita pendek.
4.      Uqsusah, yaitu cerita yang lebih pendek daripada Qishah qasirah.
Kisah berkembang menurut zamannya. Pada masa jahiliyyah, yang berkembang adalah kisah mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan kehidupan suku Badui, adapt, dan sifat-sifat mereka. Pada masa Islam, yang berkembang ialah kisah-kisah keagamaan, seperti cerita para nabi dan rasul yang bersumber dari kitab Taurat, Injil dan al-Qur'an. Kisah yang berkembang pada masa Abbasiyyah tidak hanya terbatas pada cerita keagamaan, tetapi sudah berkaitan dengan hal-hal lain yang lebih luas, seperti kisah filsafat.
Adapun pada masa modern, kisah berkembang lebih pesat lagi, karena perkembangan hubungan antara Islam dan peradaban-peradaban lain yang ada di dunia Barat. Kisah yang berkembang pada masa ini adalah cerita panjang yang bersambung. Missalnya Muntakhabat ar-Riwayat (cerita-cerita plihan) oleh Iskandar Kurku, Riwayah Zainab oleh Muhammad Husein Haikal (1888-1956), al-Khiyam fi Rubu' asy-Syam oleh Salim Bustani (1848-1884), Kifah Tayyibah (perjuangan terpuji) oleh Naguib Mahfudz (1912-?), dan al-Ajnihah al-Mutakassirah (sayap-sayap patah) oleh Gibran Khalil Gibran (1883-1931).
Peribahasa (amtsal) dan Kata-Kata Mutiara (al-hikam) adalah ungkapan-ungkapan singkat yang bertujuan memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan kepribadian dan akhlak. Amtsal dan al-Hikam pada Masa Jahiliyyah lebih mengggambarkan bangsa Arab yang hidup dalam keadaan yang penuh dengan kefanatikan terhadap kelompok dan suku. Pencipta amtsal dan al-Hikam yang terkenal pada masa ini adalah Aksam bin Saifi at-Tamimi, Qus bin Sa'idah al-Iyadi, dan Zuhair bin Abi Sulma.
Amtsal dan al-Hikam pada masa Islam lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat religius serta berdasarkan pada al-Qur'an dan hadits. Tokoh yang terkenal pada masa ini ialah Ali bin Abi Talib dengan karyanya Nahj al-Balaghah. Adapun Amtsal dan al-Hikam pada masa Abbasiyah dan setelahnya lebih menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan filsafat sosial dan akhlak. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu al-Muqaffa (720-756).
Sejarah (tarikh) atau Riwayat (sirah), mencakup sejarah beberapa negeri dan kisah perjalanan yang dilakukan oleh para tokoh terkenal. Karya sastra terkenal dibidang ini, antara lain: Mu'jam al-Buldan (Ensiklopedi Kota dan Negara) oleh Yaqut ar-Rumi (1179-1229), Tarikh al-Hindi (Sejarah India) oleh al-Biruni (w. 448 H/1048 M), Tuhfah an-Nazzar fi Gara'ib Amsar wa 'Aja'ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Negeri-Negeri Asing dan Perjalanan Yang Menakjubkan) oleh Ibnu Batutah, Zakha'ir al-'Ulum wa Ma Kana fi Salif ad-Duhur (Perbendaharaan Ilmu dan Peristiwa Masa Lalu) oleh Abu Hasan Ali bin Husein bin Ali al-Mas'udi (w. 956), dan Muluk al-'Arab (Raja-raja Arab) oleh Amin ar-Raihan (1876-1940).
Karya Ilmiah (abhats 'ilmiyyah) adalah mencakup berbagai bidang ilmu. Karya-karya terkenal yang berkenaan dengan kajian ini ialah KItab al-Hayawan (Buku tentang Hewan) dan Kitab al-Bukhhala (Buku tentang Orang Bakhil) oleh al-Jahiz (w. 225 H/869 M), 'Aja'ib al-Makhluqat wa Gara'ib al-Maujudat (Makhluk-Makhluk Yang Menakjubkan dan Benda-benda Yang Aneh) dan Asar al-Bilad wa Akhbar al-'Ibad (Peninggalan Negeri-Negeri dan Berita Tentang Manusia) oleh Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-Qazwaini (1208-1283), dan Sirr an-Najah (Rahasia Kesuksesan), dan Siyar al-Abtal wa al-Qudama al-'Uzama (Sejarah Para Pahlawan dan Pembesar-Pembesar Terdahulu) oleh Ya'qub Sarruf (1852-1928).
Adapun puisi (Syi'r) terbagi atas dua bagian, yaitu asy-Syi'r al-Ginai dan asy-Syi'r al-Hikami atau asy-Syi'r at-Ta'limi. Asy-Syi'r al-Ginai merupakan puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Puisi ini terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1.      Asy-Syi'r al-Wijdani, adalah  puisi yang mengungkapkan perasaan penyair, seperti gembira, suka cita, dan berita. Para penyair yang dipandang sebagai tokoh dalam puisi jenis ini adalah Abu Firas al-Hamdani (932-968) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan Abi Firas yang diterbitkan pertama kali tahun 1873, dan al-Mutanabbi yang terkenal dengan kumpulan puisinya Diwan al-Mutanabbi.
2.      Asy-Syi'r al-Ratsai, adalah puisi hiburan yang diungkapkan oleh penyair ketika meratapi seseorang yang telah meninggal. Di antara sastrawan yang dianggap tokoh dalam puisi jenis ini adalah al-Muahhil (w. 531) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Ratsa'uh li Akhihi Kulaib (Ratapannya kepada Saudaranya Kulaib), dan Abu Jazrah Jarir bin Atiyah (653-7330 dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan Jarir fi al-Madh wa ar-Ratsa (Kumpulan Puisi Jarir tentang Sanjungan dan Ratapan).
3.      Asy-Syi'r al-Fakhr, adalah puisi yang menyanjung kebesaran dan keperkasaan seseorang atau kelompok tertentu. Yang dianggap sebagai tokoh dalam jenis puisi ini ialah Antarah bin Syaddad (w. 615) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan 'Antarah fi al-Fakhr wa al-Hamasah wa al-Gazal (Kumpulan Puisi Antara Tentang Kebanggaan, Semangat, dan Sajungan).
Adapun asy-Syi'r al-Hikami atau asy-Syi'r at-Ta'limi adalah puisi yang berisikan pendidikan atau pengajaran. Yang dianggap tokoh dalam jenis puisi ini ialah Zuhair bin Abi Sulma (530-627) dengan karyanya al-Hauliyyat, Labib bin Rabi'ah (560-661) yang terkenal dengan karyanya Hikmah ar-Ratsa (Mutiara-Mutiara Ratapan), Addi bin Zaid (w. 604) yang terkenal dengan puisi Hikam (Kata-Kata Mutiara) dan Zuhdiyyat (Kezuhudan), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1058) yang terkenal dengan karyanya al-Luzumiyyat (Kebutuhan) dan Risalah al-GufranLamiyah ibn al-Wardi (Ratapan Ibnu al-Wardi), dan Nasif al-Yaziji (1800-1871) dengan puisinya yang terkenal Diwan Syi'r Nasif. (Risalah Pengampunan), Ibnu al-Wardi (1290-1349) dengan karyanya yang terkenal 
Pada masa modern, penyair yang terkenal dalam jenis puisi ini adalah Ahmad Syauqi (1868-1932) dengan karyanya yang terkenal asy-Syauqiyyat (Puisi-Puisi Syauqi), dan Muhammad Hafiz Ibrahim (1872-1932) dengan kumpulan puisinya Diwan Hafiz Ibrahim (Kumpulan Puisi Hafiz Ibrahim).

BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan di atas kita telah mengetahui ta'rif, periodesasi, dan pembagian satra Arab meskipun hanya sekilas. Namun kita dapat menyimpulkan bahwa sastra yaitu setiap kegiatan yang bersifat kreatif, imajinatif dan mengandung pesan yang bersifat relatif. Adapun pembagian satra Arab secara umum terbagi menjadi dua bagian, yaitu asy-Syi'r (puisi) dan an-Nastr (prosa) yang keduanya mempunyai bagian lagi. Untuk menambah pembendaharaan pengetahuan, kita dapat mencari dan membaca sumber-sumber lain yang berhubungan dengan sastra, baik sastra secara umum maupun secara khusus.

qosidah

Pengertian Qosidah
1. bahasa Arab: "قصيدة" yang artinya lantunan puji-pujian terhadap nabi dan tuhan.
2. bahasa Persia: قصیده atau چكامه dibaca: chakameh yang artinya lantunan syair .
3. bahasa inggris :
Kosidah secara bahasa dapat diartikan sebagai bentuk syair kesusastraan Arab yang dinyanyikan dalam bentuk lagu dan ragam alat musik pada bangsa arab saat itu. Penyanyi menyanyikan lirik berisi puji-pujian ( dakwah keagamaan dan satire) untuk kaum muslim. Namun jika dilihat dari segi tradisi arab maka kosidah dapat diartikan sebagai suatu iringan lagu yang datang mengiringi kedatangan pemimpin. Kosidah juga diartikan pula sebagai suatu syair puisi yang mengandung makna sihir dan mantra-mantra
B. Perkembangan Qosidah di indonesia
Perkembangan qosidah banyak mengalami perkembangan tetapi perkembangan tersebut berbeda beda tergantung wilayah dan waktu dari kosidah tersebut. Sebagai contoh perkembangan kosidah di indonesia.Pada saat awal permulaan di pakai di indonesia, qosidah merupakan syair-syair sanjungan terhadap tuhan yang dinyanyikan dalam bait yang bersajak mirip dengan puisi dan pantun yaitu a a a a atau ab ab.
Namun jika dilihat dari segi sejarah kosidah itu berkembang, maka ini menyangkut masalah perdagangan antar benua pada sekitar abad 8 masehi. Qosidah berkembang di indonesia karena dibawa oleh para pedagang arab, gujarat, dan persia. Maka tak heran kalau syair yang sering dipakai adalah berupa bahasa arab. Pada mulanya qosidah hanya dipakai sebagai music penghibur para pedagang timur tengah tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu dan bersamaan dengan masuknya islam di indonesia maka qosidah pun menjadi semakain berkembang. Ini terbukti dari dipakainya qosidah secara apacela atau berkelompok dalam suatu acara kesultanan di aceh yang telah dilaksankan secara turun temurun. Menurut catatan ibnu batutah, seorang penjelajah dari maroko ”indonesia merupakan salah satu tempat berkembangnya seni yang mempunyai banyak jenis, corak dan kebudayaan. Salah satu kesenianya adalah seni music islam yang di iringi dengan alat music berupa gendang”. Perlu di garis bawahi bahwa alat music berupa gendang merupakan alat music mayoritas dari qosidah.
C. Alat music qosidah
Alat music yang seringa di gunakan dalam kesenian qosidah adalah rebana. Rebana merupakan alat music berupa gendang kecil berbentuk bulat dan pipih yang terbuat dari kayu berlapiskan kulit dari binatang seperti sapi, kambing dan lain-lain. Namun selain dari kulit binatang ada juga rebana yang terbuat dari material biatan dan kulit gendang tersebut di ganti dengan sebuah plastik kaku yang sering di sebut perkusi modern.
Perbedaan dari kedua alat ini terletak pada bunyi dan cara memegangnya. Jika rebana atau alat musik perkusi berbunyi meninggalkan dengung dan di pegang dengan tangan sedangkan alat music perkusi modern ini berbunyi nyaring dan dibawa atau dimaikan dengan cara di gantung bahu sang penabuh.
Alat musik rebana selain berukuran kecil ada juga yang berukuran besar. Rebana ubi banyak di pakai sebagai pelengkap rebana namun karena ukuranya yang cukup besar, maka rebana ini hanya di pakai pada acara adat tertentu. Diameter rebana ubi yang paling kecil adalah 40 cm, sedangkan tinggi nya bisa mencapai 2 meter. Rebana ubi ini dipakain dengan cara digantung atau diletakan diatas lantai. Pada asal mula pemakaian rebana ubi ini sebenarnya bertujuan sebagai pengumuman berita seperti pernikahan, khitanan, dan sebagainya. Namun kemudian di jadikan pelengkap qosidah.
D. Pembagian qosidah menurut jenisnya
Qosidah yang ada dan kita kenal dalam masyarakat ternyata hanyalah bagian dari qosidah itu sendiri. Qosidah yang sering kita dengar adalah qosidah modern. Sedangkan jenis qosidah dibagi menjadi 4 (berdasarkan pengamatan Admin Sari) yaitu :
  1. QOSIDAH ASLI
Qosidah asli merupakan qosidah tanpa percampuran dari unsur wilayah tersebut. Dengan kata lain qosidah ini masih asli. Qosidah asli biasanya mempunyai ciri :
a. Syair masih dalam bahasa arab.
b. Syair di ambil dari kisah kisah para nabi dan sahabat.
c. Biasanya berisi puji-pujian atau satire.
d. Syair biasanya bersajak ab-ab atau aa-aa.
e. Dibawakan secara bersama-sama dengan rebana.
  1. QOSIDAH MODERN
Qosidah modern merupakan qosidah hasil percampuran unsur budaya setempat. Qosidah modern memakai bahasa indonesia atau bahasa setempat di mana qosidah tersebut berada. Pengguanaan qosidah modern ini biasanya di iringi oleh rebana plus alat music modern seperti keyboard dan juga gitar. Berikut ciri-ciri qosidah modern di indonesia.
a. Syair biasanya merupakan baghasa arab yang di lengkapi bahasa indonesia atau seluruhnya bahasa indonesia.
b. Biasanya di iringi dengan alat musik rebana dan dilengkapialat musik modern modern seperti keyboard, biola,flute dll.
c. Biasanya dibawakan dengan gerakan-gerakan.
Group qosidah dan juga band yang mengaplikasikan qosidah modern ini diantaranya adalah group qosidah : Nasida ria, bimbo, koes plus dan AKA.
  1. NASYID
Nasyid adalah salah satu seni Islam dalam bidang seni suara.Biasanya merupakan nyanyian yang bercorak Islam dan mengandungi kata-kata nasihat, kisah para nabi, memuji Allah, dan yang sejenisnya. Biasanya nasyid dinyanyikan secara acappela dengan hanya diiringi gendang. Metode ini muncul karena banyak ulama Islam yang melarang penggunaan alat musik kecuali alat musik perkusi.
Namun sejalan dengan perkembangan nasyid, alat musik yang di gunakan tidak hanya gendang melainkan juga seperti qosidah modern maka alat musik yang dipakai ada yang tradisional dan juga modern seperti suling dan keyboard.
Nasyid dipercaya sudah ada sejak zaman nabi yang di mainkan dengan gendang dan lagu yang terkenal yaitu Tola’a Badru. Nasyid kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan zaman itu. Misyalnya nasyid di timur tengah yang banyak melakukan perawanan terhadap imperialisme israel maka nuansa nasyidnya banyak dipengaruhi oleh situasi politik saat itu. Nasyid mulai masuk di indonesia pada era tahun 80-an. Perkembangannya dimulai oleh para aktivis islam yang menjadi mahasiswa di kampus kampus. Pada mulanya nasyid ini dibawakan dengan bahasa arab denagn tema syahid dan jihad. Tetapi seiring berkembngnya zaman maka nasyid berkembang memakai bahasa indonesia dengan tema yang lebih luas yaitu mencakup kehidupan sosial dan seluruh aktivitas sehari-hari.
Kelompok nasyid yang muncul di indonesia merupakan kelompok nasyid yang menganut konsep nasyid campuran yaitu nasyid yang menggunakan bahasa arab dan indonesia dengan tema bebas. Ada pula nasyid dengan konsep generasi muda seperti : Snada, Izzatul islam, qatrunada, suara persaudaraan, justice voice dan lain-lain.
Ada juga kelompok nasyid dari luar negeri yang meriis album dan telah terkenal. Diantaranya adalah :
a. Native Deen dari Amerika Serikat
b. Zain Bhikha Dari Afrika Selatan
c. Dawud Wharnsby Ali Dari Kanada
d. Soldier Of Allah Dari Amerika Serikat
e. Raihan (Kelompok Nasyid Ini Berasal Dari Malaysia Namun Cukup Di Kenal Di Indonesia)
f. Rabbani Dari Malaysia
g. Brothers Dari Malaysia
h. Al-Afasy Dari Kuwait

Periodesasi Sejarah Sastra Arab


Berbicara mengenai periodesasi kesusastraan Arab, seringkali kita dibuat bingung dengan adanya perbedaan penulisan periodesasi yang ditulis masing-masing penulis sejarah kesusastraan Arab, baik dari segi peristilahannya maupun dari segi waktunya.
Pada umumnya, periodesasi kesusastraan dibagi sesuai dengan perubahan politik. Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi sosial atau politik suatu negara dan permasalahan menentukan periode diberikan pada sejarawan politik dan sosial, dan pembagian sejarah yang ditentukan oleh mereka  itu biasanya diterima begitu saja tanpa dipertanyakan lagi (Wellek, 1989:354). Penentuan mulainya atau berakhirnya masa setiap periodesasi hanyalah perkiraan, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dan biasanya untuk mengetahui perubahan dalam sastra itu biasanya akibat perubahan sosial dan politik (Jami'at, 1993:18). Di bawah ini akan dipaparkan bentuk penulisan periodesasi yang dilakukan oleh para ahli kesusastraan Arab, antara lain:
Hana al-Fakhuriyyah membaginya ke dalam lima periodesasi, yaitu:
1.      Periode Jahiliyyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini dibagi atas dua bagian, yaitu masa sebelum abad ke-5, dan masa sesudah abad ke-5 sampai dengan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah (1 H/622 M).
2.      Periode Islam, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak tahun 1 H/622 M hinggga 132 H/750 M, yang meliputi: masa Nabi Muhammad SAW dan Khalifah ar-Rasyidin (1-40 H/662-661 M), dan masa Bani Umayyah (41-132 H/661-750 M).
3.      Periode Abbasiyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.
4.      Periode kemunduran kesusastraan Arab (656-1213 H/1258-1798 M), periode ini di mulai sejak Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, pemimpin bangsa Mongol, pada tahun 1258 M, sampai Mesir dikuasai oleh Muhammad Ali Pasya (1220 H/1805 M).
5.      Periode kebangkitan kembali kesusastraan Arab; periode kebangkitan ini dimulai dari masa pemerintahan Ali Pasya (1220 H/1805 M) hingga masa sekarang.

Adapun Muhammad Sa'id dan Ahmad Kahil (1953: 5-6) membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam enama periode sebagai berikut:
1.      Periode Jahiliyyah, dimulai sekitar satu tengah abad sebelum kedatangan Islam sekitar dan berakhir sampai kedatangan Islam.
2.      Periode permulaan Islam (shadrul Islam); dimulai sejak kedatangan Islam dan berakhir sampai kejatuhan Daulah Umayyah tahun 132 H.
3.      Periode Abbasiyah I, dimulai sejak berdirinya Daulah Abbasiyah tahun 132 H dan berakhir sampai banyak berdirinya daulah-daulah atau negara-negara bagian pada tahun 334 H.
4.      Periode Abbasiyah II, dimulai sejak berdirinya daulah-daulah dalam pemerintahan Abbasiyah dan berakhir dengan jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Tartar atau Mongol pada tahun 656 H.
5.      Periode Turki, dimulai sejak jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol dan berakhir dengan datangnya kebangkitan modern sekitar tahun 1230 H.
6.      Periode Modern, dimulai sejak datangnya kebangkitan modern sampai sekarang.

Sedangkan Ahmad Al-Iskandi dan Mustafa Anani dalam Al-Wasit Al-Adab Al-Arobiyah Wa Tarikhihi (1916:10) membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam lima periode, yaitu:
1.      Periode Jahiliyah, periode ini berakhir dengan datangnya agama Islam, dan rentang waktunya sekitar 150 tahun.
2.      Periode permulaan Islam atau shadrul Islam, di dalamnya termasuk juga periode Bani Umayyah, yakni dimulai dengan datangnya Islam dan berakhir dengan berdirinya Daulah Bani Abbas pada tahun 132 H.
3.      Periode Bani Abbas, dimulai dengan berdirinya dinasti mereka dan berakhir dengan jatuhnya Bagdad di tangan bangsa Tartar pada tahun 656 H.
4.      Periode dinasti-dinasti yang berada di bawah kekuasaan orang-orang Turki, di mulai dengan jatuhnya Baghdad dan berakhir pada permulaan masa Arab modern.
5.      Periode Modern, dimulai pada awal abad ke-19 Masehi dan berlangsung sampai sekarang ini.

Adanya Perbedaan istilah dalam penulisan periodesasi kesusastraan Arab seperti dua contoh di atas, merupakan suatu hal yang wajar, seperti yang dikemukakan Teeuw (1988: 311-317) bahwa perbedaan itu disebabkan empat pendekatan utama, yaitu:
1.      Mengacu pada perkembangan sejarah umum, politik atau budaya.
2.      Mengacu pada karya atau tokoh agung atau gabungan dari kedua hal tersebut.
3.      Mengacu pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang zaman.
4.      Mengacu pada asal-usul karya sastra.

Kedudukan Penyair Dalam Masyarakat Arab Jahiliyah

Bangsa Arab sangat gemar menggubah syair, mereka memandang bahwa setiap penyair mempunyai kedudukan yang sangat penting dan terhormat di dalam masyarakat, manakala ia telah mampu mengangkat derajat kaumnya atau kabilahnya melalui gubahan syair-syairnya. Mengingat perannya yang begitu penting dalam suatu tatanan dalam masyarakat jahili, maka para penyair mempunyai  banyak fungsi, diantaranya :
1.      Sebagai pemberi semangat, dorongan dan motifasi kepada pasukan yang akan berperang, sehingga  diharapkan dorongan dan motifasi yang dikobarkan penyair lewat syairnya mampu mempengaruhi  jiwa dan semangat pasukan yang  berperang diharapkan nantinya akan mendapatkan kemenangan yang gemilang.
2.      Sebagai Pemberi dukungan terhadap kontestan yang akan dipilih atau  diangkat sebagai ketua adat, atau  kepala kabilah. Bila seorang penyair  telah mempunyai status social yang tinggi, syair-syairnya popular dan terkenal, maka penyair ini akan lebih mudah mempengaruhi  jiwa  sipemilih  sehingga diharapkan akan mendapat perolehan suara yang terbanyak bagi kontestan yang diunggulkan penyair itu.
3.      Seringkali  terjadi antar kabilah itu berperang, dan selalu memakan waktu  yang cukup lama, korban yang tidak sedikit, kerugian-kerugian lainnya yang telah  mereka terima, kemudian, acapkali sering mengalami kebuntuan dalam mencari jalan penyelesaiannya. Maka dengan kefasihan bahasa syairnya, seorang penyair  dalam melantunkan syairnya,, ia mampu mempengaruhi kubu-kubu yang sedang bertikai. Berbagai pergolakan  dalam konflik dapat dilumpuhkan dengan cara  memberikan gambaran -gambaran kenyamanan jiwa yang damai, nasihat-nasihat, memberikan penjelasan-penjelasan dari suatu kerugian yang diakibatkan peperangan dan lain sebagainya.

Bangsa Arab adalah bangsa yang amat senang terhadap puisi, karena itu mereka memandang para penyair sebagai orang yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi karena seorang penyair dapat membela kehormatan kaum, keluarga, atau bangsanya. Bila di dalam sebuah kaum atau bangsa mereka menemukan seorang pemuda yang pandai dalam mencipta dan menggubah puisi, maka pemuda tersebut akan dimuliakan oleh seluruh anggota kabilah dari suku itu. Karena mereka beranggapan bahwa pemuda itu pasti akan menjadi tunas yang akan membela kaum atau bangsa dari segala serangan dan ejekan dari penyair kaum atau bangsa lain.
Bagi bangsa Arab, para penyair memiliki kedudukan yang tinggi, keputusan yang dikeluarkan oleh seorang penyair akan selalu dilaksanakan. Bagi mereka seorang penyair merupakan penyambung lidah yang dapat mengungkapkan kebanggaan dan kemuliaan mereka. Ibnu Rasyik meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul ‘Umdah, ia mengatakan:

"Biasanya setiap kabilah bangsa Arab yang mendapatkan seorang pemuda yang dapat merangkum sebuah gubahan puisi, maka anggota kabilah itu berdatangan untuk memberi ucapan selamat, dan mereka menyediakan berbagai aneka macam makanan. Sementara kaum wanita pun ikut berdatangan sambil memainkan rebana seperti yang biasa mereka mainkan dalam sebuah acara perkawinan. Kaum laki-laki, baik yang tua maupun yang muda, sama-sama bergembira. Karena mereka beranggapan bahwa penyair adalah seorang pembela kabilah dari serangan dan ejekan penyair dari kabilah lain, dan penyair itu pasti akan menjaga nama baik kabilahnya sendiri, yang akan mengabadikan kebanggaan-kebanggaan mereka dan yang akan menyebarluakan kebaikan-kebaikan mereka. Kebiasaan tidak memberikan sambutan hangat, kecuali kepada anak bayi yang baru dilahirkan ibunya, kepada seorang penyair, dan kepada kuda kesayangan"

Bangsa Arab telah menganggap betapa pentingnya peranan seorang penyair. Sehingga seringkali mereka mengiming-imingi seorang penyair yang dapat memberikan semangat dalam perjuangan dengan memberikan sokongan suara bagi seseorang agar dapat diangkat sebagai kepala kabilah. Adapula yang menggunakan mereka sebagai perantara untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi antara kabilah, bahkan ada juga yang menggunakan penyair untuk memintakan maaf dari seseorang penguasa.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar kedatangan al-A'sya seorang penyair Arab Jahiliyyah yang terkenal ke kota Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk mengundang al-A'sya ke rumahnya. Setelah al-A'sya datang ke rumah miskin itu, maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu al-A'sya. Penyair ini sangat heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia membacakan puisi itu, sehingga dalam waktu yang tidak beberapa lama banyak orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun bait puisi yang diucapkan al-A'sya seperti dibawah ini:

ارقت وما هذا السّهاد المؤرّق # وما بى من سقم وما بى تعشّق
لعمرى قد لاحت عيون كثيرة # إلى ضوء نار فى اليفاع تحرق
تشبّ لمقرورين يصطليانها # وبات على الناّر النّدى والمحلّق
رضيعى لبان ثدى أمّ تقاسما # باسحم داج عوض لا تتفرّق
ترى الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه # كما زان متن الهند وانى رونق
يداه يدا صدق فكفّ مبيدة # وكفّ إذا ما ضنّ بالمال تنفق

"Aku tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun cinta"
"Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu"
"Api itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam"
"Di malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu"
"Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan"
"Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma"

Dalam riwayat lain diceritakan. ketika al-A'sya mendengar diutusnya Nabi Muhammad Saw dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad Saw. Namun, sayang sekali maksud baik ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy. Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan al-A'sya, Abu Sufyan langsung berkata kepada para pemuka Quraisy:

والله لئن أتى محمدا أو اتبعه ليضرّ منّ عليكم نيران العرب بشعره, فاجمـعوا له مائة من الإبل, ففعلوا وأخذها الأعشى ورجع...

"Demi Tuhan, bila al-A'sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad".

Kemudian, saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A'sya mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini:

فآليت لا أرنى لها من كلالة # ولا من وجيّ حتى تلاقى محمدا
متى ما تناخى عند باب هاشم # تراحى وتلقى من فواضله ندا
نبىّ يرى مالا ترون وذكره # أغار لعمرى فى البلاد وأنجدا
له صدقات ما تغب ونائل # وليس عطاء اليوم يمنعه غدا

"Demi Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad"
"Nanti jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah"
"Seorang Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed"
"Pemberiannya tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah pemberiannya di hari esok"


Kisah-kisah seperti yang disebutkan di atas, merupakan sedikit dari banyaknya kisah yang dapat memberikan keterangan kepada kita mengenai betapa besar peranan seorang penyair dalam kehidupan masyarakat Arab. Peranan penyair ini tidak saja berhenti pada masa Jahiliyyah. Bahkan dalam penyiaran modern ini, penyair memiliki peranan yang cukup besar. Karena orang-orang Quraisy dalam melancarkan serangan mereka terhadap Islam tidak terbatas hanya dengan senjata (peperangan). Bahkan mereka juga menggunakan lidah penyair untuk menyerang dan menjelek-jelekan Islam. Untuk menghadapi hal ini, Nabi Muhammad Saw juga mempersiapkan penyair Islam untuk menghadapi ejekan orang kafir. Nabi Saw sangat menyukai puisi para penyair Islam, seperti Abdullah bin Ruwaihah, Ka'ab bin Malik, dan Hassan bin Tsabit. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Khattib dan Ibnu Asakir, bahwa Nabi SAW pernah memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk membalas ejekan kaum musyrikin Quraisy;

روي الخطيب وابن عساكر عن حسّان إنّ النبى صلّى عليه وسلّم قال له : اهج المشركين وجبريل معك إذا حارب اصحابي بالسّلاح فحارب أنت باللسان

"Balaslah ejekan kaum musyrikin itu, semoga Jibril selalu menyertaimu. Jika para sahabatku yang lain berjuang dengan senjata, maka berjuanglah kamu dengan lisanmu (kepandaian syairmu)".

Dari gambaran di atas dapat kita simpulkan bahwa peranan penyair dalam kehidupan bangsa Arab sangat tinggi, sebab bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat gemar terhadap puisi.
Kedudukan puisi dan penyairnya sangat tinggi di mata orang Arab Jahiliyyah. Sebuah karya puisi dapat mempengaruhi, bahkan mengubah sikap atau posisi seseorang atau sekelompok orang terhadap sikap atau posisi orang dan kelompok lainnya. Para penyair, dengan demikian juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Kedudukan atau pengaruh sedemikian ini hanya dapat ditandingi oleh para politisi tingkat tinggi di zaman modern ini. Kekuatan penyair bersumber dari kekuatan isi karyanya. Kedudukan puisi Arab Jahiliyyah  juga diakui, atau setidak-tidaknya diberi kesaksian, oleh Islam. Salah satu surat dalam al-Quran bahkan bernama asy-Syu'ara (para penyair).
Puisi tidak jarang menjadi rujukan umum dalam berbagai kesempatan dan penyairnya sering dijadikan sebagai ensiklopedi berjalan. Untuk menafsirkan kata-kata konotatif (kalimat musytarak) dalam al-Quran atau hadits Nabi Saw, para ulama sering menggunakan kata-kata yang terdapat dalam puisi sebagai penguat atau perbandingan dalam mengartikan kata-kata konotatif itu.

Al-Mu'allaqat

Masyarakat Jahiliyyah sering mengadakan fastival sastra secara periodik. Ada festival sastra mingguan, bulanan, dan tahunan. Mereka juga membuat apa yang yang sekarang disebut dengan pasar seni. Di pasar seni ini para pujangga saling unjuk kemampuan dalam bersastra. Di antara pasar seni yang paling bergengsi pada zaman Jahiliyyah adalah pasar Dzu al-Majaz, yang terletak di daerah Yanbu', dekat Sagar (kini termasuk wilayah Madinah); pasar seni Dzu al-Majinnah di sebelah barat Mekkah, dan pasar seni ‘Ukadz yang terletak di timur Mekkah, antara Nakhlah dan Tha'if. Di tiga tempat ini, masyarakat Jahiliyyah melangsungkan festival seni selasa selama 20 hari, sejak bulan Dzulqaidah.
Di pasar ‘Ukadz para penyair berlomba mendendangkan karya-karya mereka di depan dewan juri yang terdiri dari sejumlah pujangga yang telah memiliki reputasi. Karya-karya puisi yang dinyatakan sebagai yang terbaik akan ditulis dengan tinta emas di atas kain yang mewah, kemudian akan digantungkan di dinding Ka'bah, yang kemudian dikenal dengan istilah al-Mu'allaqat (puisi-puisi yang digantungkan pada dinding Ka'bah).
Sastra puisi Arab yang paling terkenal pada zaman Jahiliyyah adalah puisi-puisi al-Mu'allaqat. Dinamakan al-Mu'allaqat, karena puisi-puisi tersebut digantungkan pada dinding Ka'bah. Pada zaman Jahiliyyah, menggantungkan sesuatu pada dinding Ka'bah bukanlah hal yang aneh, karena setiapkali ada urusan yang penting, pasti akan digantungkan pada dinding Ka'bah. Pada masa Rasulullah SAW, pernah terjadi konflik antara Beliau SAW dan Suku Quraisy. Suku Quraisy sepakat untuk tidak lagi berhubungan dengan Bani Hasyim. Mereka tidak akan kawin dan melakukan jual-beli dengan keturunan Bani Hasyim. Kesepakatan tersebut ditulis di atas perkamen dan digantungkan pada dinding Ka'bah.
Puisi al-Mu'allaqat berbentuk qasidah  (ode) panjang, dan memiliki tema bermacam-macam, yang menggambarkan keadaan, cara, dan gaya hidup orang-orang Arab Jahiliyyah. Selain memiliki sebutan al-Mu'allaqat, puisi-puisi yang digantungkan tersebut juga memiliki sebutan lain, antara lain:
1.      As-Sumut (Kalung), karena menurut orang-orang Arab Jahiliyyah, rangkaian puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah berbentuk seperti kalung yang tergantung pada dada wanita.
2.      Al-Mudzahhabaat (yang ditulis dengan tinta emas), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah ditulis dengan menggunakan tinta yang terbuat dari emas.
3.      Al-Qasha'id al-Masyhuraat (Qasidah-qasidah yang terkenal), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah tersebut adalah puisi-puisi terkenal yang ada saat itu dibandingkan dengan puisi-puisi yang lainnya.
4.      As-Sab'u at-Tiwal (Tujuh buah puisi yang panjang-panjang), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah tersebut terdiri dari tujuh buah puisi dan panjang-panjang. Nama ini diberikan oleh orang yang berpendapat bahwa puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah tersebut ada tujuh buah.
5.      Al-Qasha'id al-Tis'u (Sembilan buah Qasidah), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah itu terdiri dari sembilan buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sembilan buah puisi.
6.      Al-Qasha'id al-‘Asru (Sepuluh buah qasidah), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka'bah itu terdiri dari sepuluh buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sepuluh buah puisi.

Sejarah sastra Arab mencatat sepuluh penyair al-Mu'allaqat, yaitu Umru al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi, Zuhair bin Abi Sulma al-Muzani, an-Nabigah adz-Dzibyani, al-A'sya al-Qaisi, Lubaid bin Rabi'ah al-Amiri, Amr bin Kultsum at-Taghlibi, Tharafah bin Abdul Bakri, Antarah bin Syaddad al-Absi, al-Harits bin Hilliziah al-Bakri, dan Ummayah bin ash-Shalt.
Penyair Jahiliyyah lain yang sangat terkenal, tetapi tidak termasuk penyair al-Muallaqat, adalah al-Khansa (w. 664, penyair wanita dari kabilah Mudhar yang akhirnya memeluk Islam), al-Khutaiyah (w.679, juga berasal dari kabilah Mudhar dan masuk Islam), Adi bin Rabi'ah (w. 531, dikenal dengan nama al-Muhalhil), Sabit bin Aus al-Azdi (w.510, dikenal dengan nama asy-syanfari).

PERKEMBANGAN KESUSASTRAAN ARAB MODERN

Penulisan prosa berupa cerita-cerita pendek modern dalam bahasa Arab, demikian juga novel dan drama, baru dimulai pada akhir abad lalu. Belakangan ini bentuk puisi juga mengalami perubahan yang cukup besar.
            Puisi-puisi Arab modern sudah banyak yang tidak terikat lagi pada gaya lama yang dikenal dengan 'Ilm al-'Arūd. Meskipun sebagian penyair dewasa ini senang juga menciptakan puisi bebas, tetapi masih banyak juga yang bertahan dengan gaya lama kendati tidak lagi terikat pada persyaratan tertentu, seperti penyair MAHMUD ALI TAHA (w.1949). puisi-puisinya sangat halus, romantis, tetapi sangat religius. Beberapa pengamat menganggapnya banyak terpengaruh oleh romantisme Perancis abad ke-19, terutama Lamartine. Mungkin sudah terdapat jarak antara penyair ini dan penyair-penyair modern semi-klasik sebelumnya, seperti Ahmad Syauqi atau Hafidz Ibrahim (1872-1932) yang dipandang sebagai penyair-penyair besar.
            Dalam sastra Arab modern, Mesir dapat dikatakan merupakan pembuka jalan meskipun dari para sastrawan itu banyak yang berasal dari Libanon dan Suriah. Mereka pindah ke Mesir untuk menyalurkan bakatnya di negeri ini.
            Sastrawan dan pemikir besar menjelang pertengahan abad ke-20 adalah MUHAMMAD IQBAL (1877-1938) yang lahir di Sialkot dan wafat di Lahore, Pakistan. Ia mengungkapkan filsafatnya dengan puisi dalam bahasa Urdu dan Persia. Beberapa prosanya ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dari kumpulan puisinya, yang terkenal adalah Asrari Khudi di samping karya filsafatnya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
            Dalam abad ke-19 kegiatan penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab sudah mulai dirintis secara besar-besaran, yang sudah tentu sebagian besar berupa karya-karya sastra Barat. Nama-nama mulai dari Villon sampai pada angkatan Sartre dalam sastra Perancis, atau Marlowe sampai angkatan Auden dalam sastra Inggris, sudah tidak asing lagi, di samping dari Eropa lainnya. Yang menjadi pelopor dalam hal ini tentu mereka yang telah mendapatkan pendidikan Barat sebagai akibat pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali (1769-1849) dan sampai puncaknya sebagai gelombang kedua pada masa Khediwi (Khedive) Ismail (1830-1895). Pada waktu itulah banyak karya sastra Barat, terutama karya sastra Perancis, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti Paul et Virginie, dongeng-dongeng La Fontain dan Victor Hugo. Sungguhpun begitu, sastra Arab baru ini masih tetap dapat bertahan pada tradisinya sendiri.
            MUSTAFA LUTFI AL-MANFALUTI (1876-1924), sastrawan dan ulama dari al-Azhar yang sudah amat dikenal di Indonesia, dapat digolongkan sebagai pengarang cerita-cerita pendek bergaya semi-klasik semi-modern. Ia, yang juga banyak menerjemahkan, sedikit banyak terpengaruh karya-karya pengarang Perancis abad yang lalu. Dalam perkembangan selanjutnya penerjemahan tidak hanya terbatas pada karya sastra Perancis, tetapi sudah meluas ke kawasan Eropa lainnya, terutama Inggris, Rusia, dan Jerman dengan prinsip mengutamakan terjemahan langsung dari bahasa asal.
            Sesudah Perang Dunia I pemikiran-pemikiran intelektual di Mesir, Suriah, dan Irak semakin terasa. Dalam kesusastraan mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pada satu pihak pengarang-pengarang yang mempunyai latar belakang pendidikan Barat cenderung pada sastra Perancis dan pada pihak lain lebih cenderung pada sastra Inggris. Yang pertama diwakili oleh Muhammad Husein Haekal (1888-1956) selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal sebagai wartawan terkemuka dan pemikir, sedangkan yang kemudian dapat dikatakan diwakili oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad (1889-1973) dan Ibrahim al-Mazini (1890-1949).
            MUHAMMAD HUSEIN HAEKAL selain besar pengaruhnya dalam sastra Arab mutakhir, juga mempunyai tempat yang penting dalam literatur Islam setelah serangkaian bukunya tentang studi-studi Islam terbit, terutama sekali bukunya yang berjudul Hayāh Muhammad (1936). Haekal dianggap perintis karya sastra modern setelah novelnya. Zainab, terbit (1914). Ia juga banyak menulis kritik sastra dan cerita pendek.
              Al-Aqqad dan al-Mazini sama-sama tumbuh mula-mula sebagai penyair pembaharuan yang melepaskan diri dari ikatan tradisi. Selain puisi-puisinya, al-Aqqad juga terkenal karena novel semi-autobiorafinya, Sarah. Pada tahun-tahun belakangan ia banyak mencurahkan perhatian pada penulisan buku-buku ke-Islaman.
            Pengarang-pengarang cerita pendek yang penting dicatat adalah MAHMUD TAIMUR (1894-1973), pengarang dan seniman yang menjadi kebanggan Mesir. Kritik-kritiknya sangat diperhatikan para ahli. Karya-karya Mahmud Taimur sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
            Ada beberapa pengarang kontemporer yang memiliki kecenderungan mengelolah cerita lama sebagai bingkai dengan pakaian baru untuk memperbincangkan masalah baru. Buku-buku seperti Seribu Satu Malam dan Kalīlah wa Dimnah oleh pengarang-pengarang itu diolah kembali menjadi karya baru untuk kemudian diisi dengan pikiran-pikiran mereka, seperti yang dilakukan oleh TAHA HUSEIN, TAUFIK AL-HAKIM, YAHYA HAQQI, dan NAGUIB MAHFUDZ.
            Masing-masing negara berbahasa Arab mempunyai caranya sendiri dalam membenahi budayanya sehingga tidak ada keseragaman mutlak. Sebagai contoh, udara sastra di Irak mungkin lebih sering diwarnai oleh agitasi politik dan ideologi yang mengakibatkan timbulnya pergolakan dan revolusi, seperti terjadi pada 1958 dan 1960 sampai pada Revolusi 68 yang dikatakan membawa angin baru kepada seni dan budaya dengan diterbitkannya kembali buku-buku sastra. Banyak pengarang Irak yang terpengaruh oleh suasana demikian sehingga pernah lahir yang disebut Penulis Angkatan 60, dan sebagainya. Namun bagaimanapun ada beberapa penulis cerpen Irak yang cukup dikenal di tanah airnya, seperti ABDUL MALIK NURI (1923), FU'AD TAKERLI (1927), dan SYAKIR KHUSYBAK, guru besar di Universitas Baghdad. Dari yang terakhir ini beberapa cerpennya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
            Sebelum itu, yang dapat dinobatkan sebagai perintis puisi modern di Irak adalah penyair JAMIL SIDQI AZ-ZAHAWI (1863-1936), penyair tua yang bernada keras dan dikenal sebagai pembela hak-hak perempuan di samping MA'RUF AR-RUSAFI (1877-1945).
            Masih dalam dunia kepenyairan, seorang penyair yang mati muda, yang dianggap penyair Arab terbesar sampai waktu itu adalah BADR SYAKIR AS-SAYYAB (1926-1964). Dalam hidup dan pemikiran, ia selalu gelisah. Bersama ABDUL WAHHAB AL-BAYYATI yang kekiri-kirian, ia menanamkan bibit neo-klasik untuk menggantikan romantisme. Aliran yang belakangan ini memang tak dapat bertahan lebih lama di Irak.
            Kalangan kritik sastra Arab memang banyak menyoroti puisi-puisi AS-SAYYAB yang beberapa antologinya yang tebal sudah diterbitkan bersamaan dengan terbitnya buku-buku studi sastra tentang dia dan karyanya. Puisi-puisinya sekitar tahun 50-an dinilai banyak terpengaruh oleh penyair-penyair kelompok Apollo dan Mahjar yang lebih romantik - barangkali termasuk juga pengaruh Shelley dan Keats - tetapi dalam teknik ada yang membandingkannya dengan Eliot. Puisi-puisinya memang dalam, banyak diwarnai bahasa semiotik, hidup, dan indah, tetapi tidak mudah ditangkap pembaca biasa (awam). Di Irak, yang pada sekitar tahun 50-an menjadi tempat persinggahan Marxisme yang cukup subur dan memaraknya paham nasionalisme yang menggebu-gebu, as-Sayyab membuat pembaharuan yang cukup mengejutkan ketika kemudian ia menguak ke depan dengan membawa puisi-puisinya yang banyak menyelip ayat al-Qur'an ke dalamnya, atau kadang rima, simbolisme, atau nada musiknya; bahkan irama, gaya, dan kata-kata al-Qur'an yang terasa kuat sekali pantulannya. Tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa dalam al-Qur'an dan dalam tradisi Islam sering ditimbulkannya kembali untuk menggantikan mitologi dan pengaruh lain. Sungguhpun ia bertahan dengan nilai lama yang lalu diperbaruinya, ia juga terbuka menyerap puisi-puisi Eropa modern.
            Di suriah, ABDUS SALAM AL-UJAILI (lahir. 1918), yang juga seorang dokter medis, aktif dalam penulisan novel dan cerita pendek. Beberapa cerpennya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Demikian juga WALID IKHLASI (lahir. 1935), seorang dosen ekonomi pertanian.
            Dari Sudan, yang agak menonjol dapat disebut nama penyair dan penulis cerita pendek, TAYYIB SALEH. Demikian juga di Maroko, tak banyak yang dapat dikenal. ABDUL QADIR AS-SAMIHI termasuk pengarang Maroko yang cerpen-cerpennya sering muncul dalam majalah sastra terkemuka, seperti al-Adab atau al-Majallah. TAHAR BEN JALOUN lebih dikenal sebagai pengarang yang menulis ke dalam bahasa Perancis.
            Karya-karya sastra Aljazair modern banyak yang dipengaruhi oleh iklim perang kemerdekaan melawan Perancis. Namun sekaligus timbul paradoks, yakni banyak sastrawan negera di Afrika Utara ini yang menulis karya-karya sastranya dalam bahasa Perancis dan gaya penulisannya pun tidak jauh berbeda dengan gaya pengarang Perancis. Bahkan pemikir dan ulama Aljazair terkemuka, MALIK BIN NABI, menulis pikiran keagamaannya dalam bahasa Perancis. Beberapa karya sastra Aljazair ada yang sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.
            Dari kawasan Teluk, termasuk Arab Saudi, belum banyak yang dapat disebutkan. Yang dikenal dengan sebutan as-Sā'ir al-Mahjar atau The Emigran Poet ialah penyair-penyair yang berimigrasi umumnya ke Amerika Selatan.
            Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat, dan serba cepat. Ciri khas perkembangan bahasa dalam sastra Arab Modern ialah digunakannya bahasa percakapan (vernacularism) dalam dialog, sekalipun dalam pemerian tetap dengan bahasa baku. Kecenderungan seperti ini ada pembelanya, tetapi juga banyak penentangnya. Bahkan pernah ada kecenderungan sebagian kalangan yang ingin mengubah huruf Arab sedemikian rupa supaya dapat juga dibaca dalam huruf Latin. Di Libanon malah ada sekelompok sastrawan yang mencoba menggantikan huruf Arab dengan huruf Latin. Bahkan sudah ada novel yang terbit dalam bahasa Arab dengan menggunakan huruf Latin.

Tingkatan Penyair Jahiliyah

Para ahli sejarah kesusastraan Arab (al-Zayat, 1982:45) menyatakan bahwa ada empat tingkat para penyair pada masa jahiliyah bila dilihat dari masa hidup para penyair tersebut, yaitu:
1.      Jahiliyun; Mereka yang hidup pada masa sebelum Islam, seperti: Imru'ul Qais, Zuhair ibn Abi Sulma.
2.      Mukhadhramun; Mereka yang dikenal dengan puisinya di masa jahiliyah dan Islam, seperti: Khansa', Hassan ibn Tsabit.
3.      Islamiyyun; Mereka yang hidup di masa Islam tetapi masih memegang tradisi Arab, dan mereka ini para penyair bani Umayyah.
4.      Muwalladun; mereka yang telah rusak tradisi berbahasanya dan berusaha memperbaikinya, mereka ini para penyair bani Abbas.
Bila ditinjau dari segi kualitas puisinya, para penyair jahiliyah terbagi ke dalam tiga tingkatan:
1.      Tingkat pertama: Imru'ul Qais, Zuhair, Nabighah
2.      Tingkat kedua: al-A'sya, Labid, Tharfah.
3.      Tingkat ketiga: 'Antaroh, Duraid ibn ash-Shammah, Umayyah ibn Abi ash-Shallat.
Beberapa ahli bahasa dan sastra sepakat dengan Broklemen (Lajnah ,1962: 64) membagi penyair jahiliyah menjadi enam kelompok:
1.      Penyair al-Badiyah: yang terbagi menjadi dua kelompok;
  • Penyair Sha'alik : Syanfara, Taabbata Syarran, Urwah ibn Ward
  • Ghair Sha'alik : Muhalhil, Harits ibn Hilzah, Amru ibn Kaltsum, Antarah.
2.      Penyair al-Amir (Penyair Raja): Imru'ul Qais
3.      Penyair Bilath wa at-Takassub: Tharfah ibn 'Abd, Abid ibn al-Abrash, An-Nabighah adz-Dzibyani, al-A'sya al-Akbar, al-Huthai'ah.
4.      Penyair Hikmah: Zuhair ibn Abi Sulma, Labid ibn Rabi'ah.
5.      Penyair al-Madzahib: As-Samau'ell, 'Adi ibn Zaid, Umayyah ibn Abi ash-Shullt.
6.      Penyair-penyair perempuan: al-Khansa'.

Review Novel Hati Suhita

KETEGUHAN HATI WANITA REVIEW NOVEL HATI SUHITA Judul: Hati Suhita Penulis: Khilma Anis Editor: Akhiriyati Sundari Penyunting:...